Sejumlah kelompok Islam meradang, usai Prabowo Subianto bertemu Joko Widodo di Stasiun MRT, Lebak Bulus, Jakarta, pada Juli 2019, empat tahun silam. Mereka menyebut Prabowo mengkhianati perjuangan.
Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama misalnya, menyatakan pihaknya sudah tidak dalam barisan pendukung Prabowo. "Tidak pernah kongsi. Satu alur perjuangan, iya," kata Yusuf Martak, ketua GNPF, menarik garis demarkasi.
Hasil pemilihan presiden (pilpres) 2019 adalah klimaks pertarungan politik yang penuh deru dan debu dalam sejarah demokrasi di republik ini. Ban terbakar, deru kendaraan Barracuda, sengatan gas air mata, debu pecahan batu dan abu mesiu, serta isak tangis campur amarah, adalah mozaik politik demonstrasi yang kerap terjadi ketika aspirasi bermuara menjadi lautan amuk massa di jalanan. Semua itu berhulu dari kegaduhan yang kian membuncah di sosial media dan televisi.
Hampir sepuluh tahun lamanya rakyat disuguhkan drama politik yang tak kenal lelah, karena terbelah menjadi dua kutub pendukung capres yang saling menjatuhkan. Istilah cebong-kampret, kadrun-buzzerRp menjadi epilog dari narasi politik dua periode pilpres yang miskin gagasan, namun penuh ujaran kebencian. Pelabelan ini sama sekali tak ada refleksi teoritiknya dalam kamus politik para republikan. Akhirnya, katup politik kebencian itu pun meledak.
Puncaknya, pada 21-22 Mei 2019, Jakarta nyaris lumpuh total selama dua hari paska kekalahan Prabowo diumumkan KPU. Berawal dari unjuk rasa damai pendukung Prabowo yang kecewa dengan hasil Pilpres di depan gedung Bawaslu, sampai berujung pembakaran sejumlah kendaraan di depan asrama Brimob di Jalan KS Tubun, Jakarta Barat. Kerusuhan meluas hingga dini hari. Esoknya, setelah matahari terbit, Jakarta tampak berantakan.
Banyak kalangan menilai kerusuhan Pemilu 2019 adalah konflik vertikal yang terburuk sejak tragedi Mei 1998. Itu artinya sejak era reformasi dimulai. Tidak saja kekerasan kepada warga negara biasa, tapi juga banyaknya wartawan yang tak luput dari perundungan. Aliansi Jurnalis Independen Jakarta menyebutkan, ada 20 jurnalis dari berbagai media yang menjadi korban.
Sementara itu, Komnas HAM mencatat 9 orang tewas, 4 orang di antaranya masih anak-anak. Sekitar 700 orang lebih korban luka, dan 465 orang ditangkap. Uniknya, nama Prabowo sama-sama mencuat dari kedua peristiwa berdarah yang terpaut jaraknya 21 tahun itu. Seperti dejavu, Wiranto, sang Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, saat itu bahkan menyimpulkan: "...Ada niatan atau skenario untuk buat kekacauan dengan menyalahkan petugas terhadap aparat kemanan, menimbulkan antipati terhadap pemerintahan yang sah." Wiranto pun mengaku sudah tahu dalangnya, seperti dikutip wartawan BBC Indonesia pada 22 Mei 2019.
Kerusuhan Pemilu 2019 hanyalah kulminasi dari sekian banyak kejadian sebelumnya yang mencoreng demokrasi. Pemilu 2019 telah menjerumuskan banyak warga masyarakat ke dalam perangkap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam hal penyelenggaraan, Pemilu 2019 adalah pesta demokrasi rakyat pertama kalinya dalam sejarah republik, yang merenggut banyak korban jiwa. Tercatat 894 petugas KPPS meninggal dunia, dan 5.175 orang jatuh sakit. Alasannya, karena kelelahan dalam bertugas.
Dengan sekian banyak latar yang menyedihkan seperti itu, tidaklah mengherankan jika pendukung Prabowo akhirnya menyerah, ketika dua orang capres yang tadinya berseteru pada pilpres 2019, itu bertemu. PA 212 dan GNPF ulama adalah tulang punggung pendukung Prabowo, yang sudah sedari dini mencium ketidakberesan. Mereka sadar ihwal itu bukanlah pertemuan biasa. Terbukti, Prabowo pun dipinang Jokowi menjadi pembantunya: Menteri Pertahanan Republik Indonesia. Pilpres 2019 pun berakhir antiklimaks.
