Wacana perbaikan transparansi dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto menjadi secercah harapan di tengah kekhawatiran publik yang semakin menguat.
Ketakutan akan potensi perluasan kewenangan Polri, yang dikritisi oleh berbagai macam pihak, menuntut akan adanya keterbukaan dan partisipasi dari masyarakat yang sesungguhnya dalam proses legislasi krusial ini. Janji Prabowo ini sekarang berada pada persimpangan jalan antara harapan dan realitas implementasi.
Pemerintah dan DPR sedang menyiapkan revisi UU No. 2/ 2002 tentang Polri yang memicu kontroversi. RUU dianggap sebagai yang paling berpotensi menciptakan Polri sebagai “superbody” dengan kewenangan yang berlebihan, sedangkan Presiden Prabowo menjanjikan proses pembahasan yang lebih transparan.
Aktor utama dalam hal ini adalah Presiden Prabowo dengan janji transparansi. Serta pihak-pihak yang berkepentingan yaitu pemerintah dan DPR sebagai inisiator perubahan UU, Polri sebagai institusi yang kewenangannya akan diatur oleh RUU, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) sebagai pengawas, advokat, dan penyalur aspirasi publik. Dan Selamat Ginting pengamat yang memperingatkan bahaya “politisasi Polri”.
Janji perbaikan transparansi ini disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto pada Senin, 7 April 2025 melalui program ‘Presiden Prabowo Menjawab’. Namun, kekhawatiran masyarakat dan penolakan RUU Polri muncul sejak Selasa, 18 Maret 2025 sebelum pembahasan resmi dimulai. Implementasi komitmen transparansi ini diharapkan dapat dimulai seiring dengan dimulainya pembahasan RUU secara formal antara pemerintah dan DPR.
Pernyataan Prabowo ini disampaikan pada media televisi. Proses pembentukan RUU Polri ini akan berpusat di Jakarta. Namun, idealnya harus melibatkan partisipasi publik yang luas dari berbagai daerah.
Kekhawatiran masyarakat terhadap RUU Polri didasari oleh potensi meluasnya kewenangan ekstra (Polri berpotensi masuk semua lini pemerintahan). Perbedaan signifikan pengelolaan anggaran antara Polri (Rp 127 T) dibanding anggaran TNI (Rp 140 T). Kekhawatiran munculnya “kepolisian politik” karena bukannya menjadi solusi bagi permasalahan internal Polri, justru akan memperburuk keadaan.
Sedangkan pengamat seperti Selamat Ginting dengan secara tegas menyebutkan bahwa RUU ini akan berpotensi untuk menjadikan Polri sebagai Lembaga superbody. Oleh karena itu, transparansi dan partisipasi publik yang bermakna dipandang sebagai mekanisme pengawasan untuk memastikan RUU yang dihasilkan akuntabel dan melindungi hak-hak masyarakat. Karena selama ini proses legilasi dinilai tertutup.
Untuk mewujudkan transparansi dan partisipasi publik yang bermakna, Prabowo menjanjikan beberapa langkah, yaitu transparansi nyata seperti mempublikasi draf resmi, membuat portal khusus pemantauan RUU, serta verifikasi versi draf. Selanjutnya mendorong anggota parlemen untuk lebih melibatkan masyarakat, seperti mendengarkan pendapat masyarakat secara menyeluruh.
Janji Presiden Prabowo akan memperbaiki transparansi dalam pembentukan RUU Polri ialah menjadi angin segar di tengah badai kekhawatiran publik. Keberhasilan dalam mewujudkan transparansi dan partisipasi publik yang bermakna dalam pembentukan RUU Polri ini akan menjadi tolak ukur yang penting bagi kredibilitas pemerintahan Prabowo dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan akuntabel, serta kemampuannya dalam merespon suara rakyat.
Akan tetapi, janji tanpa implementasi yang konkret akan memperburuk citra Polri dan akan merusak kepercayaan publik terhadap proses legislasi.
*Penulis: Trya Harum Akmil (Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas)