Redenominasi Rupiah: Ilusi Angka yang Mengganggu Fokus Ekonomi Bangsa

Redenominasi Rupiah: Ilusi Angka yang Mengganggu Fokus Ekonomi Bangsa

Syafruddin Karimi. (Foto: Ist)

Rencana pemerintah untuk mendorong redenominasi rupiah dengan mengubah nilai Rp1.000 menjadi Rp1 kembali mencuat ke permukaan. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dikabarkan tengah menyiapkan langkah-langkah untuk mengajukan rancangan undang-undang redenominasi (Investor Daily, 8 November 2025). Dalam skema ini, tiga angka nol akan dihapus dari seluruh satuan mata uang rupiah, termasuk dalam uang fisik, sistem keuangan, dan dokumen kontrak. Pertanyaannya: apakah ini langkah bijak bagi Indonesia saat ini? Atau hanya sebuah gagah-gagahan administratif yang tak menambah nilai apa pun bagi perekonomian nasional?

Menghapus Nol, Bukan Menambah Nilai

Redenominasi tidak mengubah daya beli. Tidak mengubah pendapatan riil. Tidak mengubah harga relatif. Tidak menciptakan lapangan kerja. Tidak memperkuat struktur industri. Hanya mengubah angka yang tercetak di uang kertas, label harga, sistem akuntansi, dan papan pajak. Bila semangkuk bakso seharga Rp20.000 kemudian menjadi Rp20, maka daya beli masyarakat tetap sama. Uang seratus ribu yang bisa membeli lima mangkok tetap bisa membeli lima mangkok. Redenominasi hanya menukar tampilan, bukan substansi.

Lalu, di mana untungnya? Mereka yang mendorong redenominasi kerap menyebut bahwa penyederhanaan sistem mata uang akan mempermudah pencatatan, efisiensi pembukuan, dan persepsi stabilitas. Tetapi, narasi itu tidak pernah disertai bukti empiris bahwa perubahan angka nominal akan meningkatkan investasi, memperkuat industri, atau menaikkan pertumbuhan ekonomi. Keuntungan yang dijanjikan lebih bersifat psikologis dan simbolik. Padahal, stabilitas ekonomi sejati dibangun dari pondasi yang jauh lebih dalam: produktivitas, kredibilitas fiskal, dan kepercayaan publik terhadap kebijakan ekonomi.

Biaya Besar Tanpa Tambahan Manfaat

Redenominasi bukan tanpa biaya. Negara harus mencetak ulang seluruh uang kertas dan koin. Sistem perbankan harus memperbarui software dan sistem pencatatan. Dunia usaha harus mengganti jutaan label harga, kontrak, kuitansi, dan laporan keuangan. Pemerintah harus menjalankan kampanye sosialisasi nasional agar masyarakat tidak bingung dan pelaku usaha tidak salah menghitung. Transaksi elektronik, kartu kredit, bahkan perangkat kasir harus diperbaharui. Semua itu butuh dana besar, waktu lama, dan tenaga kerja tambahan.

Selama masa transisi, akan terjadi duplikasi mata uang lama dan baru yang berjalan berdampingan. Ini menimbulkan potensi kekacauan administratif, keraguan konsumen, bahkan peluang kecurangan. Pelaku usaha kecil akan kesulitan beradaptasi. Masyarakat rentan terhadap money illusion—persepsi keliru bahwa harga-harga turun karena melihat angka yang lebih kecil, padahal daya beli tetap. Akibatnya, kepercayaan terhadap harga bisa terganggu, dan stabilitas ekonomi justru terancam.

Di banyak negara, redenominasi dilakukan karena kebutuhan mendesak seperti hiperinflasi. Indonesia saat ini tidak berada dalam situasi itu. Inflasi tahunan berada dalam kisaran terkendali. Tidak ada urgensi ekonomi yang menuntut penghapusan nol. Jika pemerintah bersikukuh melakukannya, artinya mereka justru mengalihkan perhatian dari prioritas utama: mendorong pertumbuhan ekonomi secara riil.

Fokus Sejati: Meningkatkan Produktivitas Nasional

Indonesia sedang berjuang mengejar pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan. Target menuju pertumbuhan 8% per tahun bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi sebuah keharusan untuk keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah. Untuk mencapainya, pemerintah harus memperbaiki total faktor produktivitas—yaitu kemampuan ekonomi menghasilkan lebih banyak output dari input yang sama. Itu berarti membenahi infrastruktur, memperkuat sumber daya manusia, menciptakan iklim investasi yang sehat, memberantas korupsi, dan mempercepat transformasi teknologi.

