Bicara anggaran pemilihan kepala daerah (pilkada) 23 September 2020 menjadi bahasan menarik bagi semua pihak. Karena ini berhubungan dengan uang. Zaman sekarang, mau apa saja butuh uang. Tanpa uang seakan-akan kita tidak bisa apa-apa.
Contoh kasus, saya setiap kali bertemu teman-teman, kebanyakan mereka menanyakan berapa besaran anggaran pilkada diajukan KPU Kabupaten Solok kepada pemerintah daerah (pemda). Ketika saya jawab sekitar Rp31 miliar, lebih banyak menanggapi “wow, besar juga ya?”.
Benar kalau kita membayangkan uang sebesar itu rasanya terlalu mahal biaya untuk pilkada. Kalau dibelikan kerupuk, berapa kontainer itu kerupuknya?
Tapi perlu disadari anggaran ini hanya sekali dalam lima tahun, Bro. Maaf saya pakai kata Bro, karena saya ingin menggambarkan bahwa katika menulis dalam suasana hati yang riang. Yang penting maksud tersampaikan.
Jika angka Rp31 miliar dibagi dengan jumlah penduduk 366.213 jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Solok 2016), maka pemerintah Kabupaten Solok hanya menghibahkan anggaran Rp84.650 untuk masing-masing warganya. Jika dibagi lagi Rp84.650 dengan 5 (tahun), maka hasilnya hanya Rp16.930 per kepala dalam setahun untuk belanja pilkada.
Lebih ekstrim lagi, jika Rp16.930 dibagi jumlah hari dalam 5 tahun tersebut, kira-kira berapa rupiah lah untuk masing-masing penduduk Kabupaten Solok menghabiskan anggaran agar bisa berpartisipasi dalam menentukan pemimpin mereka lima tahun ke depannya. Masihkah kita merasa anggaran pilkada itu besar?
Kalau kita ambil persentase dari jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Solok 2019 sebesar Rp1.217.980.229.645 (solokkab.go.id), maka untuk pilkada butuh 3,7 persen saja. Kalau total APBD selama lima tahun dikali sejumlah APBD 2019 Rp1.217.980.229.645, hasilnya sekitar Rp6 triliun (kalkulator error), maka untuk pilkada 0,7 persen. Coba bayangkan hanya 0,7 persen untuk mengelola Rp6 Triliun lebih APBD selama lima tahun. Ayo buruaaannn!!!! (seperti iklan kartu seluler saja).
Terkait besaran anggaran, saya yakin tidak akan jauh berbeda dengan 260 daerah lainnya yang melaksanakan pilkada (bupati/walikota) 2020. Karena anggaran itu disusun dengan basisnya adalah jumlah masyarakat pemilih.
Lalu kenapa penulis membagi anggaran itu dengan jumlah penduduk, padahal anggaran itu dihibahkan kepada KPU? Seperti sama kita ketahui, pada hakikatnya, setiap agenda yang dilaksanakan pemerintah adalah untuk rakyat.
Sebut sajalah program pendidikan, kesehatan, kesejahteraan rakyat, pertanian, perdagangan, dan lain sebagainya semuanya untuk rakyat. Begitu pun dengan KPU yang tugasnya adalah untuk penyelenggaraan pemilu. Anggaran diberikan kepada KPU adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat supaya bisa mengikuti pemilihan pelayan mereka untuk lima tahun ke depannya.
Memang betul sebagian anggaran itu untuk membayar honor Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), honor Panitia Pemungutan Suara (PPS), honor Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) dan Limas. Tapi mereka diberi honor untuk melayani pemilih, baik di tingkat kecamatan, sampai ke tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Memang betul sebagian anggaran itu dihabiskan untuk pengadaan alat peraga kampanye, tapi itu tujuannya untuk memberitahukan kepada masyarakat, bahwa inilah peserta untuk pemilihan kepala daerah nanti, sehingga mereka bisa menentukan pilihan. Betul juga sebagian anggaran itu dibayarkan untuk mencetak surat-suara, tapi surat suara itu yang akan digunakan masyarakat pemilih untuk dicoblos di TPS. Begitu pun dengan anggaran untuk pendataan pemilih, anggaran untuk sosialisasi, dan lain sebagainya, pada hakikatnya adalah untuk masyarakat juga.
Perlu disadari lagi, keseluruhan anggaran yang dikelola pemerintah adalah uang rakyat. Yang dipungut lewat pajak bumi, pajak barang, pajak penjualan, pajak pembelian barang-barang konsumsi dan dari pendapatan lainnya. Sekarang rakyat sedang butuh uang Rp84 ribu saja per kepala supaya bisa berpartisipasi dalam memilih pemimpin mereka untuk lima tahun ke depan. Sangat tidak logis rasanya jika rakyat pula disuruh patungan untuk agenda pilkada, sementara uang mereka sudah ada. Apakah kita mau ketika anggaran minim, pilkada dilaksanakan asal-asalan saja?
Atau barang kali ada yang beranggapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah ini tidak penting, sehingga tidak perlu anggaran yang memadai? Jika memang seperti itu, maka kita perlu duduk bersama lagi, tentunya sambil ngopi, Bro.
Sama kita ketahui, pilkada itu untuk kepentingan rakyat lima tahun ke depan. Jika pilkada tidak selesai, maka bisa saja pelayanan pemerintah daerah lima tahun ke depan tidak berjalan sesuai yang diinginkan. Kasarnya jika pilkada tidak dilaksanakan, siapa yang akan menjalankan roda pemerintahan. Ini mesti kita pikirkan. Jangan sampai kita berfikiran sempit, nasib rakyat lima tahun berikutnya menjadi tidak jelas.
Kita memang mesti berpahit-pahit perihal pilkada ini. Karena pilkada adalah amanat UUD 1945 (pasal 18). Tanpa pilkada, amanat UUD 1945 lainnya tidak bisa terlaksana dengan sempurna. Sebut saja amanat UUD soal pendidikan (Pasal 31), kesehatan (Pasal 34), pekerjaan (Pasal 28D) kesejahteraan rakyat (Pasal 28H), dan lain sebagainya.
Lagian, rancangan anggaran itu sudah disusun sesuai kebutuhan pelaksanaan tahapan yang ada dalam peraturan KPU. Standar biayanya dipakai juga sesuai dengan perintah Kemeterian Keuangan yang tertuang dalam keputusan KPU nomor 80 dan 81. KPU tidak akan berani menambah-nambah anggaran dan kegiatan karena semua sudah diatur dalam Peraturan KPU. Jika itu dilakukan, resikonya bisa dipecat, bahkan dipenjara.
Jangan khawatir. Besar atau kecil anggaran pilkada, apabila bersisa tetap harus dikembalikan. Sebanyak apa anggaran yang habis, berarti sebanyak itu lah anggaran terpakai oleh KPU untuk melayani masyarakat. Jika anggaran bersisa, berarti belanja masyarakat untuk mengakses pilkada tidak sampai Rp84 ribu. Bisa saja Rp70 ribu, atau Rp60 ribu saja per kepala untuk lima tahun.
Pastinya, setiap penggunaan anggaran akan dilengkapi dengan pertanggungjawaban secara administrasi pemerintahan, mau pun pertanggungjawaban di akhirat.
Untuk itu penulis berpesan, KPU serius dalam menyelenggaraan pilkada ini. Pilkada adalah agenda penting yang tidak bisa kita sepelekan. Pilkada adalah untuk kemashalatan umat.(*)