Rumah Gadang Terakhir di Maek: Sepasang Tingkap Menanti Anak-anak Pulang

Aku berjalan kaki sepanjang jalan Koto Gadang, Nagari Maek, suatu pagi ketika udara terasa sejuk di kulit dan wajah Bukik Posuak masih

Salah satu rumah gadang di Nagari Maek, Limapuluh Kota. [foto: Yeni Purnama Sari]

Aku berjalan kaki sepanjang jalan Koto Gadang, Nagari Maek, Kabupaten Limapulih Kota, suatu pagi ketika udara terasa sejuk di kulit dan wajah Bukik Posuak masih tersuruk dalam pekat kabut. Matahari baru saja menanjak di pucuk cakrawala, dan masyarakat setempat sudah mulai beraktifitas pagi itu.

Jalan aspal yang membelah Jorong Koto Gadang ini cukup mulus. Tampak beberapa warga maraton dan sesekali kendaraan melintas. Di antaranya merupakan peladang gambir yang hendak pergi ke ladang nun di pinggang bukit.

Menjelang turunan arah ke Bunga Tanjung, di sisi kiriku berdiri sebuah rumah gadang usang bersanding dengan rumah batu yang sama usangnya. Uniknya, rumah gadang yang ada di hadapanku terlihat mungil dibanding ukuran rumah gadang pada umumnya. Pemandangan itu memukauku beberapa saat.

Aku berhenti, kemudian berjalan pelan agak lebih dekat ke arah halaman rumah itu. Aku tidak menemukan setapak menuju jenjang batu. Tumbuhan semak perdu telah menjalari setiap sudut. Merambati dinding palupuah hingga gonjong yang tak lagi menjulang ke langit.

Ada sepasang daun tingkap tersingkap. Tumbuhan sulur berbunga ungu berkelindan menjangkau sepasang daun tingkap itu. Terjurai seperti tirai yang menutupi pandang pada ruang bagian dalam rumah gadang. Seakan menjadi pembatas antara kehidupan hari ini dan masa lalu. Melihat kondisi itu, terbit tanya di kepala, apa yang membuat orang-orang meninggalkan rumah gadang?

Tak banyak kutemukan rumah gadang yang tersisa di sepanjang jalan melintasi jorong-jorong yang ada di Nagari Maek. Hanya beberapa saja, dengan kondisi lebih kurang sama; usang, rumpang, bahkan nyaris tersisa tiang-tiangnya saja. Ada pula beberapa yang sudah kehilangan gonjong, dan mengalami renovasi menjadi rumah modern.

Menurut Budayawan asal Maek, Zelpenedri Imam Bosa, sebelum tahun 1980an di Maek terdapat sekira minimal 400 sampai 600 rumah gadang. Pada umumnya minimal 1 mamak satu rumah gadang.

“Dulunya rumah gadang di Maek ada sebanyak minimal 400 sampai 600 unit, bahkan rumah ini (red. rumah yang ditinggalinya saat ini) adalah rumah gadang dulunya. Satu mamak satu pula rumah gadangnya. Bukan satu pangulu. Jadi satu pangulu itu ada yang mempunyai 4, 5, 6 sampai 9 mamak. Minimal satu pangulu mampunyai mamak sebanyak 2 orang. Tapi sayangnya, rumah gonjong ini, lantaran teknologi dan kemajuan daerah, sehingga rumah gadang tidak dipelihara,” ujar Budayawan yang akrab disapa Pak Izel dalam obrolan kami di kediaman beliau, Minggu (7/6/2024) siang ketika matahari di langit Maek mulai terasa garang, dan udara panas berdengkang.

Tidak seperti rumah gadang yang aku lihat di tempat lain, rumah gadang di Maek ukurannya jauh lebih kecil, dan umumnya memiliki tiga sampai lima gonjong. Pak Izel menjelaskan, rumah gadang di Maek dulunya berukuran sama dengan rumah gadang masyarakat Minangkabau pada umumnya.

Namun kemudian, direnovasi dengan ukuran yang lebih kecil setelah seluruh anak perempuan di rumah itu menikah dan membangun rumah sendiri. Dengan kata lain, rumah gadang Maek hanya dihuni oleh kaum tua setelah ditinggal anak-anak mereka.