Pendukungnya, ingin Prabowo tetap berada di luar kekuasaan. Sesungguhnya, alasan mereka rasional. Alasan yang biasa ditemukan dalam negara demokrasi. Untuk mengontrol pemerintah yang sedang berkuasa, mereka berharap adanya oposisi yang kuat.
Harapan akan perlunya kekuatan oposisi untuk membangun demokrasi, jauh-jauh hari juga sudah disadari oleh Harry S Truman, Presiden Amerika Serikat (AS), yang mewarisi puing-puing kehancuran sosial ekonomi politik akibat perang dunia kedua. Ia adalah salah seorang Presiden AS yang tahu bagaimana membangun negara setelah keruntuhan. Truman juga Presiden AS yang menjadi simbol pentingnya supremasi sipil di atas militer. Pada gilirannya dia menginspirasi seluruh dunia untuk meletakkan supremasi sipil sebagai pondasi utama dalam negara demokrasi.
Saat Kongres Keamanan Dalam Negeri AS pada 1950, Truman berpesan: "Once a government is committed to the principle of silencing the voice of opposition, it has only one way to go, and that is down the path of increasingly repressive measures, until it becomes a source of terror to all its citizens and creates a country where everyone lives in fear." Sekali pemerintah melakukan pembungkaman suara oposisi, dia hanya punya satu jalan untuk lanjut, yaitu jalan menurun untuk meningkatkan tindakan represif, sampai dia menjadi sumber terror untuk seluruh warga negara dan menciptakan sebuah negara di mana setiap orang hidup dalam ketakutan.
Sebagaimana peringatan Harry S Truman, juga pendukung Prabowo, tak ingin oposisi mati. Seperti periode sebelumnya, mereka ingin Prabowo kembali mengemban tugas itu. Namun, kenyataan berkata lain. Ketika menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi, alih-alih menjadi corong bagi aspirasi mereka, justru Prabowo kian menjauh dari harapan.
Bagi mereka, tentunya kecemasan itu makin terang terbukti dengan adanya peristiwa pembubaran Front Pembela Islam, pembantaian KM 50, dan penangkapan Habieb Rizieq. Ya, terkait nama terakhir ini, ia seorang tokoh yang juga dikenal setia mendukung Prabowo. Dalam dua periode pilpres, sudah ia tunjukkan pengabdian.
Ironisnya, terhadap sejumlah kasus yang menjerat pendukung setianya itu, Prabowo tak mampu atau tak berbuat banyak. Sebenarnya tidak memerlukan rekam jejak pendukung, jika itu sudah menyangkut urusan kemanusiaan. Demi keadilan yang beradab, begitu makna perlambang di dada garuda. Bukan sekadar lambang partai berkepala garuda.
Dari sejumlah tragedi kemanusiaan yang terhampar nyata tersebut, kehilangan nyawa dan kehormatan akibat kerasnya politik seputar pemilu 2019, hingga episode-episode nirdemokrasi berikutnya, tak ada suara kritis yang berani mengungkap tuntas kebenaran.
Semua kenyataan pahit itu tertelan begitu saja. Where everyone lives in fear. Rakyat hidup dalam ketakutan, adalah ujung dari babak kehidupan bernegara, tanpa oposisi, seperti yang dibayangkan Truman.
Itulah kenapa, tidak berlebihan slogan Wakanda No More, Indonesia Forever, tercetus dari Anies Rasyid Baswedan sebagai capres dalam gelanggang debat pilpres 2024, lalu. Anies menangkap suasana kebatinan rakyat. Rakyat yang terpaksa menyamarkan kritik kepada negaranya di ruang publik. Kata Indonesia pun diganti menjadi Wakanda. Sebuah cara berkomunikasi dengan indeterminacy, meminjam istilah Donald G. Ellies. Sumbernya adalah fear, ungkap Anies. Ketakutan. Karena takut, publik melakukan self cencorship, menghukum dirinya sendiri.
Dulu, penulis kolom maupun sastrawan zaman Orde Baru acap menyebut ‘Astina’ atau ‘Negeri antah berantah’ untuk mengkritik rezim Soeharto. Sejalan dengan Truman, Anies mendiagnosis fenomena indeterminacy itu sebagai akibat dari lemahnya oposisi. Anies juga sadar, kendati oposisi itu terhormat, tapi banyak yang tak tahan. Termasuk Prabowo sendiri.
