Langgam.id - Puluhan warga berlarian dan merunduk ketika sirine peringatan dini tsunami berbunyi. Satu menit kemudian, semuanya kembali bangkit, berlari untuk mengambil beberapa peralatan.
Sebagian mulai memasang tenda, sebagian lagi membawa tandu dan menolong korban luka-luka akibat bencana gempa bumi bermagnitudo 8,9. Mereka terlihat cekatan dan sigap dalam situasi panik tersebut. Hingga tenda selesai didirikan, para korban terlihat sudah mendapatkan pertolongan pertama. Beberapa penyandang disabilitas turut mengambil peran.
Begitulah gambaran simulasi bencana yang digelar di Nagari Ampiang Parak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat (Sumbar) yang menjadi closing program lembaga sosial dari Jerman, Arbieter-Samariter-Bund (ASB) untuk membangun desa tangguh bencana di Sumbar, Rabu (21/8/2019).
Warga Nagari Ampiang Parak sudah terlatih dan siap jika sewaktu-waktu bencana gempa bumi ataupun tsunami terjadi. Bahkan, bagi penyandang disabilitas, bukan lagi dijadikan sebagai objek yang dipandang lemah, mereka (disabilitas) bahkan turut membantu para korban dengan kemampuan yang dimiliki.
Ketua Laskar Turtle Camp Nagari Ampiang Parak Haridman yang juga pengiat dalam tim Penanggulanang Bencana (PB) di kampung Pasar Ampiang Parak Nagari Ampiang Parak, Pesisir Selatan menyebutkan, gambaran umum tentang masyarakat Ampiang Parak saat ini sebagian besar sudah sadar akan bencana.
Setiap kampung, kata Haridman, sudah memiliki peralatan, seperti tenda hingga peralatan medis untuk pertolongan pertama bagi korban bencana. “Alhamdulillah, setelah mengikuti beberapa pelatihan terkait penanggulangan bencana, warga di sini sudah mulai paham. Bahkan, masing-masing keluarga sudah memiliki tas siaga bencana,” jelasnya.
Awalnya, masyarakat Ampiang Parak sama sekali tidak mengenal terkait penanggulangan bencana. “Sejak adanya ASB yang mendampingi, kita sudah berangsur sadar akan bahaya bencana. Kita mencoba membangun ketangguhan bencana dari bawah, dari masyarakat,” ucapnya.
Kondisi Nagari Ampiang Parak tergolong rentan terhadap bencana. Sebab, lokasi evakuasi jaraknya hanya sekitar 3 kilometer dari permukiman warga. “Lokasi evakuasi memang sudah ada, namun masih belum memadai. Jaraknya sekira 3 kilometer, dengan jalur yang masih buruk. Kami sudah coba lakukan simulasi, separoh jalan saja, sudah menghabiskan waktu 30 menit,” ujarnya kepada Langgam.id di kawasan penangkaran penyu Ampiang Parak, Rabu (21/8/2019).
Jika gempa bermagnitudo 9,8 dan tsunami terjadi, dengan kecepatan gelombang dari titik tsunami 25 menit. “Kalau kita akulasikan, tidak akan sempat evakuasi. Maka, kita butuh jalur ke lokasi evakuasi diperbaiki serta shelter dibangun di Nagari tersebut. Shelter yang ada saat ini, itu hanya untuk evakuasi sementara saja,” jelasnya.
Secara keseluruhan, jumlah warga yang mendiami Nagari Ampiang Parak sebanayk 10.500 jiwa. “Kapasitas shelter dengan jarak 1 kilometer dari permukiman warga, itu tidak memungkinkan untuk evakusi, shelter itupun hanya mampu untuk evakuasi sementara saja, tidak evakuasi akhir. Jadi, kami butuh shelter tambahan serta perbaikan jalur evakuasi ke Bukit Panjang,” katanya.
Namun, untuk kesadaran warga terhadap bahaya bencana, sudah memadai. Sebagian besar warga Ampiang Parak sudah paham bagaimana cara evakuasi jika tiba-tiba bencana terjadi. “Kita membangun kesadaran bencana dimulai dari masyarakat, termasuk bagi penyandang disabilitas,” ujarnya.
Sementara itu, Country Director ASB Indonesia, Melina Margaretha menyebutkan sebagai lembaga luar, keberadaan ASB di Indoensia itu untuk mendukung program dan kebijakan pemerintah terkait desa tangguh bencana.
“Jadi, kita akan terus melakukan peningkatan kapasitas masyarakat terkait pengurangan resiko bencana, Kita tahu, masyarakat merupakan yang paling rentan terhadap resiko bencana, ketika mereka (masyarakat) sudah memahami, maka resiko bencana terhadap kelompok rentan bisa dikurangi,” ujarnya.
Menurut Melina, salah satu yang juga harus diperhatikan adalah kelompok penyandang disabilitas. “Nah, kita juga memberikan pelatihan untuk mereka (kelompok disabilitas). Kalau di tengah masyarakat, kan mereka yang paling rentan ya, kalau mereka juga sudha dibekali, penguranagn risiko bencana itu dapat kita minimalisir lagi,” ucapnya.
Pelatihan untuk disabilitas, menurut Melina sama dengan masyarakat pada umumnya. Dia berharap, meskipun program ASB telah berakhir di Nagari Ampiang Parak, pemerintah setempat diharapkan dapat melanjutkan program tresebut. “Baik dari segi pembiayaan, perawatan peralatan dan pelatihan. Ini harus tetap berlanjut, meskipun kami tidak lagi di sini,” katanya.
Wali Nagari Ampiang Parak, Yusmardi mengatakan, program desa tangguh bencana akan tetap berlanjut. Dikatakannya, pemerintah nagari akan melajutkan program itu, dengan menyisihkan Anggaran Dana Desa (ADD) untuk program pengurangan resiko bencana.
“2019 ini, kita sudah anggarkan Rp60 juta untuk pengurangan resiko bencana. Tahun depan, masih. Tapi kita belum tentukan berapa jumlahnya,” ujar Yusmardi.
Dia berharap, ADD untuk program pengurangan risiko bencana, pencairan dananya dimudahkan, tidak ribet dan tidak berbeli-belit. “Keinginan kita, persoalan dana itu, pengurusannya dimudahkan. Cairkan dananya dulu, adminstrasinya kemudian. Ini untuk penanggilangan bencana, harus dipercepat,” ucapnya.
Yusmardi mencontohkan, jika bencana terjadi, pemerintah kabupaten belum tentu bisa datang langsung ke lokasi sehari pasca kejadian. “Nah, disitulah peran kita sebagai pemerintah nagari. Kita berharap, pencairan dana untuk penanggulangan bencana tidak dipersulit,” katanya. (Zulfikar)