Oleh: Habibur Rahman
Tan Malaka adalah figur yang kompleks dalam sejarah pra kemerdekaan Indonesia, seorang intelektual revolusioner dengan visi yang jauh melampaui zamannya. Marxisme, sebagai ideologi yang diusungnya, memiliki pengaruh besar dalam membentuk pandangan dan gerakan politik Tan Malaka.
Namun, pertanyaannya adalah sejauh mana Marxisme benar-benar mengubah pria kelahiran Pandam Gadang ini? Dan bagaimana dirinya mengadaptasi ideologi ini di tengah realitas lokal Indonesia yang sangat beragam?
Pertama-tama, kita harus memahami bahwa Marxisme adalah lensa analisis sosial yang memandang sejarah melalui prisma pertarungan kelas. Dalam teori Marx, sejarah adalah kisah pertempuran antara kaum tertindas dan penindas, dengan kaum proletar pada akhirnya menghapus sistem kapitalisme melalui revolusi.
Bagi Tan Malaka, ajaran ini memberi landasan teoritis untuk memahami penindasan rakyat Indonesia di bawah penjajahan kolonial Belanda. Namun, tidak seperti banyak tokoh Marxis lainnya, Tan Malaka tidak sekadar mengadopsi ide-ide Marx secara dogmatis. Jelas bahwa Marxisme mengubahnya, tapi ia juga mengubah Marxisme, menjadikannya relevan untuk konteks perjuangan bangsa yang kala itu masih didominasi oleh petani dan buruh.
Dalam karya-karyanya, seperti "Naar de Republiek Indonesia", Tan Malaka menggunakan kerangka Marxis untuk menganalisis kondisi sosial-ekonomi Indonesia di bawah kolonialisme. Namun, berbeda dengan Karl Marx yang menekankan industrialisasi sebagai syarat lahirnya kaum proletar, Tan Malaka justru menyadari bahwa di Indonesia, revolusi tidak bisa menunggu perkembangan kelas buruh.
Ia menyesuaikan teori Marxis dengan realitas negara agraris, di mana mayoritas rakyat Indonesia adalah petani. Ia mengusulkan bahwa petani, bersama buruh, bisa menjadi kekuatan revolusioner untuk menggulingkan kolonialisme, di sini kita dapat melihat bahwa Tan Malaka sangat bijak melihat kondisi masyarakat Indonesia.
Namun, di sini juga kita justru dapat melihat betapa pentingnya perspektif Tan Malaka dalam membedakan dirinya dari Marxis ortodoks. Ia mengedepankan bahwa revolusi nasional-demokratis adalah tahap awal yang harus dilewati, sebelum bisa mencapai tahap sosialisme.
Dalam hal ini, pemikiran Tan Malaka bisa dibandingkan dengan teori revolusi permanen dari Trotsky, yang juga percaya pada kesalingterkaitan revolusi nasional dan internasional.
Meski demikian, Tan Malaka tetap memiliki pemahaman yang unik karena ia memahami kompleksitas masyarakat kolonial yang tidak sepenuhnya sejalan dengan analisis kelas tradisional ala Marx.
Selain Marxisme, pemikiran Tan Malaka juga dipengaruhi oleh gagasan-gagasan nasionalisme dan Islam. Meskipun ia seorang Marxis, Tan Malaka tidak pernah memandang agama sebagai opium semata, sebagaimana Marx menggambarkannya. Sebaliknya, ia mengakui bahwa Islam memiliki peran penting dalam membangkitkan kesadaran politik di kalangan rakyat Indonesia.
Dalam hal ini, ia meniru gaya retorika yang lebih akomodatif, melihat potensi mobilisasi dari sentimen keagamaan untuk mendukung perjuangan anti-kolonialisme. Ini adalah contoh lain di mana Marxisme Tan Malaka telah berkembang melampaui batasan teori Marx yang kaku, menjadikannya lebih luwes dan sesuai dengan kondisi Indonesia yang pluralistik.
Jika kita membandingkan pendekatan Tan Malaka dengan teori-teori ilmiah lain, seperti teori Gramsci tentang hegemoni, kita dapat melihat kemiripan dalam pemikiran mereka. Gramsci menekankan pentingnya perang posisi, bahwa kekuasaan tidak hanya diperebutkan melalui revolusi langsung, tetapi juga melalui perebutan ideologi di dalam ranah kebudayaan.
Dalam pandangan Tan Malaka, kesadaran politik adalah elemen kunci, dan oleh karenanya, pendidikan politik menjadi bagian sentral dalam perjuangannya. Melalui buku-buku seperti "Madilog", ia mencoba menyebarkan pemahaman rasional tentang sejarah dan politik, mengkombinasikan materialisme dialektik dengan logika modern. Ini bisa dianggap sebagai usaha menciptakan hegemoni intelektual untuk melawan dominasi pemikiran kolonial dan feodal di Indonesia.
Tan Malaka, seperti Gramsci, memahami bahwa revolusi bukan hanya tentang perubahan struktural, tetapi juga perubahan kesadaran. Namun, jika Gramsci lebih fokus pada perubahan kultural melalui lembaga-lembaga sipil, Tan Malaka lebih pragmatis.
Ia percaya pada kekuatan massa yang diorganisir untuk menantang kekuasaan kolonial secara langsung. Pemikirannya tentang taktik revolusioner lebih dekat dengan Lenin, yang menekankan pentingnya organisasi revolusioner avant-garde untuk memimpin kelas pekerja menuju revolusi.
Di sisi lain, jika kita melihat teori revolusi sosial yang lebih modern, seperti teori Revolusi Ketergantungan yang dikembangkan oleh Andre Gunder Frank, kita bisa melihat bagaimana Marxisme Tan Malaka sudah lebih dulu mengantisipasi gagasan bahwa negara-negara Dunia Ketiga tidak bisa diharapkan untuk mengikuti jejak perkembangan ekonomi seperti negara-negara Eropa.
Tan Malaka memahami bahwa revolusi di Indonesia tidak bisa menunggu kapitalisme matang, tapi harus segera dilakukan dengan kondisi yang ada, gagasan yang serupa dengan teori ketergantungan yang menolak ide pembangunan linear dari kapitalisme ke sosialisme.
Namun, sejauh mana Marxisme mengubah Tan Malaka? Jawabannya mungkin adalah bahwa Marxisme memberikan Tan Malaka alat analisis, tetapi jiwanya tetaplah seorang nasionalis revolusioner yang terikat pada tanah airnya.
Dalam salah satu suratnya, ia pernah menulis bahwa revolusi sejati adalah revolusi yang membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan, baik itu penjajahan, kapitalisme, maupun kebodohan. Marxisme memberinya kerangka kerja, tetapi kecintaannya pada kebebasan dan martabat manusia, yang ditarik dari realitas Indonesia, memberinya tujuan.
Dengan demikian, Marxisme mengubah Tan Malaka dari seorang nasionalis menjadi seorang pemikir yang lebih universal, tetapi Tan Malaka juga mengubah Marxisme, menjadikannya lebih kaya dan relevan bagi perjuangan nasional Indonesia.
Jika Marx melihat dunia sebagai medan perang antara kapitalisme dan proletariat, Tan Malaka melihat dunia sebagai medan tempur yang lebih luas, di mana kolonialisme, feodalisme, dan kebodohan semuanya harus dilawan demi kemanusiaan yang lebih adil. (*)
Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.