“Dulu ukurannya besar, ada yang tiga gonjongnya, ada yang lima. Misalnya di rumah intinya tiga gonjongnya, dan dapurnya dua gonjong, jadi lima gonjongnya. Bagian dapur di rumah gadang itu satali tapi berketingkaian, rumah gadang yang aslinya tinggi, dan dapurnya sedikit lebih rendah. Tapi naik ke rumah itu tetap melewati jenjang yang sama. Kebanyakan rumah gadang dahulu ada yang pakai kamar ada yang tidak. Jadi karena teknologi sudah maju, anak-anak sekarang tidak mau tidur jika tidak pakai kamar,” kisah Pak Izel yang juga dikenal dengan gelar Imam Bosa.

Pak Izel menambahkan, ketika masuk era penjajahan Belanda, atas nama modernitas yang dibawanya, lahirlah rumah tandingan yang disebut rumah gaduang. Dibanding rumah yang hanya terdiri dari ruang lepas dan dapur yang letaknya setali namun berketingkaian, rumah gaduang khas Belanda memiliki fasilitas lebih lengkap. Sehingga banyak masyarakat pribumi yang kemudian beralih membangun rumah gaduang dan meninggalkan rumah gadang.

“Ketika masuk penjajahan Belanda, ada rumah tandingan, rumah gaduang namanya. Fasilitas cukup lengkap. Pakai kamar, pakai teras, tempat bermain ada, tempat tidur ada, terpisah ruang-ruangnya termasuk dapur. Banyak orang beralih membuat rumah seperti itu. Sehingga rumah gadang kebanyakan ada yang tak terpelihara, dan akhirnya banyak yang lapuk bahkan rumah gadang ukurannya diperkecil,” jelasnya.

Menurut Pak Izel, peralihan zaman telah menghilangkan tradisi-tradisi lama, dan menjadi salah satu penyebab rumah gadang makin kehilangan fungsinya sebagai tempat tinggal.

Jika dulu para pemuda yang masih bujang senang berkumpul di rumah gadang, tidur bersama-sama di ruangan lepas terutama ketika tinggal orang tua saja yang menghuni rumah itu tersebab anak perempuannya sudah menikah, turun dari rumah induk dan membangun rumah baru.

“Dulu mereka bisa tidur di rumah gadang, kini tidak lagi. Dulu rumah gadang adalah tempat pertemuan orang bujang-bujang lalok basamo. Terkadang tidur di surau, sebab kamarnya tidak ada. Jika tidak ada urang padusi di sana (red. rumah gadang), hanya tinggal orangtuanya, maka di sana mereka tidur. Sekarang surau sudah tak ada lagi. Rumah gadang pun sudah tak ada,” kenang Pak Izel sembari menyesap kopi yang membubungkan asap ke udara Maek yang membikin badan kian bergetah oleh keringat.

Rumah Gadang dan Teknologi Masa Lampau
Proses pembangunan rumah gadang pada masa dahulunya dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat Minangkabau. Sistem gotong royong tersebut dilakukan oleh mereka yang satu kaum atau satu mamak, mengambil bahan baku berupa beberapa jenis kayu di hutan yang mereka jaga bersama, di antaranya kayu banio, surian, Jaho, atau kayu kolek. Pada umumnya rumah dibuat menghadap matahari terbit. Sehingga sinarnya leluasa merambat ke setiap sudut ruang melalui celah pintu dan jendela yang terbuka.

Proses pengerjaan memakan waktu relatif lama, sebab kayu yang akan digunakan sebagai bahan baku mesti direndam dahulu selama 2 sampai 3 tahun lamanya. Bertujuan agar kayu menjadi lebih padat, kokoh, dan tahan lama. Dibutuhkan tukang dengan keahlian khusus untuk mengerjakan bangunan rumah dengan sistem pasak yang ramah gempa.

“Sesuai dengan karakteristik alam Sumatra Barat yang rawan gempa, teknik pembangunan rumah gadang dapat dikatakan sebagai bukti majunya teknologi masa lampau. Sebagaimana pepatah Minangkabau ‘alam takambang jadi guru’, tercermin dalam arsitektur rumah gadang itu sendiri yang setiap detil pembangunannya dilakukan penuh perhitungan oleh orang dahulu,” terang Pak Izel.

