Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik. Pada dua pemilihan presiden terakhir, 2014 dan 2019, Joko Widodo (Jokowi) kalah telak di provinsi ini, meskipun secara nasional ia berhasil memenangkan kontestasi.
Kekalahan tersebut menimbulkan pertanyaan: mengapa orang Minang, yang terkenal dengan sikap rasional, secara konsisten menolak Jokowi? Lebih menarik lagi, ketika di penghujung masa jabatannya Jokowi menghadapi gelombang kritik nasional, Sumatera Barat tetap tenang dan tidak ikut-ikutan menghujat. Apakah sikap ini merupakan bukti rasionalitas politik orang Minang, atau sebaliknya?
Banyak yang berpendapat bahwa sikap politik masyarakat Sumatera Barat didasarkan pada prinsip rasionalitas. Masyarakat Minang dikenal mandiri, egaliter, dan tidak mudah terpengaruh oleh tren populis. Mereka cenderung mengambil keputusan politik berdasarkan evaluasi yang matang dan logis.
Budaya ini mendorong mereka untuk berpikir panjang sebelum membuat pilihan, seperti yang tercermin dalam berbagai pepatah Minangkabau. Salah satu pepatah berbunyi, “Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna,” yang mengajarkan kehati-hatian dalam bertindak.
Hal ini menjelaskan mengapa sejak awal mereka menolak Jokowi, sebuah keputusan yang bukan didasarkan pada impuls, melainkan pada pertimbangan yang lebih dalam.
Namun, jika kita telaah lebih jauh, rasionalitas ini bisa dipertanyakan. Rasionalitas dalam konteks politik seharusnya tidak hanya mencakup pemilihan calon pemimpin, tetapi juga bagaimana masyarakat dan pemimpin daerah memanfaatkan hasil pemilu untuk memajukan pembangunan.
Meskipun masyarakat Sumatera Barat merasa yakin bahwa pilihan mereka benar, apakah mereka telah memanfaatkan momen pasca-pemilu untuk mempercepat pembangunan di provinsi ini? Di sinilah letak ironi terbesar: setelah pemilu selesai, rasionalitas politik mereka tampak goyah ketika pemimpin daerah tidak berhasil menjalin komunikasi politik yang baik dengan pemerintah pusat.
Sumatera Barat, seperti provinsi lainnya, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perhatian pembangunan dari pemerintah pusat. Namun, pembangunan daerah tidak akan berjalan dengan maksimal jika pemimpin daerah tidak mampu memanfaatkan komunikasi politik yang baik dengan presiden, terlepas dari hasil pemilihan presiden di wilayah tersebut.
Banyak provinsi lain di mana Jokowi juga kalah, namun mereka tetap berhasil menarik investasi dan perhatian pemerintah pusat dalam pembangunan infrastruktur. Sumatera Barat, di sisi lain, tampaknya tertinggal dalam hal ini, dengan beberapa proyek penting seperti jalan tol yang tertunda.
Ketidakmampuan untuk memainkan peran politik pasca-pemilu menjadi titik lemah yang seharusnya diakui. Sikap politik masyarakat yang rasional pada saat pemilu tidak akan membawa manfaat jika tidak diikuti dengan strategi yang efektif untuk mendorong pembangunan daerah.
Di sinilah rasionalitas politik orang Minang mulai terlihat kurang efektif. Pemimpin daerah seharusnya menjadi perwakilan pemerintah pusat yang mampu menjalin komunikasi dan kerjasama untuk memastikan provinsi ini mendapatkan hak-haknya, terlepas dari perbedaan hasil politik.
Gamawan Fauzi, seorang tokoh Minang yang juga mantan Menteri Dalam Negeri, menggambarkan bahwa sikap masyarakat Minangkabau didasarkan pada rasionalitas, kemandirian, dan egalitarianisme. Menurutnya, masyarakat Minang tidak mudah terpengaruh oleh tekanan luar atau tren sementara. Ini adalah bukti kematangan politik yang didasarkan pada logika dan pertimbangan matang.
Namun, Gamawan juga menyadari bahwa meskipun budaya politik Minang rasional, jika tidak diimbangi dengan kemampuan komunikasi politik pembangunan yang baik dengan pemerintah pusat, maka rasionalitas itu sendiri menjadi tidak relevan. Pembangunan tidak akan berjalan lancar jika komunikasi politik pasca-pemilu gagal, dan masyarakat Sumbar pun tidak akan merasakan dampak positif dari pilihan politik mereka.
Selama dekade terakhir, Sumatera Barat harus menghadapi kenyataan bahwa pembangunan infrastruktur dan ekonomi di wilayah ini belum optimal. Meskipun masyarakat tetap teguh pada pilihan politik mereka, kurangnya upaya untuk menjalin hubungan produktif dengan pemerintah pusat justru merugikan daerah.
Seharusnya, provinsi ini bisa memanfaatkan posisinya untuk menarik lebih banyak investasi dan perhatian dari pusat, dengan atau tanpa kemenangan politik di wilayah tersebut. Jika Sumatera Barat gagal memanfaatkan momen pasca-pemilu untuk memajukan pembangunan, maka rasionalitas politik mereka akan kehilangan makna dalam upaya memperbaiki kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Oleh karena itu, Sumatera Barat perlu belajar dari kesalahan masa lalu dan mengadopsi strategi baru yang lebih efektif dalam pembangunan. Masyarakat harus mendorong pemimpin daerah untuk lebih proaktif dalam memperjuangkan kepentingan provinsi di tingkat nasional.
Perubahan paradigma politik, sosial, dan ekonomi sangat dibutuhkan agar Sumatera Barat tidak terus tertinggal. Pendekatan “business as usual” yang mengandalkan pola politik lama harus ditinggalkan, digantikan dengan strategi baru yang lebih dinamis dan berorientasi pada hasil.
Kesimpulannya, rasionalitas politik orang Minang yang sering dipuji sebagai tanda kematangan demokrasi akan kehilangan maknanya jika tidak dibarengi dengan tindakan nyata untuk memajukan daerah.
Komunikasi politik yang efektif antara pemimpin daerah dan pemerintah pusat adalah kunci bagi Sumatera Barat untuk memperbaiki infrastrukturnya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Jika Sumatera Barat ingin maju, paradigma politik dan strategi pembangunan harus berubah. Rasionalitas politik harus diterjemahkan ke dalam tindakan yang nyata dan berkelanjutan.
*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE. MA (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas)