Relevansi "Kato nan Ampek" di Minangkabau Masa Kini

Relevansi "Kato nan Ampek" di Minangkabau Masa Kini

Ilustrasi sebuah rumah bagonjong Minangkabau (Gambar: chatgpt). Boks: Penulis

Oleh: Abdul Azis

Kato nan Ampek (kata yang empat) merupakan konsep etika komunikasi masyarakat Minangkabau yang mencakup empat jenis pola tutur dalam berinteraksi. Menurut A.A. Navis, fungsi Kato nan Ampek adalah untuk menghormati orang yang lebih tua, menjaga kesantunan (politeness) dalam berkomunikasi, membangun hubungan sosial yang harmonis, serta menghindari konflik dan kesalahpahaman.

Namun, seiring perkembangan zaman dan derasnya arus akulturasi budaya luar, penerapan konsep ini mengalami kemerosotan. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana Kato nan Ampek masih relevan di tengah perubahan social dynamics masyarakat Minangkabau.

Alasan Penulis Membahas Relevansi Kato Nan Ampek

Pertama, penyalahgunaan Kato nan Ampek oleh pihak yang memiliki otoritas di Minangkabau. Konsep ini kerap dijadikan dalil untuk menuntut kepatuhan terhadap perintah yang sesungguhnya berorientasi pada kepentingan pribadi. Tokoh-tokoh yang tergabung dalam Tigo Tungku Sajarangan yakni, niniak mamak (pemimpin adat), alim ulama (pemimpin agama), dan cadiak pandai (pemimpin intelektual) memiliki pengaruh besar dalam decision making. Namun, beberapa di antaranya justru melakukan tindakan irasional yang melanggar norma sosial, adat, bahkan norma agama.

Kedua, terjadinya paradigm shift yang menyimpang dari esensi Kato nan Ampek. Pertanyaan atau pendapat dari kaum muda, khususnya anak kemenakan, kerap dibungkam dengan ungkapan yang bersifat ad hominem, seperti “kamu masih kecil” atau “jangan mengajari orang tua.” Sikap ini mematikan critical thinking bagi generasi muda tentunya. Padahal, kalau kita coba rujuk menurut teori Constructivism oleh Piaget, bahwa sejatinya proses pembelajaran dan pemahaman justru berkembang melalui dialog terbuka dan pengalaman interaktif, bukan represi verbal. Alternatifnya, tokoh adat dapat memberi respon yang lebih edukatif, misalnya: “Ketika waktunya tiba, akan mamak jelaskan,” atau “Bagus, nanti akan mamak pertimbangkan.”

Ketiga, memudarnya diskursus mengenai nilai-nilai etis yang terkandung dalam Kato nan Ampek membuat masyarakat Minangkabau semakin jauh dari local wisdom. Dalam perspektif Ogburn, sosilog asal Amerika Serikat itu menjelaskan kepada kita, bahwa fenomena ini terjadi ketika perubahan kebudayaan material (misalnya teknologi komunikasi) berlangsung lebih cepat dibandingkan adaptasi kebudayaan non-material seperti nilai, norma, dan etika, dan itu bisa saja berdampak signifikan.

Esensi yang Hilang dan Dampaknya

Jika dicermati, masalah utamanya bukan pada relevansi Kato nan Ampek, tetapi pada rendahnya kualitas penerapannya. Minimnya kebijaksanaan (wisdom) di kalangan tokoh adat, lemahnya pendidikan karakter di sekolah formal maupun non-formal, serta penetrasi budaya individualistik dari luar, membuat konsep ini kehilangan daya hidupnya. Akibatnya, Kato nan Ampek yang semestinya menjadi instrumen social cohesion justru tereduksi menjadi alat legitimasi kekuasaan.

Padahal, leluhur Minangkabau menciptakan konsep ini bukan untuk mengekang rasionalitas, apalagi membentuk mentalitas feodal tetapi selalu saja ada saja mereka yang mematahkan ranting nan baru tumbuh ini ironis, padahal leluhur melalui kebijaksanaan mereka menelurkan ini guna menegakkan komunikasi yang menjaga harmoni sosial (social harmony). Apabila dengan penerapan yang tepat, Kato nan Ampek dapat menjadi soft skill harusnya, dalam komunikasi lintas generasi yang relevan hingga kini.

Untuk menghidupkan kembali peran Kato nan Ampek, beberapa langkah strategis dapat dilakukan:

  1. Mengembalikan fungsi pada porosnya: Kato nan Ampek harus kembali digunakan untuk membangun hubungan yang egaliter namun tetap menghormati hierarki sosial. Hal ini memerlukan keteladanan dari para role model adat dan tokoh masyarakat.
  2. Integrasi dalam pendidikan formal dan non-formal: Pembelajaran muatan lokal seperti Budi Pekerti dan Adat Minangkabau (BAM) perlu dihidupkan kembali secara aplikatif di kehidupan bermasyarakat, tidak sekadar berhenti di bangku kelas.
  3. Mendorong dialog intergenerasi: Anak kemenakan diberi ruang untuk bertanya dan berpendapat tanpa rasa takut. Tokoh adat pun harus siap menjadi mentor yang membimbing, bukan sekadar menghakimi.
  4. Pemanfaatan media digital: Mengadaptasi penyebaran nilai Kato nan Ampek melalui social media campaign dan konten kreatif agar dapat menjangkau generasi muda yang hidup di era digital native.

Kesimpulannya, Kato nan Ampek itu bukanlah konsep usang, tapi itu adalah kearifan lokal yang kehilangan daya karena degradasi praktiknya, di sini akar masalahnya. Dengan mengembalikan esensinya pada akar filosofisnya dan menyesuaikan metode penerapannya terhadap konteks zaman, Kato nan Ampek dapat tetap menjadi perekat sosial masyarakat Minangkabau. Sebagaimana pepatah Minang mengajarkan, “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah,” nilai luhur akan tetap relevan selama ia dijaga dan dihidupkan dalam tindakan, bukan hanya dalam kata. (*)

Penulis: Abdul Azis, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif sebagai organisatoris di HMPS PAI, UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi.

Baca Juga

Ranah Minang, Rumah Damai yang Tak Retak
Ranah Minang, Rumah Damai yang Tak Retak
Koreografer asal Pariaman Refleksikan Arti Rumah Lewat Pertunjukan
Koreografer asal Pariaman Refleksikan Arti Rumah Lewat Pertunjukan
Muhammad Nasir
Pelajaran dari SAB: dari Raja Alam ke Pinggiran Kekuasaan
Etos Jalanan dan Ekonomi Tikungan
Etos Jalanan dan Ekonomi Tikungan
Opini “Bersyukur Masih Nomor Dua” oleh Gamawan Fauzi (Gubernur Sumatera Barat Periode 2005-2009), mengangkat isu tentang capaian pendidikan
Refleksi Kritis Pendidikan di Minangkabau
Pemenang sayembara novel DKJ, Yoga Zen terbitkan novel berjudul Tersesat Setelah Terlahir Kembali. tentang tradisi buru babi di Minangkabau.
Pemenang Sayembara Novel DKJ Yoga Zen Terbitkan Novel Tentang Tradisi Buru Babi di Minangkabau