Banda Aceh 1980. Sepuluh perusahaan otobus asal Sumatra dan Jawa sepakat membuat konsorsium bernama Sanutra, singkatan dari Satu Nusa Transport. Konsorsium ini adalah sebuah jaringan bus dengan tujuan memudahkan pergerakan penumpang di lintas Sumatra dan Jawa. Penumpang dari Banda Aceh ke Denpasar bisa memanfaatkan jaringan ini dengan hanya membayar satu tiket. Penumpang juga tidak perlu ketakutan jika bus yang ditumpanginya mengalami kerusakan di jalan. Mereka akan segera dipindahkah ke perusahaan bus lain anggota jaringan.
Sanutra ini mirip dengan perjanjian “airline codeshare atau airline alliance”. Pendirian jaringan ini selain menekan biaya operasional juga ditujukan untuk memudahkan penumpang melakukan pemesanan “single ticket” antar maskapai penerbangan. Karena satu maskapai tak akan mampu memiliki rute penerbangan ke semua kota. Saat ini, di dunia penerbangan Internasional ada tiga alliance besar. Mereka adalah Star Alliance, Sky Team dan Oneworld. Garuda Indonesia bergabung dengan Sky Team. Jaringan ini memudahkan kita untuk untuk pergi, misalnya ke Genoa dengan hanya membeli tiket Garuda Indonesia saja. Selanjutnya Sky Team yang akan mengurus interkoneksi penerbangan lanjutan menggunakan Alitalia.
Akhir 1970-an adalah awal eforia perusahaan-perusahaan bus lintas Sumatra. Hampir di setiap kota muncul bermacam-macam PO Bus. Mereka berebut penumpang dan tentu saja rute trayek ke tanah Jawa. Penumpang juga mulai beralih dari moda transportasi laut ke Tanah Jawa. Kelebihan bus adalah memudahkan penumpang untuk berangkat di hari kapan pun dengan harga yang terjangkau. Bandingkan misalnya dengan kapal laut, perjalanan harus menyesuaikan jadwal sandar kapal di Belawan atau Teluk Bayur. Mungking hanya seminggu sekali ada kapal yang singgah.
Eforia ini harus berhadapan dengan jumlah penumpang yang tak begitu stabil setiap hari. Juga berhadapan dengan kondisi jalanan yang belum mulus seratus persen. Di beberapa tempat, penyeberangan sungai masih menggunakan rakit ponton, orang minang biasa menyebutnya dengan pelayangan. Ketika itu masih banyak sungai belum ada jembatannya. Resiko kerusakan bus juga masih tinggi. Inilah latar belakang Sanutra dibentuk. Dari Banda Aceh ke Denpasar cukup membeli satu tiket, lalu di tengah perjalanan akan dioper ke bus lain yang punya penumpang cukup untuk ke Denpasar.
Sanutra juga bekerjasama dengan Pos dan Giro (sekarang PT Pos Indonesia). Bagi anda yang suka memperhatikan bus di periode 1980, biasa kita menemukan PO bus dengan kotak putih bertuliskan Dinas Pos dengan tinta biru. Lalu ada tulisan Sanutra di kaca depan mobil. Status Sanutra dan kotak putih dinas pos ini memberikan kebanggaan tersendiri untuk sopir-sopir bus.
Sayang Sanutra tak bertahan lama. Ada dua versi penyebab kegagalan jaringan ini. Pertama karena pembagian tak rata. PO Bus yang mendapatkan limpahan penumpang hanya mendapatkan uang kompensasi yang rendah. Padahal mungkin mereka membawa penumpang lebih jauh daripada perusahaan otobus pengoper. Ya mirip-mirip buskota mengoper penumpang, dimana sopir dan kondektur teriak-teriak adu argument dulu.
Alasan kedua, penunjukan PO Cipto (perusahaan otobus asal Jawa) sebagai “big brother” jaringan ini. PO Cipto ditunjuk sebagai penengah dan penyelesai masalah jika ada perselisihan antara anggota jaringan. PO Cipto sebenarnya hanyalah perusahaan bus kecil di tanah Jawa. Kalau sekelas Safari Dharma Raya atau Akas, mungkin akan lain cerita. Analogi sederhananya, seandainya Garuda Indonesia memimpin Sky Team, padahal di dalamnya ada Turkish Airljne, Air France, KLM atau Delta Airlines. Maspakai dengan rute yang jauh lebih banyak.
Kelak nama Satu Nusa Transport diambil alih oleh keluarga pemilik ALS. Dijadikan nama PO Bus sebagai second layernya ALS.
Bagaimanapun juga. Ide membuat jaringan Sanutra adalah ide brilian di awal decade 80an. Di masa internet dan komunikasi belum secanggih sekarang. Bayangkan mereka sudah membuat “booking system” dan “inter-connection” pada masa belum adanya sistem informasi yang hebat. Dengan segala keterbatasan ini mereka telah berusaha memudahkan perjalanan kita orang sumatera. Perjalanan yang mungkin untuk merantau mengadu nasib, berangkat sekolah atau hanya sekadar berkunjung bertemu handai taulan. Karena kata Rumi, “Travel brings power and love back into your love”. (*)
Tulisan ini sebelumnya telah muat di ranah.id, disunting untuk dimuat kembali di langgam.id.
Yoss Fitrayadi adalah Praktisi Digital Marketing