Terbukti ketika terjadi peristiwa gempa yang cukup besar di Sumatra Barat, kebanyakan rumah gadang masih berdiri kokoh. Selain sistem pasak atau tanpa menggunakan paku yang membuatnya fleksibel terhadap getaran, tonggak utama rumah gadang ditegakkan dengan bersendi batu sebagai tumpuan, tidak ditanam ke tanah. Hal ini menjadikannya tahan terhadap goncangan. Ketika terjadi gempa tonggak akan berputar-putar atau bergeser sesuai dengan irama ayunan gempa.

“Tiangnya yang condong saling menopang, serupa lapiak galuang. Itulah yang menyebabkan rumah gadang tetap kokoh berdiri saat dilanda gempa,” imbuhya.

Sementara atap gonjong yang biasanya terbuat dari ijuk, selain dari makna filosofis yang berhubungan dengan tanduk sapi, juga memiliki fungsi tersendiri. Terutama ketika ditimpa curah hujan yang cukup tinggi, air tidak tertampung lama di lapisan atap ijuk, namun langsung jatuh bergulir ke tanah dengan cepat.

Selain itu, kebiasaan orang dulu memasak menggunakan tungku dengan kayu api sebagai bahan bakarnya serta penggunaan lampu tempel turut memperkokoh tiang-tiang kayu rumah gadang. Sebab asap yang membubung dari tungku dan lampu tempel menjadikan kayu lebih awet dan anti rayap.

“Jika dikaji keterkaitan-keterkaitan alam, kenapa rumah gadang bisa tahan, karena ada dapur, asap dapur, asap lampu tempel, asap itu memang perlu, mati rayap dibuatnya. Kini tak seberapa masyarakat yang pakai tungku, jangankan di Kota Payakumbuh, di Maek umumnya sudah pakai kompor gas, masyarakat yang tinggal di tepi rimba pakai kompor gas juga, tak pakai kayu api lagi,” terang Pak Izel.

Kendala Pelestarian Rumah Gadang dan Upaya Revitalisasi
Setelah masuk era penjajahan Belanda, atap ijuk berangsur-angsur diganti dengan seng. Ketika ada kerusakan, akan kesulitan mencari tukang yang bisa memperbaiki.

Selain itu, biaya perawatan rumah gadang juga relatif besar. Mengingat harga kayu yang cukup mahal. Ditambah lagi dengan telah adanya undang-undang kehutanan, menjadikan semakin sulit mendapatkan bahan baku kayu.

“Dulu kayu bebas mengambilnya di rimba. Kini undang-undang kehutanan sudah keluar, sudah banyak kendalanya, sehingga kayu tiang untuk rumah gadang yang di tepi-tepi ini memang tidak ada lagi. Sehingga rumah gadang ini dibiarkan saja jadinya. sudah banyak rumah gadang yang tiris, lapuk, ada yang roboh sendiri, tak dihuni,” jelas Pak Izel.

Selain faktor materi, lanjutnya, pudarnya sifat gotong-royong dalam jiwa masyarakat hari ini juga menjadi sebab sulitnya mempertahankan rumah gadang. Nampaknya perubahan lingkungan menyangkut pula ke pendidikan. Seperti anak-anak yang tinggal di rumah gadang, berbeda jiwanya dengan anak-anak yang tinggal di rumah-rumah model kini. Sebab fungsi rumah gadang tidak hanya sebagai tempat tinggal, namun juga sebagai sumber budaya dan pembelajaran bagi anak kemenakan di suatu kaum.

Saat ini menurut Pak Izel, rumah gadang yang tinggal sudah tak seberapa jumlahnya. Yang dihuni tidak sampai dua atau tiga persen, yang tinggal tak berpenghuni tidak sampai sepuluh persen di Maek. Sebab perawatannya susah, tukangnya pun tak ada pula.

