Oleh: Aldo Matondang
Sejak masa kolonial, pajak telah menjadi isu sensitif yang menimbulkan resistensi di kalangan rakyat. Kebijakan perpajakan yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda sering dianggap tidak adil, berat, dan hanya menguntungkan pihak penguasa tanpa memberikan timbal balik nyata kepada rakyat.
Kondisi ini memicu berbagai bentuk perlawanan, mulai dari penolakan pasif hingga pemberontakan bersenjata, sebagai respons terhadap kebijakan yang menekan kehidupan ekonomi masyarakat.
Perlawanan rakyat terhadap pajak di masa lalu memiliki relevansi kuat dengan situasi perpajakan modern, terutama terkait kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025.
Meski pemerintah berargumen bahwa kebijakan tersebut tidak berdampak langsung pada masyarakat kecil, kekhawatiran tetap muncul bahwa kebijakan ini akan membebani rakyat, terutama jika tidak diimbangi dengan prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.
Di samping itu, pada masa pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles, kebijakan pajak tanah dahulunya diperkenalkan. Sistem ini mewajibkan petani membayar pajak berdasarkan luas tanah yang digarap, tanpa mempertimbangkan produktivitas tanah maupun kemampuan mereka untuk membayar.
Kebijakan ini menimbulkan keresahan luas di kalangan petani di pulau Jawa kala itu. Meskipun lebih modern dibandingkan tanam paksa, rakyat tetap merasa justru tertekan. Sebagai bentuk perlawanan, banyak petani menolak bekerja sama atau menyembunyikan hasil bumi mereka.
Adapun berikutnya, cultuurstelsel, atau sistem tanam paksa, diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830. Sistem ini mewajibkan petani pada kala itu untuk menyerahkan sebagian hasil panen kepada pemerintah kolonial.
Ketidakadilan sistem ini memicu perlawanan dalam berbagai bentuk, seperti sabotase, perusakan tanaman ekspor, dan penolakan menanam tanaman wajib. Perang Diponegoro (1825-1830) juga menjadi simbol perlawanan terhadap sistem perpajakan yang eksploitatif kala itu.
Selain pajak tanah, rakyat di pulau Sumatra, termasuk Aceh, dan diluar pulau Sumatra ada Bali, juga dikenakan pajak kepala (per individu) dan pajak hasil bumi. Ketidakmampuan membayar pajak sering kali berujung pada hukuman fisik berat. Pemaksaan pajak ini memicu resistensi, termasuk pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah kolonial.
Setelah kemerdekaan, pajak menjadi instrumen utama untuk membiayai pembangunan nasional. Namun, kebijakan pajak sering dianggap tidak adil dan transparan. Di Sulawesi Selatan, gerakan Kahar Muzakkar menolak kebijakan pajak yang dianggap merugikan rakyat daerah. Pemberontakan DI/TII dan PRRI/Permesta juga mencerminkan resistensi terhadap dominasi kekuasaan pusat dalam sistem perpajakan, terlebih soal pembangunan yang tidak merata kala itu.
Adapun pada masa Orde Baru, pajak menjadi pilar utama pembangunan ekonomi. Dan, ya korupsi yang meluas dalam sistem perpajakan merusak kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Hasil pajak sering kali tidak dirasakan manfaatnya secara langsung oleh rakyat, sementara pungutan liar di tingkat lokal semakin menambah beban masyarakat. Ketimpangan distribusi hasil pajak antara pusat dan daerah juga memicu ketidakpuasan, meskipun protes cenderung terbatas karena adanya represi politik.
Di era reformasi, sistem perpajakan mulai diperbaiki untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Lagi-lagi, berbagai tantangan tetap muncul, seperti skandal korupsi besar dalam sistem perpajakan, termasuk kasus Gayus Tambunan pada tahun 2010, yang semakin memperburuk citra otoritas pajak.
Kini seperti yang kita rasakan, penolakan terhadap kebijakan perpajakan yang dianggap memberatkan masyarakat juga terus terjadi. Contohnya, kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022 dan kini menjadi 12% pada Januari 2025.
Kebijakan ini menuai kritik luas karena dianggap memberatkan masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi, walau meskipun pada akhirnya pemerintah memutuskan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai berlaku secara selektif untuk barang dan jasa mewah.
Barang dan jasa lain tetap dikenakan tarif PPN 11%, mereka orang-orang di pemerintahan sana menganggap ini sebagai suatu hal yang menjadi langkah moderasi untuk mengurangi potensi dampak luas pada masyarakat.
Dan berikutnya soal pengenaan pajak digital dan pajak bagi UMKM juga menjadi isu kontroversial. Meskipun langkah ini dianggap progresif, penerapannya menimbulkan kekhawatiran terhadap dampaknya pada masyarakat kecil.
Di sisi lain, kebijakan pajak ini menjadi sorotan karena peningkatan jumlah menteri di kabinet Presiden Prabowo Subianto, terlebi penambahan posisi-posisi strategis baru lainnya, yang membutuhkan lebih banyak anggaran untuk membiayai pemerintahannya, termasuk program makan siang gratis untuk pelajar, yang kini mulai berjalan, meski kabarnya kini dimulai dengan uang pribadi Presiden.
Rocky Gerung dengan sarkasme mengkritik program tersebut bilang: “Pak Prabowo ingin kasih makan gratis pada murid-murid kita, dari mana uangnya? Ya, dari memajaki orang tuanya.” dengan kata lain Rocky menganggap bahwa program besar tersebut juga memiliki akar kesana.
Kita dapat tahu, bahwa sejarah perlawanan terhadap pajak di masa lalu menunjukkan bahwa ketidakadilan dalam kebijakan pajak selalu memicu resistensi. Sejarah mengajarkan bahwa rakyat memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kebijakan yang mereka anggap menekan kehidupan ekonomi, dan itu adalah fakta dari masa lalu.
Jika pemerintah gagal memastikan keadilan dan transparansi dalam pengelolaan pajak, potensi resistensi dapat muncul kembali, dan jangan sesekali menganggap popular resistance itu hal sebelah mata.
Pada akhirnya, kebijakan pajak harus didasarkan pada prinsip keadilan distributif dan partisipasi masyarakat, dan yang paling terpenting dengan pajak itu sudahkah sarana dan prasarana di penjuru negeri mengalami upgrade kualitas?
Oleh karena itu, pemerintah harus mampu menunjukkan bahwa pajak yang dipungut digunakan secara efektif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan hanya untuk kepentingan elite penguasa. Dengan demikian, pajak tidak lagi dilihat sebagai beban, melainkan sebagai instrumen untuk menciptakan keadilan sosial dan pembangunan yang berkelanjutan.
Terakhir, kita sebagai masyarakat penting untuk mengawal kebijakan ini secara kritis. Pertama, awasi implementasinya untuk memastikan bahwa selektivitas kenaikan tarif benar-benar sesuai dengan sasaran tanpa menimbulkan beban tersembunyi bagi masyarakat.
Kedua, dorong transparansi penggunaan dana hasil pajak agar dapat dikonfirmasi mendukung kesejahteraan rakyat secara nyata. Ketiga, ajak akademisi, lembaga riset, dan media untuk terus memberikan kajian obyektif terkait dampak ekonomi kebijakan ini, sehingga dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan ke depan.
Penulis: Aldo Matondang (Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)