Pembangunan hunian sementara (huntara) di lokasi aman harus menjadi prioritas mutlak negara saat ini. Di banyak desa terisolir di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, warga bukan hanya menderita, mereka sedang menghadapi ancaman langsung terhadap nyawa. Akses jalan putus, komunikasi lumpuh, dan bantuan makanan datang dalam jumlah sedikit dengan jeda waktu panjang. Warga bertahan dengan stok pangan yang terus menipis, air bersih sulit, dan risiko banjir susulan atau longsor baru menggantung di atas kepala mereka setiap saat. Dalam keadaan seperti ini, membiarkan warga tetap tinggal di zona bahaya berarti membiarkan risiko kematian terus mengintai.
Pemerintah perlu bergerak cepat menentukan titik-titik aman untuk membangun penampungan sementara. Lokasi huntara harus bebas dari ancaman banjir dan longsor, memiliki akses ke jalan utama, serta cukup dekat agar logistik dan tenaga kesehatan mudah menjangkau. Proses pemetaan harus melibatkan BNPB, BMKG, ahli geologi, pemerintah daerah, TNI, dan tokoh lokal yang memahami karakter wilayah. Negara tidak boleh mengulang kesalahan dengan menempatkan warga di bantaran sungai yang sama atau lereng rapuh yang telah terbukti mematikan. Relokasi darurat hanya masuk akal jika benar-benar menjauhkan korban dari ancaman yang sama.
Di titik inilah instruksi Presiden Prabowo untuk mempercepat penyediaan lahan dan bahkan mencabut atau mengurangi HGU bila dibutuhkan menjadi penting. Negara perlu menunjukkan bahwa keselamatan warga berdiri di atas kepentingan konsesi lahan yang selama ini mendominasi banyak kawasan pedesaan. Ketika BNPB melaporkan bahwa pemda kesulitan menyediakan lahan untuk huntara, keputusan politik di tingkat tertinggi harus memotong kebuntuan itu. Hak guna usaha tidak boleh menjadi tembok yang menghalangi warga bencana mendapatkan tempat berlindung yang layak.
Setelah lokasi jelas, negara wajib membangun huntara dengan standar kemanusiaan yang pantas. Tenda besar, hunian modular, atau shelter kayu dan baja ringan dapat digunakan, asalkan memenuhi kebutuhan dasar: air bersih, sanitasi yang memadai, listrik darurat, ruang keluarga yang manusiawi, serta area aman bagi perempuan, anak, lansia, dan penyandang disabilitas. Dapur umum, posko kesehatan, dan ruang belajar darurat untuk anak-anak perlu hadir sejak awal. Penampungan yang kumuh, sesak, tanpa privasi, dan tanpa layanan dasar hanya akan menciptakan gelombang baru penyakit, kekerasan domestik, konflik sosial, dan trauma panjang yang sulit dipulihkan.
Dalam desa-desa terisolir, strategi bantuan tidak bisa lagi mengandalkan pengiriman paket logistik sedikit-sedikit dengan helikopter atau perahu. Relokasi ke huntara yang dirancang matang jauh lebih efektif untuk menyelamatkan nyawa dan memulihkan martabat korban. Di penampungan yang terpusat, distribusi makanan, layanan kesehatan, pendataan, serta perlindungan sosial dapat berlangsung lebih tertib. Negara dapat memastikan tidak ada keluarga yang luput hanya karena tinggal di bukit terpencil atau lembah yang sulit dijangkau. Relokasi yang terencana juga memudahkan pemerintah memetakan kebutuhan jangka menengah, mulai dari pendidikan anak hingga dukungan penghidupan.
Keputusan Presiden menyetujui bantuan Rp60 juta per rumah untuk renovasi dan pembangunan kembali rumah korban banjir bandang dan longsor di tiga provinsi tersebut memberi harapan baru bagi penyintas yang kehilangan hunian. Data BNPB mencatat sekitar puluhan ribu rumah terdampak, dari rusak ringan sampai hilang tersapu banjir. Jika skema ini berjalan penuh, negara mengirim pesan bahwa rumah rakyat adalah aset yang layak diselamatkan, bukan urusan pribadi masing-masing korban. Di level politik, kebijakan ini menegaskan bahwa perumahan rakyat menempati posisi penting, bukan sekadar pelengkap setelah proyek infrastruktur besar.
Masyarakat tetap perlu membaca angka Rp60 juta dengan jernih. Untuk hunian tetap, dana sebesar itu hanya cukup untuk rumah sangat sederhana, apalagi ketika harga material naik pascabencana dan banyak lokasi sulit dijangkau. Pemerintah juga menyiapkan Rp30 juta per unit untuk huntara berukuran sekitar 36 meter persegi lengkap fasilitas dasar. Kertas kebijakan mungkin terlihat meyakinkan, tetapi kualitas bangunan, standar teknis tahan bencana, biaya transportasi material, dan sarana pendukung di sekitar hunian seperti jalan lingkungan, air bersih, dan drainase akan menentukan apakah bantuan ini benar-benar memulihkan martabat hidup atau hanya melahirkan deretan rumah darurat yang cepat rapuh.
Bantuan per rumah hanyalah satu bagian dari kebutuhan pemulihan yang jauh lebih luas. Rekonstruksi dan rehabilitasi di tiga provinsi mencakup perbaikan jalan, jembatan, jaringan listrik, irigasi, fasilitas kesehatan, sekolah, lahan pertanian, dan usaha kecil. Banyak keluarga kehilangan bukan hanya bangunan, tetapi juga tanah, alat produksi, jaringan sosial, dan akses ke sumber nafkah. Rumah baru tanpa pemulihan lahan, modal kerja, dan akses pasar berisiko melahirkan permukiman miskin baru yang tampak rapi dari udara, tetapi rapuh secara ekonomi.
Relokasi korban, pembangunan huntara, dan bantuan Rp60 juta per rumah harus berjalan sebagai satu paket kebijakan yang utuh. Negara perlu membawa warga keluar dari zona bahaya, menjamin penampungan yang aman dan bermartabat, lalu mengantar mereka menuju hunian tetap dan penghidupan yang kokoh. Penetapan status bencana nasional tetap penting sebagai payung hukum dan politik untuk mengerahkan sumber daya sebesar skala kerusakan, termasuk membuka akses dukungan lembaga internasional. Tanpa kerangka besar seperti itu, instruksi percepatan huntara dan bantuan per rumah bisa berakhir sebagai headline singkat, sementara warga Sumatra terus bergulat sendirian dengan puing-puing hidup mereka.
*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE. MA (Dosen dan Guru Besar Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)



