Langgam.id - Ribuan warga pendatang menjadi korban kerusuhan di Wamena Kabupaten Jayawijaya, Papua. Termasuk para perantau asal Sumatra Barat (Sumbar) yang jumlahnya mencapai 2 ribu jiwa. Bahkan, 9 dari 33 korban jiwa dalam kerusuhan itu berasal dari Ranah Minang.
Salah seorang korban selamat dari kerusuhan Wamena asal Sumbar bernama Erizal. Meski begitu, lelaki 42 tahun ini kehilangan anaknya Ibnu (8) dan istrinya Nofriyanti (40) yang meninggal dalam peristiwa tersebut.
Erizal adalah perantau Minang asal Kabupaten Pesisir Selatan. Di Wamena, ia memiliki sebuah toko yang menjual sembako dan kebutuhan sehari-hari. Ia tinggal bersama istri dan satu orang anaknya. Sedangkan satu anaknya lagi, Gian berada di Sumbar sekolah di pesantren di Padang Panjang.
Erizal mengisahkan, kejadian nahas yang merenggut nyawa istri dan anaknya itu terjadi sekitar pukul 09.00 WIT pagi tanggal 23 September. Saat itu, dirinya sedang berada di kios miliknya. Tiba-tiba, tetangga sekitar yang merupakan orang asli Papua menyuruhnya menutup kios.
“Katanya, di SMA PGRI sudah ada yang berkelahi. Saya segera jemput anak ke sekolah. Anak saya kelas 2 dan bersekolah di sebelah kantor bupati Jayawijaya,” kata Erizal meceritakan hari mencekam itu di kantor Aksi Cepat Tanggap (ACT) Sumbar, Selasa (1/10/2019).
Setelah menjemput anak, Erizal pun bergegas menutup kios dan menyiapkan barang-barang untuk mengungsi. Ia pergi ke arah belakang rumah dan mengungsi di sebuah Honai (rumah adat Papua).
Di sana, Erizal bersama keluarga dan sejumlah warga lainnya bertahan sekitar satu jam. Setelah itu, ia meminta bantuan kawan-kawannya yang sudah mengungsi di Kodim. Namun, kawannya yang di Kodim mengatakan, jika semua jalan menuju lokasi tersebut sudah diblokir.
“Lama menunggu pertolongan, ternyata orang-orang yang rusuh di luar mulai curiga dengan tempat persembunyian kami,” katanya.
Erizal tetap ingin menyelamatkan diri. Lalu, ia bersama istri dan anaknya ke luar dari tempat persembunyian dan lari ke belakang SD yang tak jauh dari lokasi tersebut. Malangnya, sekitar 30 orang menenteng senjata sudah menunggu di luar persembunyian.
Erizal pun lari ke rumah pemilik kios yang disewanya yang merupakan warga asli Papua. “Saat itu, saya melihat sudah puluhan kios terbakar. Asap dari kantor bupati juga telah nampak,” katanya.
Menurut Erizal, ia dibantu 3 orang asli Papua untuk bersembunyi di rumah tuanya (pemilik kios yang disewanya). Rumah tersebut juga sudah dipenuhi orang-orang yang ikut bersembunyi dari kejaran massa.
Di luar rumah, lanjut Erizal, massa terus berteriak. Mereka mengaku tidak senang dan turut melempari rumah dengan batu. Mengetahui situasi kian genting, Erizal mengaku saling meminta maaf dengan sang istri karena sudah pasrah.
“Kami ambil selimut dengan kasur, saya dan istri saling meminta maaf. Kita merasa akan sama-sama mati di sini,” katanya mengenang ucapan pada sang istri saat hari kejadian.
Lantas, ketika massa sudah masuk ke rumah tersebut dengan membawa parang, ia menyaksikan keponakannya terluka di dekat pintu. Ponakannya berteriak dan lari ke luar dan meminta tolong kepada orang Papua di sana. Namun, tidak ada yang mau membantu.
Beberapa orang juga sudah terlihat pingsan di dalam rumah. Sedangkan yang yang panik pura-pura mati saat massa mengobrak-abrik dan menghabisi nyawa orang-orang yang ada di dalam rumah.
“Dikiranya saya dan semua orang sudah mati. Kemudian mereka pergi ke luar,” katanya.
Malangnya, Erizal mendapati istri dan anaknya sudah tidak bernyawa. Sedangkan perusuh, mulai menyirami rumah dengan bensin dan membakarnya.
Setelah ia terbangun dari pura-pura mati, Erizal lari ke toilet. Dia menghubungi temannya yang berada di kodim. Setelah itu, ambulance dan Brimob datang dan ia diselamatkan untuk kemudian di bawa kerumah sakit.
“Sekitar 2 jam lebih baru datang ambulance dan Brimob bersama teman saya. Lalu saya dibawa ke rumah sakit dan kepala saya dijahit,” katanya.
Ia mengalami luka bakar di bagian tangan dan kepala. Kepalanya juga sedikit dijahit. Saat itu. ia menelpon anaknya yang di Sumbar dan mengabarkan bahwa ibu dan adiknya sudah meninggal.
“Setelah itu, saya pergi ke Jayapura dengan pesawat kargo. Kemudian dibantu oleh orang Minang di sana,” katanya.
Erizal sampai di Padang bersama dengan 8 jenazah korban Wamena yang dipulangkan. Erizal tidak mengetahui penyebab perusuh itu berbuat brutal.
“Kenapa mereka marah, saya tidak tahu bagaimana, mereka datang dengan brutal,” katanya.
Selama ini, kata Erizal, ia memiliki hubungan baik dengan orang Wamena. Bahkan, adik istrinya dibantu dua orang Papua untuk mengungsi. Menurutnya, pelaku kerusuhan bukanlah orang Wamena yang berada di sekitar tempatnya tinggal.
Dia juga tidak yakin orang dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang berbuat demikian. Sebab, dirinya juga memiliki teman dari orang OPM. “Bukan orang OPM, saya juga ada teman orang OPM,” katanya.
Pasca kerusuhan, Erizal belum memiliki rencana selanjutnya apakah kembali Papua atau tinggal di kampung. Saat ini, ia tinggal di kampung halamannya di Pesisir Selatan. Ia berharap pemerintah mau mengganti asetnya yang musnah oleh perusuh.
“Rencana selanjutnya belum terpikirkan. Saya berharap Bupati Jayawijaya dan gubernur Papua kalau aset saya yang terbakar disana ada ganti ruginya. Saya punya 3 kios, tempat tinggal, dan motor, kalau tempat iya saya sewa,” ujarnya.
Saat ini, dia sudah mendapatkan bantuan dari ACT Sumbar. Anaknya yang sekolah di Padang Panjang juga sudah dijamin oleh seorang donatur sekolahnya sampai tamat.
Erizal diketahui sudah sekitar 6 tahun tinggal di Wamena. Bahkan, ia sudah menjadi penduduk sana dan memiliki KTP Papua. Ia berharap, tidak ada permusuhan dan Indonesia tetap bersatu.
"NKRI tetap bersatu, semoga disana segera kondusif, semoga tidak ada konflik lagi," ujarnya. (Rahmadi/RC)