Saat Dunia Ramai Soal Gaza, Apa yang Bisa Aku Lakukan dari Kamar Kos?

act palestina

Ilustrasi: Palestina (pixabay.com)

Oleh: Foursa Tasniim

Berita tentang Gaza mungkin sudah tenggelam dalam linimasa Anda, tapi bau darah dan debu belum pergi dari tanah itu.

Tiap hari aku scroll media sosial. Video reruntuhan, anak-anak tanpa kepala, seorang ayah yang menggali makam untuk keluarganya sendiri, dan masih banyak lagi kejadian yang menyayat hati. Gaza porak-poranda. Tapi dari balik jendela kosku, mobil tahu bulat lewat, tukang galon teriak “air!”, dan tawa anak kos seperti membentur dinding dunia lain. Dunia yang seolah tak terpengaruh.

Aku sempat merasa: aku cuma debu dalam badai. Apa artinya aku, mahasiswa pas-pasan dengan WiFi kos yang sering nge-lag dan dompet tipis, di tengah lautan penderitaan itu?

Tapi ternyata, rasa peduli saja sudah langkah pertama. Siapa sangka, dari kamar kos ini, aku bisa melakukan lebih dari yang ku pikir.

Suara Kita = Tekanan Global

Tahukan kamu? Israel dan sekutunya sangat takut pada opini publik. Laporan dari The Guardian dan Al-Jazeera menunjukkan bahwa tekanan global dari masyarakat sipil membuat banyak negara menahan pengiriman senjata. Beberapa Perusahaan bahkan menarik diri dari kontrak karena desakan netizen.

Nah, di sinilah peran kita. Menyuarakan kebenaran. Mengisi media sosial dengan informasi yang benar. karena pemerintah dan perusahaan besar, percaya atau tidak, sangat sensitif pada opini publik.

Mengganti foto profil dengan bendera Palestina mungkin terlihat sepele, tapi ketika dilakukan secar masif, itu bisa menciptakan gelombang opini global. Jangan remehkan aksi kecil yang dilakukan bersama-sama.

Jadi, dari HP di tangan kita, dari jempol yang biasa dipakai buat scrolling TikTok, kitab bisa menyuarakan kebenaran. Gaza mungkin tak tahu namaku, tapi saat kita ikut bersuara, mereka tahu: mereka tidak sendiri.

Edukasi Diri : Modal Perjuangan

Banyak yang bilang: “Ngapain sih ikut-ikutan? Emang ngerti konfliknya?”

Nah, justru di sinilah tantangannya, kita harus belajar. Bukan untuk jadi ahli geopolitik, tapi untuk tidak menjadi domba yang digiring propaganda. Misalnya, tahukah kamu bahwa konflik ini bukan sekedar “perebutan wilayah”? tapi tentang perampasan hak hidup, tentang tanah yang dijarah, rumah yang dihancurkan dan rakyat yang diblokade selama 18 tahun?

PBB sendiri sudah mencatat lebih dari 75 tahun penjajahan Israel atas Palestina. Bahkan blokade Gaza telah berlangsung sejak 2007. Itu berarti 18 tahun wilayah itu dikurung: listrik terbatas, air kotor, rumah sakit lumpuh. Belum termasuk serangan militer berkala yang menghancurkan infrastruktur.

Maka belajar adalah bagian dari perlawanan. Dan dari kamar kos, kita bisa membaca, menonton, berdiskusi. Kamar ini bisa jadi ruang tempur melawan kebodohan dan pembelokan narasi.

Donasi Bukan Soal Jumlah

Aku tahu, kadang kita berpikir, “Donasi 10 ribu, emang ngaruh?”

Tapi justru di situlah kekuatannya, gerakan solidaritas tak selalu datang dari angka besar. Justru mayoritas dari donasi kecil-kecilan. Dari mahasiswa, buruh, ibu rumah tangga. Donasi recehan, tapi jumlahnya seperti gerimis yang jadi banjir.

Rp5.000 dari kita mungkin cuman cukup untuk segelas es teh. Tapi jika dikirim bersama ribuan orang lain, bisa membangun dapur umum, bisa beli selimut, bisa bantu rumah sakit. Sekali lagi: bukan soal nominal, tapi soal niat dan solidaritas.

Doa yang Tak Tertangkap Kamera    

Dalam hiruk-pikuk aktivisme, kadang kita lupa: ada kekuatan sunyi dalam doa. Mungkin terdengar pasrah. Tapi bagi orang beriman, doa adalah energi. Ia menembus jarak. Ia bukan pelarian, tapi pernyataan iman.

Di saat kita merasa tak mampu, kita bisa bersujud. Mengadu pada langit, saat dunia membungkam. Karena hanya kepada-Nya, segala keluh dan lelah ditumpahkan. Bukan karena kita lemah, tapi karena kita tahu bahwa kekuatan itu datang dari doa.

Di luar sana, mungkin tak ada yang tahu kita menangis dalam sujud. Tapi Allah Mahatahu. Dan Gaza merasakan gelombang cinta dari setiap rintih yang kita ucapkan diam-diam.

Jadi, Jangan Biasa Saja

Yang paling ku takutkan bukanlah tidak bisa membantu. Tapi terbiasa melihat penderitaan dan tak merasa apa-apa

Sebuah bahaya besar ketika luka dan tangis dianggap hal biasa. Jangan biarkan hati kita mati pelan-pelan, kalau kita tak bisa berdiri di antara reruntuhan Gaza, maka berdirilah di hadapan cermin: tanyakan pada diri, “masihkah aku manusia?”

Dari kamar kos ini, aku mengajak kamu: jangan diam. Jangan apatis. Jangan tenggelam dalam rutinitas sampai lupa bahwa ada dunia yang sedang berdarah.

Bersuaralah, sekecil apapun. Belajarlah, meski hanya lima menit sehari. Donasilah, meski hanya seharga segelas kopi. Doakan, meski hanya satu menit sebelum tidur.

Karena saat dunia ramai soal Gaza, kita tak harus ke medan perang untuk jadi bagian dari perjuangan. Cukup dengan hati yang tetap hidup, dan tangan yang terus bergerak, meski hanya dari kamar kosmu yang sempit. (*)

Foursa Tasniim, mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam, UIN Imam Bonjol Padang

Baca Juga

Bantu Umat Muslim Palestina, BSI Maslahat Bangun Masjid Darurat di Gaza
Bantu Umat Muslim Palestina, BSI Maslahat Bangun Masjid Darurat di Gaza
Dai Asal Gaza Safari Dakwah di Masjid Nurul Furqan Padang Panjang
Dai Asal Gaza Safari Dakwah di Masjid Nurul Furqan Padang Panjang
Dari Padang Panjang untuk Palestina: YPPM dan IZI Sumbar Galang Donasi Solidaritas
Dari Padang Panjang untuk Palestina: YPPM dan IZI Sumbar Galang Donasi Solidaritas
Pemprov Sumbar Salurkan Rp2,4 Miliar Donasi untuk Palestina
Pemprov Sumbar Salurkan Rp2,4 Miliar Donasi untuk Palestina
Aksi Bela Palestina, Mahasiswa Sumbar Letakan Bendera Israel di Jalan Agar Dilindas Kendaraan
Aksi Bela Palestina, Mahasiswa Sumbar Letakan Bendera Israel di Jalan Agar Dilindas Kendaraan
Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair Al Shun bertemu Gubernur Sumbar Mahyeldi.  Kunjungan ini penjajakan hubungan Sister Province
Sumbar dan Palestina Jajaki Kerja Sama Sister Province