Kelok 9, jalan layang yang semula dirancang untuk memperlancar arus lalu lintas di Sumatra Barat, kini menjadi potret buram dari ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga fasilitas umum. Dibangun dengan tujuan mulia untuk mengurangi kemacetan dan kecelakaan, Kelok 9 justru berubah fungsi menjadi "rest area" bagi para pengendara. Para pedagang kecil pun memanfaatkan situasi ini dengan membangun lapak-lapak yang tidak hanya mengganggu, tetapi juga membahayakan keselamatan pengguna jalan.
Permasalahan ini bukanlah hal baru. Sudah bertahun-tahun Kelok 9 mengalami penyimpangan fungsi, di mana kendaraan berhenti sembarangan, dan para pedagang menjamur di sepanjang jalan layang tersebut. Padahal, jalan layang ini dirancang bukan untuk tempat berhenti atau berdagang, melainkan untuk mempercepat perjalanan antara Padang dan Pekanbaru. Sebaliknya, fungsi ini terkikis oleh aktivitas yang tidak seharusnya terjadi di sana.
Salah satu pertanyaan mendasar adalah: mengapa hingga kini pemerintah belum bisa menemukan solusi yang jelas dan konkrit? Gubernur Mahyeldi sempat menanggapi kritik publik dengan menyatakan bahwa Kelok 9 harus dikembalikan ke fungsi aslinya. Bahkan, feasibility study (FS) terkait relokasi pedagang pun telah diumumkan. Namun, hingga sekarang, hasilnya tidak nyata. Laporan-laporan terkait FS terus bergulir, tetapi kondisi di lapangan tetap sama: jalan layang Kelok 9 masih dipadati kendaraan yang berhenti dan para pedagang yang semakin banyak.
Fakta ini menggambarkan betapa lambatnya pemerintah daerah dalam mengambil tindakan tegas untuk mengembalikan fungsi Kelok 9. Kritik dari Miko Kamal dalam beberapa artikelnya dengan tegas menyebutkan bahwa pemerintah medioker yang memimpin saat ini gagal menyelesaikan masalah ini. Pemerintah tidak mampu menertibkan para pedagang kecil yang menempati ruang publik secara ilegal, dan pihak kepolisian juga tidak efektif dalam menindak pengendara yang berhenti sembarangan di atas jalan layang. Ketidakmampuan ini menjadi cerminan bahwa pemerintah daerah kurang serius dalam menegakkan aturan dan menjaga keselamatan publik.
Jika kita berbicara soal inkumben, pertanyaan yang lebih besar muncul: apakah inkumben ini layak untuk dipilih kembali dalam pemilihan gubernur mendatang? Kegagalan untuk menyelesaikan masalah Kelok 9 menunjukkan lemahnya kemampuan pemerintah saat ini dalam mengelola fasilitas umum yang begitu vital. Meskipun beberapa kali janji perubahan dikemukakan, seperti rencana relokasi pedagang, hasil nyata tidak pernah terealisasi. Akibatnya, Kelok 9 tetap menjadi arena pelanggaran yang berulang kali dibiarkan begitu saja.
Pemilihan gubernur yang akan datang dalam dua bulan menjadi momen penting bagi masyarakat untuk mengevaluasi pemimpin mereka. Masyarakat harus melihat rekam jejak inkumben dalam menyelesaikan masalah konkret seperti Kelok 9. Apakah masyarakat akan terus membiarkan pemerintah yang tidak mampu menangani masalah sederhana ini tetap berkuasa, atau justru memilih pemimpin baru yang lebih kompeten?
Jawaban dari pertanyaan ini seharusnya jelas: rakyat berhak menuntut solusi nyata. Pemerintah harus mampu menjaga keselamatan dan menegakkan aturan, termasuk di Kelok 9. Jika inkumben gagal dalam tugas ini, maka sudah waktunya masyarakat mencari pemimpin yang lebih mampu dan siap bertindak. Masyarakat harus kritis dan tidak terjebak dalam retorika kosong, karena solusi untuk Kelok 9 bukan hanya tentang keselamatan pengendara, tetapi juga cerminan dari kualitas tata kelola pemerintahan daerah.
Selama pemerintah lambat dalam bertindak, selama itulah Kelok 9 akan terus menunggu solusi. Sampai kapan? Hanya rakyat yang bisa menjawab, melalui pilihan mereka pada pemilihan gubernur mendatang.
*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE. MA (Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)