Produktivitas nasional tidak akan membaik hanya karena angka di mata uang dirapikan. Yang dibutuhkan adalah efisiensi birokrasi, kepastian hukum, dan kebijakan yang mendorong pelaku usaha untuk berkembang. Indonesia harus mengembangkan sektor industri berbasis teknologi dan nilai tambah, bukan menghabiskan waktu dan anggaran untuk perubahan kosmetik yang tidak memberikan manfaat struktural.

Apakah redenominasi akan menciptakan insentif baru bagi investasi asing? Tidak. Apakah redenominasi akan memperkuat daya saing ekspor Indonesia? Tidak. Apakah redenominasi akan membuka jutaan lapangan kerja baru? Sama sekali tidak. Artinya, setiap rupiah yang dikeluarkan untuk menjalankan proses redenominasi adalah opportunity cost yang merampas anggaran dari program yang lebih strategis—seperti subsidi pupuk, perbaikan irigasi, atau pengembangan digitalisasi UMKM.

Jangan Korbankan Kepentingan Jangka Panjang Demi Gengsi Jangka Pendek

Kebijakan ekonomi tidak boleh sekadar mengikuti selera simbolik atau keinginan terlihat modern. Apalagi jika yang dikorbankan adalah stabilitas fiskal dan konsentrasi pemerintah terhadap program pembangunan jangka panjang. Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian dan kompetisi antarnegara yang semakin ketat, Indonesia tidak boleh menyia-nyiakan energi politik dan fiskal untuk urusan yang tidak memberikan nilai tambah langsung.

Jika benar pemerintah ingin memperkuat rupiah, maka lakukan dengan memperkuat fundamental ekonomi: tekan inflasi, perkuat neraca perdagangan, kelola utang secara hati-hati, dan tingkatkan efisiensi belanja negara. Jangan tempuh jalan pintas yang tampak rapi di permukaan tetapi rapuh di dalam.

Perjalanan menuju pertumbuhan ekonomi 8% membutuhkan ketekunan, keteguhan arah, dan kejelasan prioritas. Pemerintah harus memastikan setiap kebijakan mendorong produktivitas, menciptakan nilai, dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Redenominasi rupiah tidak melakukan satupun dari itu.

Penutup: Tolak Redenominasi, Dorong Transformasi Produktivitas

Wacana redenominasi adalah bentuk kegagalan memprioritaskan yang esensial. Daripada sibuk dengan tiga angka nol di mata uang, lebih baik pemerintah sibuk dengan reformasi struktural. Alihkan energi dan anggaran untuk pendidikan vokasi, digitalisasi sektor pertanian, penguatan rantai pasok industri, dan pengentasan pengangguran.

Indonesia tidak butuh ilusi stabilitas dalam bentuk nominal baru. Indonesia butuh realitas pertumbuhan yang bermakna bagi rakyat. Redenominasi bukan jawaban atas tantangan zaman. Redenominasi adalah pengalih perhatian dari kerja besar yang masih tertunda. Tunda atau batalkan kebijakan ini, dan arahkan semua sumber daya negara untuk satu hal yang benar-benar dibutuhkan: transformasi produktivitas demi masa depan Indonesia yang lebih kuat.

*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE. MA (Dosen dan Guru Besar Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)

Baca Juga

Kepemimpinan Miskin Integritas dan Pengabdian Menyandera Negara Kaya Sumber Daya
Kepemimpinan Miskin Integritas dan Pengabdian Menyandera Negara Kaya Sumber Daya
Manjapuik Nan Lapuak, Manampuah Nan Lanyau Sebuah Filosofi Ketekunan Tanpa Menyerah
Manjapuik Nan Lapuak, Manampuah Nan Lanyau Sebuah Filosofi Ketekunan Tanpa Menyerah
Persepsi Etnis dalam Memandang Kewirausahaan Sebagai Pilihan Hidup Masa Depan
Persepsi Etnis dalam Memandang Kewirausahaan Sebagai Pilihan Hidup Masa Depan
Dosa Ekologis dan Pemanasan Akibat Perbuatan Manusia
Dosa Ekologis dan Pemanasan Akibat Perbuatan Manusia
Kebijakan Pengolahan Sampah Satu Tujuan Energi dalam Perpres 109/2025 Dengan Permasalahannya
Kebijakan Pengolahan Sampah Satu Tujuan Energi dalam Perpres 109/2025 Dengan Permasalahannya
Paan Masala Produk Pangan Kultural India Ngunyah Sirih Adat Minangkabau dan Keterkaitan dengan Gambir
Paan Masala Produk Pangan Kultural India Ngunyah Sirih Adat Minangkabau dan Keterkaitan dengan Gambir