Risiko Stagflasi Global: Apa Dampaknya bagi Rupiah dan Ekspor Indonesia?

Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.

Prof Dr Syafruddin Karimi SE MA (Foto: ist)

Gelombang kekhawatiran terhadap stagflasi global kembali mengemuka setelah proyeksi ekonomi Amerika Serikat menunjukkan kombinasi yang tidak nyaman: inflasi yang tetap tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Isu ini tidak lagi sekadar risiko teknikal dalam grafik ekonomi, tetapi telah menjadi pembicaraan serius di kalangan pembuat kebijakan, analis, hingga pelaku pasar dunia. Bagi Indonesia, sinyal ini bukan hanya pantulan dari negeri seberang, melainkan peringatan dini bahwa fondasi makroekonomi kita harus siap menghadapi tekanan global yang semakin kompleks.

Stagflasi—sebuah kondisi ketika inflasi tinggi terjadi bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat dan tingkat pengangguran yang meningkat—bukanlah skenario biasa. Dalam situasi normal, inflasi dan pengangguran bergerak berlawanan arah. Namun ketika gejolak pasokan, kebijakan proteksionis, dan disrupsi global bercampur menjadi satu, korelasi itu bisa runtuh. Inilah yang sedang dikhawatirkan banyak pihak: bahwa tarif impor baru dari AS, meningkatnya biaya logistik global, dan tekanan geopolitik bisa menjadi pemicu stagflasi dalam skala global.

Bagi Indonesia, risiko stagflasi global memiliki dua implikasi utama yang tidak bisa diabaikan: pelemahan nilai tukar rupiah dan perlambatan ekspor. Dua sektor ini menjadi penopang utama stabilitas ekonomi nasional, dan keduanya sangat sensitif terhadap dinamika eksternal.

Pertama, mari kita bicara soal rupiah. Ketika inflasi di AS naik dan The Fed mempertimbangkan untuk menunda pemangkasan suku bunga, bahkan mungkin menaikkan kembali jika tekanan harga berlanjut, arus modal cenderung keluar dari negara berkembang. Investor global akan memburu aset-aset safe haven seperti dolar AS dan obligasi pemerintah AS yang menawarkan imbal hasil tinggi. Ini akan memberikan tekanan besar pada mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah. Kita sudah melihat bagaimana rupiah cenderung melemah setiap kali The Fed memberikan sinyal hawkish, apalagi jika didorong oleh kekhawatiran stagflasi yang membuat volatilitas pasar meningkat.

Pelemahan rupiah tidak berdampak tunggal. Ketika nilai tukar tertekan, biaya impor naik, tekanan inflasi domestik meningkat, dan beban utang luar negeri ikut membesar. Di saat yang sama, Bank Indonesia menghadapi dilema: apakah menaikkan suku bunga untuk meredam depresiasi, atau mempertahankan suku bunga agar tidak menghambat pemulihan domestik. Ketidakpastian global, jika tidak diimbangi dengan koordinasi fiskal dan komunikasi kebijakan yang kuat, dapat mengikis kepercayaan pelaku usaha dan konsumen.

Kedua, sektor ekspor menghadapi ancaman yang tak kalah serius. Indonesia selama ini menggantungkan pertumbuhan ekspor pada permintaan global, terutama dari mitra dagang utama seperti Tiongkok, AS, dan Eropa. Jika ekonomi global melambat akibat stagflasi, permintaan terhadap komoditas—baik primer seperti batu bara, sawit, dan nikel, maupun manufaktur seperti elektronik dan tekstil—akan menurun. Negara-negara importir akan mengerem belanja mereka, baik karena tekanan harga di dalam negeri maupun karena daya beli masyarakat yang melemah.

Hal ini akan memukul pendapatan ekspor Indonesia dan mempersempit ruang fiskal pemerintah. Kita tahu bahwa belanja publik, subsidi, dan stimulus ekonomi sangat bergantung pada penerimaan negara, dan ketika ekspor turun, pendapatan pajak dan devisa ikut terkikis. Neraca perdagangan bisa berubah dari surplus menjadi defisit. Kombinasi ini akan memperlemah posisi cadangan devisa dan memperbesar risiko ekonomi jangka menengah.

Namun di tengah semua risiko tersebut, Indonesia tidak boleh memilih jalan pesimisme. Yang dibutuhkan saat ini adalah respons kebijakan yang cerdas dan antisipatif. Pemerintah perlu memperkuat ketahanan ekonomi domestik, bukan hanya melalui belanja negara, tetapi melalui diversifikasi ekspor, penguatan industri pengganti impor, dan insentif kepada sektor-sektor yang tahan terhadap gejolak global. Pelaku usaha juga perlu didorong untuk melakukan lindung nilai (hedging) atas risiko nilai tukar dan mencari pasar alternatif untuk ekspor.

Di sisi moneter, Bank Indonesia tidak bisa bekerja sendirian. Koordinasi dengan Kementerian Keuangan, Bappenas, dan OJK menjadi krusial. Indonesia butuh satu kerangka narasi kebijakan yang terintegrasi: bahwa pemerintah hadir, memahami risiko global, dan siap bertindak tegas menjaga stabilitas. Komunikasi kebijakan yang konsisten dan kredibel sangat penting untuk menahan gejolak ekspektasi pasar.

Kita juga tidak boleh melupakan peran masyarakat dalam menjaga daya tahan ekonomi. Dalam konteks ini, edukasi keuangan, dorongan konsumsi produk lokal, dan penguatan sektor informal menjadi bagian dari strategi menjaga daya beli dan stabilitas sosial. Kebijakan ekonomi tidak boleh eksklusif untuk kalangan elite ekonomi; ia harus menyentuh akar rumput dan memperkuat fondasi ekonomi rakyat.

Sejarah membuktikan bahwa stagflasi adalah musuh yang licin: sulit dikendalikan karena menggabungkan dua tantangan sekaligus. Tapi sejarah juga mengajarkan bahwa negara yang bersatu, cepat tanggap, dan adaptif akan keluar lebih kuat dari krisis. Indonesia punya modal itu—populasi muda, potensi pasar domestik besar, dan cadangan sumber daya alam yang berlimpah. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian untuk bertindak dan kesungguhan untuk menjaga kepercayaan publik.

Jika ekonomi global memasuki zona berbahaya, maka Indonesia harus melangkah dengan strategi, bukan spekulasi. Menjaga rupiah dan ekspor bukan sekadar agenda teknis, melainkan bagian dari menjaga masa depan ekonomi nasional. Jangan tunggu badai datang baru kita mencari pelampung. Kita harus memperkuat kapal ekonomi kita mulai hari ini.

*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE. MA (Dosen Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)

Baca Juga

Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
America First: Strategi Negara Dagang
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Dua Tekanan Global, Satu Ujian Besar
TANAH ULAYAT TOL PADANG-PEKANBARU
Prospek Kredit Indonesia dalam Laporan Moody’s 2025: Stabil, Tapi Rentan
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Dari Sosialisasi ke Partisipasi: Ujian Kepemimpinan Sumbar
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Dampak Global Proteksionisme Trump: Ancaman bagi Stabilitas Ekonomi Dunia
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Mengapa Pasar Mulai Tenang?