Akhirnya, benarlah sabda Milan Kundera, sastrawan kelahiran Cekoslowakia, dalam “The Book of Laughter and Forgetting”. Sebuah novel yang kemudian menjebloskannya menjadi warga buangan seumur hidup. "The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting," tulis Kundera getir. Ya, di depan kekuasaan yang pongah dan acap kali menghujamkan kepedihan, rakyat haruslah melatih ingatannya untuk berjuang melawan lupa.
Sebab, rakyat bisa menghukum pemimpin yang tadinya mati-matian didukung, tapi kemudian mereka tinggalkan, adalah sebuah kemewahan dalam demokrasi. Kotak suara kemewahan yang terakhir itu.
Prabowo pun kini menyongsong Pilpres 2024 untuk ketiga kalinya sebagai capres yang telah direstui Jokowi sepenuh hati. Dan demi ambisi itu, Gibran Rakabuming Raka, putera tertua Jokowi, bahkan dipertaruhkan untuk mendampingi Prabowo menjadi calon wakil presiden (cawapres).
Ketika Romawi menumpas pemberontakan gladiator, institusi perbudakan selaku pelayan kebutuhan dasar penguasa, dikorbankan. Berikut ribuan budaknya dibantai. Jasadnya dibariskan di sepanjang jalan Via Appia, antara Roma dan Capua. Kebrutalan nan psikopat dipertontonkan, agar melemahkan nyali perlawanan.
Ketika negeri Wakanda (meminjam istilah self cencorship yang dirisaukan Anies) menerabas aturan kepemimpinan eksekutif, Mahkamah Konstitusi kemudian ditumbalkan. Hingga pengemban aturan kian gentar menegakkan etika keadilan, dan singgasana kekuasaan dengan congkak dipertahankan. Seperti budak Romawi, Mahkamah Konstitusi sebagai pelayan hak dasar konstitusional warga negara, terkapar disaksikan jutaan pasang mata dari sepanjang Aceh sampai Papua.
Cawapres yang belum cukup umur pun, tinggal selenggang menuju tahta. Melanjutkan titah bapaknya. Sebagai presiden yang lama menjabat, seorang Soekarno, bahkan Soeharto sekalipun, tidak pernah merestui anaknya jadi cawapres, di saat mereka masih berkuasa.
Namun, nyatanya Spartacus, sang gladiator Romawi, menjadi simbol pembebasan, dan rakyat Indonesia justru semakin tersadarkan. Survei mengonfirmasi hal itu. Eep Saefollah Fatah menyebutkan rata-rata di atas 80 persen rakyat tak puas dengan masalah harga bahan pokok, kurangnya lapangan pekerjaan, dan rendahnya taraf kehidupan. Angka ketidakpuasan yang fantastis. Artinya, para pemilih Prabowo dan tentu juga Jokowi, merindukan perubahan yang sesungguhnya: Indonesia adil makmur untuk semua.
Mirip dengan tanda-tanda kejatuhan tirani dalam berbagai kisah. Poverty is the parent of revolution and crime. Kemiskinan adalah induk dari revolusi dan kriminal, ucap Aristoteles mengancam dari ribuan tahun lalu. Nahasnya, penderitaan negeri Wakanda lipat dua, perut yang lapar, plus dihimpit retorika: tak usah banyak berkata-kata. Jokowi juga mengerti itu, bantuan sosial pun dilipatgandakan melebihi jumlah yang pernah dikucurkan bahkan ketika Pandemi melanda. Kini, enough is enough. Untuk hadirnya keadilan, kiranya cukup sudah segala kesabaran.
Fajar kemenangan sejati rakyat itu telah terbit di ufuk timur, sejak Anies Rasyid Baswedan dideklarasikan Partai NasDem pada 3 Oktober 2022, lalu dengan penuh pengorbanan. Selamat tinggal Prabowo, juga Jokowi, kata hati pemilik kedaulatan kelak melawan dalam diam di bilik suara. Selamat datang Perubahan. Amin.
Arfi Bambani Amri adalah Direktur Kampanye Digital Badan Pemenangan Pemilu Partai NasDem