Beredar kabar di berbagai platform berita, bahwa Gubernur Sumatra Barat Mahyeldi, mewacanakan akan mengganti nama Masjid Raya Sumatra Barat dengan Masjid Raya Ahmad Khatib al Minangkabawi.
Sejumlah kalangan, seperti LKAAM, Dewan Masjid Indonesia Wilayah Sumatra Barat, dan beberapa tokoh ormas keislaman daerah ini menyambut gembira dan menyampaikan persetujuan.
Sejumlah alasan dukungan pun dikemukakan. Di antara argumentasi yang mencuat ialah pentingnya monumenisasi kebesaran nama Ahmad Khatib sebagai teladan dan ikon ketokohan ulama sekaligus sebagai promosi identitas keagamaan dari ranah Minang untuk kepentingan pariwisata.
Ada pula alasan simplikatif yang mengatakan penggantian nama itu terserah penguasa daerah saja. Diganti nama bagus. Tidak diganti juga tidak apa-apa. Tulisan ini bermaksud menyampaikan respon atas wacana mengganti nama Masjid Raya Sumatra Barat tersebut.
Merawat Martabat Ulama
Menjadikan nama salah seorang ulama menjadi nama masjid merupakan gagasan yang menarik. Namun demikian, ada beberapa pertanyaan perlu kiranya terjawab sebelum gagasan ini terealisasi:
Apakah pelekatan nama Ahmad Khatib Al-Mingkabawi ini tidak mengandung bias pengkultusan tokoh tertentu? Bukankah gagasan ini nantinya akan menimbulkan kesan bahwa masjid tidak lagi netral dari dominasi. paham atau popularitas keulamaan?
Bahkan pada diskusi keulamaan, justru dengan mengabadikan nama beliau menjadi nama masjid, martabat dan kemurnian keulamaannya justru diturunkan.
Apalagi kalau ditelisik berdasarkan kesadaran komunal orang Minang, bahwa nama surau mereka, nyaris tidak memakai nama guru/mursyid atau tokoh setempat, melainkan menamakannya dengan ciri khas lokasi tempat surau berada seperti Surau Lakuak Cubadak, Surau Bancah.
Selain itu nama surau memakai nama kaum seperti Surau Kaum Piliang; Surau Caniago. Jika pun ada surau yang bernama tokoh ulamanya, adalah surau yang secara khusus memiliki Tuanku, seperti surau Tuanku Sati. Sang Tuanku ada berdiam di surau itu menjadi Imam sekalgus guru mengaji dan silek.
Biasanya tanah tempat surau itu juga tanah kaum Tuanku. Belakangan saja, memang ada ulama yang berhasrat tinggi melekatkan namanya pada nama masjid/surau yang ia bangun dari sumbangan jamaahnya.
Andai kata nama Ahmad Khatib harus diabadikan juga menjadi nama Masjid, berdasarkan kesadaran kultural Minangkabau, lebih tempatnya dilekatkan pada nama salah satu masjid di nagari kelahirannya: Kototuo luak Agam.
Masjid Jami' dan Masjid Raya Syekh Burhanuddin di Pariaman barangkali dapat juga dikategorikan penamaan masjid berdasar kesadaran kultural Minangkabau tersebut. Keberadaannya ikonik dan didorong oleh kebesaran tokoh Syekh Burhanuddin di habitusnya: Pariaman.
Tentu berbeda dengan Masjid Raya Sumbar yang sebagian besar dibangun menggunakan Anggaran Pendapatan dan BelanjaDaerah.
Adakan Sayembara Usulan Nama Majid Raya
Kalau penggantian ini melibatkan imajinasi sosial warga Sumatra Barat, misalnya dengan mengadakan Sayembara terlebih dahulu, tentu juga lebih elegan, terstruktur dan gagasannya menjadi massif.
Warga Sumbar, tidak saja di ranah namun juga di rantau, akan merasa terlibat memikirkannya, dan rasa terlibat ini biasanya akan berkembang menjadi rasa memiliki.
Dengan kata lain, mengadakan sayembara terlebih dahulu untuk penggantian nama masjid ini mencerminkan ciri budaya Minang yang mempertimbangkan hal-hal yang tabasuik dari bumi (terbersit dari bumi) dimana seluruh elemen masyarakat ikut merencanakan nama masjid kebanggaan mereka.
Berbeda dengan pola titiak dari ateh (titik dari atas) yang cendrung terkesan feodalistik, berdasarkan imajinasi tokoh yang otoritatif saja dan ini jelas meminimalisasi keluhuran musyawarah.
Sayembara pembuatan nama ini juga terjadi misalnya ketika akan membuat nama Bandara Internasional Minangkabau. Nama itu adalah hasil sayembara. Ada spirit memunculkan diksi Minangkabau dalam algoritma memori dunia di dalamnya.
Meskipun persoalan kualitas keberadaan Minangkabau hari-hari ini masih menuai krtitikan. Apakah Minangkabau ini masih relevan dikemukakan sebagai gagasan kebudayaan yang diperhitungkan?
Jika ide mengapungkan nama Minangkabau ini dirujuk, maka nama yang tepat untuk masjid Raya ini adalah Masjid Raya Minangkabau. Nama yang universal dan netral dari bias ketokohan ulama.
Sekaligus penamaan Minangkabau memperkuat simbol identitas yang sudah melekat pada nama Bandara Internasional di daerah ini. Pun tidak tertutup kemungkinan, Minangkabau juga menjadi salah satu jalan utama di daerah ini.
Nama Ahmad Khatib al-Minangkawi Lebih Cocok Menjadi Nama Museum
Mengingat sosok Ahmad Khatib dalam diskursus kajian dan keilmuan Islam juga mendapat tempat yang terhormat, lebih tepat kiranya, kalau nama beliau diabadikan menjadi nama Museum di Sumatra Barat.
Sebuah museum yang barangkali juga berada di dalam kompleks Masjid Raya. Di museum inilah dihadirkan glosarium, heritage Islam dan Minangkabau. Museum tersebut akan menjadi sebuah titik penting yang akan dikunjungi oleh para peneliti dan pengkaji isu pertautan Islam dan kebudayaan.
Namun demikian, apabila Masjid Raya Sumatra Barat mutlak berganti nama menjadi Masjid Raya Ahmad Khatib al-Minangkabawi, maka cukuplah tulisan ini sebagai penanda keheranan atas gagasan itu.
Dapat juga dikatakan, narasi keberatan atas penggantiannama Masjid Raya ini adalah bentuk kegagalan memahami imajinasi sosial Masyarakat Sumatra Barat yang diterjemahkan oleh Gubernurnya.
Atau sebaliknya, tulisan ini adalah bentuk ketercengangan memahami obsesi Gubernur Sumatra Barat beserta para pemuka budaya dan agama yang membisikinya tentang idealnya nama sebuah Masjid Raya.
Akhirulkalam, tulisan ini menolak penggantian nama Masjid Raya Sumatra Barat menjadi Masjid Raya Ahmad Khatib al-Minangkabawi dengan alasan dan argumentasi sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Dr Zelfeni Wimra adalah budayawan yang kini mengabdi sebagai dosen di Fakultas Syariah UIN Imam Bonjol Padang