Seperti ketika ada kebocoran atap, akan sulit mencari tukang yang bisa memperbaiki. Sehingga dapat disimpulkan beberapa faktor yang menjadi kendala dalam mempertahankan rumah gadang di antaranya, undang-undang kehutanan yang menyulitkan masyarakat mendapatkan kayu sebagai bahan baku, sifat gotong-royong yang sudah berkurang, perkembangan teknologi, dan yang terakhir hilangnya fungsi rumah gadang karena dianggap tidak begitu penting lagi bagi pemuda sekarang

Namun, punahnya rumah gadang di nagari yang merupakan tempat asal lahirnya adat di Limapuluh Kota, tentu akan menjadi hal yang menyedihkan. Sebab rumah gadang merupakan salah satu identitas kuat orang Minangkabau. Sebagai penganut sistem Matrilineal, rumah gadang merupakan tempat lahirnya generasi Minangkabau. Sebagai bukti eksistensi suatu kaum atau suku, serta disebut oleh orang Minangkabau sebagai “Cahayo dalam Nagari”.

“Adat Maek merupakan yang tertua menurut sejarah yang dikisahkan orang-orang tua dulu, adat Maek disusun oleh empat ninik mamak di Balai Batu Koto Gadang. Keempat ninik mamak itu ialah Datuak Bandaro di Maek, Datuak Sidi di Mungka, Datuak Bagindo di Koto Loweh, dan Datuak Rajo di Balai di Matakui. Merekalah yang menyusun adat dulunya di Balai Batu Koto Gadang, dan menjadi sumber adat di Lima Puluh Kota,” terang Pak Izel.

Mewakili masyarakat Maek, Pak Izel menyampaikan harapan, selain sebagai tempat lahirnya adat Lima puluh Kota, Maek dengan peradaban tua serta segenap keunikan dan keindahan alamnya memiliki potensi sebagai destinasi wisata dunia.

Untuk mempersiapkan nagari yang serupa kuali itu sebagai destinasi wisata, tentu perlu mempersiapkan segala sesuatu sebagai penunjang pariwisata itu sendiri, salah satunya adalah penginapan. Rumah gadang yang tersisa bisa direvitalisasi sebagai penginapan yang menyajikan suasana Minangkabau tempo dulu.

Selain itu, rumah gadang juga bisa difungsikan sebagai pusat pendidikan, pustaka, atau sanggar tempat generasi muda mempelajari seni tradisi. Untuk mewujudkan hal tersebut, tentu diharapkan bantuan dan dukungan dari pemerintah.

Melalui upaya-upaya revitalisasi tersebut, diharapkan rumah gadang terakhir di Nagari Maek dapat terselamatkan. Dengan demikian, halaman rumah gadang akan riuh lagi, dan sepasang tingkap yang terbuka itu tak lagi kesepian menanti anak-anak pulang. (*)

Yeni Purnama Sari. Lahir di Kota Kopi Sungai Penuh. Pernah menjadi wartawan di salah satu portal berita di Sumatra Barat. Menulis puisi, cerpen dan esai di berbagai media massa di Indonesia. Buku puisinya yang telah terbit "Berumah di Kesunyian" (JBS, 2022). Bergiat di Komunitas Sastra Tanah Rawa dan Intro Payakumbuh. Berdomisi di Payakumbuh.

Baca Juga

Debat publik pertama calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Limapuluh Kota tahun 2024 berlangsung di Gedung Lubuak Simato Convention Center
Debat Publik Calon Bupati Limapuluh Kota Sigi Kepentingan Negara dan Masyarakat Adat yang Sering Berbenturan
M. FAJAR RILLAH VESKY
Kado Mahkamah Agung untuk DPRD: Dari Lumpsump Kembali  At Cost
Asysyfa Maisarah, Anak Buruh Tani Asal Limapuluh Kota Merajut Mimpi di UGM
Asysyfa Maisarah, Anak Buruh Tani Asal Limapuluh Kota Merajut Mimpi di UGM
Ramly Syarif Dt. Gindak Simano, warga Koto Alam, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatra Barat (Sumbar) kecewa dan
Truk Dirampas Debt Collector Tanpa Prosedur, Warga Limapuluh Kota Lapor Polisi
Festival Maek Mengungkap Misteri Peradaban Dunia
Festival Maek Mengungkap Misteri Peradaban Dunia
Bupati Limapuluh Kota Salurkan Bantuan Rp100 Juta untuk Korban Galodo Tanah Datar
Bupati Limapuluh Kota Salurkan Bantuan Rp100 Juta untuk Korban Galodo Tanah Datar