Liburan hari raya tiba. Soal menahun tiba pula: jalur Padang-Bukittinggi dan sebaliknya macet total. Kendaraan nyaris tak bergerak di lebuh raya. Kalaupun ada, beringsut serupa siput. Jarak Padang ke Bukittinggi yang hanya 90 km harus ditempuh 7 sampai 10 jam.
Kita semua sudah tahu penyebabnya: ukuran jalan lintas (highway) kita sebesar lapek, dan jumlah kendaraan bertambah berlipat-lipat pada waktu bersamaan.
Apa akal?. Jangka panjang, ruas jalan harus diperlebar dan ditambah. Salah satunya, tol yang sudah lama terkerangka harus segera diselesaikan.
Jangka pendek, rekayasa lalu lintas mesti dilakukan. Sederhana saja: jadikan jalan menuju Bukittinggi dari Padang dan sebaliknya satu arah saja.
Belajar dari pengalaman, titik macet terparah ada di ruas-ruas Jambu Air, Padang Luar, Koto Baru, Padang Panjang, Silaiang sampai menjelang pasar Sicincin. Pendeknya, beban berat ruas-ruas jalan itulah yang harus dikurangi.
Pilihan ada 2. Pilihan satu melalui Malalak. Pintu masuknya bisa melalui samping Bandara Internasional Minangkabau (BIM).
Jika jalan samping BIM dianggap terlalu kecil, pintu masuknya bisa menggunakan simpang Lubuk Alung (sebelum masuk pasar menuju Pariaman). Atau, bisa juga masuk setelah pasar Sicincin ke Koto Mambang, Tandikek dan langsung ke Malalak untuk keluar di daerah Balingka.
Dari ketiga alternatif pintu masuk itu, pintu simpang Lubuk Alung paling ideal. Dari simpang Lubuk Alung terus ke arah Pauh Kambar. Setelah kantor Polsek Nan Sabaris ambil ke kanan di Balai Basuo menuju Limpato, Sungai Sariak dan belok kanan di simpang Koto Mambang ke arah Tandikek dan seterusnya Malalak.
Pilihan kedua, dari Padang naik ke Sitinjau laut, masuk ke pinggir kota Solok, menyusuri danau Singkarak, belok ke Batu Sangkar untuk keluar di Baso. Jalur Sitinjau Laut juga digunakan searah. Membolehkan truk pembawa logistik dari arah Solok melintasi Sitinjau Laut bisa dipertimbangkan.
Dengan begitu, jalur Silaiang yang memang sangat sempit hanya dibebani melayani kendaraan yang mau ke Padang saja. Dari kota Bukittinggi, pengendara langsung masuk jalur Jambu Air, Padang Luar, Koto Baru, Padang Panjang, Silaiang, Kayu Tanam dan Sicincin. Jadi, ruas jalan yang pada umumnya terdiri dari 2 lajur digunakan satu arah.
Kata kunci kesuksesan rekayasa lalu lintas adalah ketegasan. Petugas di lapangan harus tegas. Dinas perhubungan provinsi, kabupaten/kota dan polisi lalu lintas harus saling bahu membahu dalam bertegas-tegas menegakkan aturan.
Tegas identik dengan tega. Petugas harus tega memaksa orang Kayu Tanam yang hendak ke Bukittinggi untuk putar kepala ke Sicincin menuju Malalak.
Orang Solok dan Solok Selatan yang mau ke Padang harus memutar dulu ke Padang Panjang melalui danau Singkarak. Warga Sawahlunto, Sijunjung dan Dharmasraya juga begitu.
Rekayasa lalu lintas harus disosialisasikan sebelum diterapkan. Ini kata kunci kedua. Sosialisasi masif harus dilakukan, jauh-jauh hari. Untuk tahun ini mungkin belum bisa. Logisnya diterapkan hari raya tahun depan.
Liburan tahun baru 2022-2023 nanti bisa jadi ajang latihan. Pihak-pihak terkait dalam rekayasa lalu lintas dapat mencoba ide sederhana ini.
Bercarut-carut bungkang di media sosial mengumpati horor macet lebaran memang tidak elok. Tapi, pemegang kendali penataan jalan raya salah juga (bahkan salah besar) ketika rutinitas horor tahunan itu tidak diikhtiarkan mencarikan solusinya.