Laporan Moody’s terbaru menetapkan prospek kredit kedaulatan kawasan Asia-Pasifik (APAC) pada 2025 tetap stabil, termasuk untuk Indonesia. Dalam laporan tersebut, Indonesia berada dalam kategori “Baa2 stable”, yang berarti memiliki kapasitas kredit moderat namun menghadapi tekanan eksternal dan struktural yang perlu diwaspadai.
- Stabilitas Pertumbuhan, Tapi Tidak Imun dari Risiko Global
Moody’s memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kawasan APAC relatif stabil, meskipun lebih moderat di negara besar seperti Tiongkok dan India. Untuk Indonesia, pertumbuhan diproyeksikan tetap kuat secara domestik berkat permintaan konsumsi, tetapi masih terekspos risiko besar dari kebijakan proteksionisme Amerika Serikat dan ketegangan geopolitik.
Jika AS mendorong pembatasan perdagangan yang lebih agresif, ekspor Indonesia bisa terkena dampaknya, terutama komoditas strategis seperti tekstil, elektronik, dan produk manufaktur berbasis nikel.
- Ruang Pelonggaran Moneter Terbuka, Tapi Dibatasi Defisit Fiskal
Inflasi di Indonesia telah menurun ke kisaran target BI, memberikan ruang untuk pelonggaran suku bunga. Namun, Moody’s menyoroti bahwa negara-negara yang belum melakukan konsolidasi fiskal—termasuk Indonesia—akan menghadapi keterbatasan dalam memangkas suku bunga.
Artinya, beban bunga utang pemerintah akan tetap tinggi, dan BI harus berhati-hati agar pelonggaran moneter tidak memicu tekanan nilai tukar maupun arus keluar modal.
- Risiko Utang: Stabil Tapi Tetap Tinggi
Moody’s mencatat bahwa tingkat utang Indonesia tetap di atas level pra-pandemi dan masih tinggi dibandingkan cadangan devisa. Hal ini menunjukkan bahwa risiko fiskal masih membayangi, apalagi jika pertumbuhan ekonomi melambat atau penerimaan pajak tidak membaik.
Dalam konteks ini, rencana pemerintah untuk menaikkan tax ratio hingga 23% akan sangat menentukan keberlanjutan fiskal ke depan. Jika gagal, pembiayaan utang bisa membengkak, memperburuk beban fiskal jangka menengah.
- Ancaman Politik dan Ketegangan Sosial Pascapemilu
Moody’s juga menyoroti risiko politik domestik setelah pemilu di berbagai negara APAC. Di Indonesia, pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo akan dihadapkan pada dilema antara menepati janji politik populis atau menempuh jalur disiplin fiskal.
Kebijakan seperti subsidi energi, program makan siang gratis, dan proyek-proyek besar akan membebani APBN, dan jika tidak diimbangi dengan penerimaan yang cukup, akan menggerus kepercayaan pasar terhadap komitmen fiskal pemerintah.
- Faktor Penentu Perubahan Outlook
Moody’s menyatakan akan mengubah outlook menjadi negatif jika:
• Pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat secara signifikan,
• Defisit fiskal melebar tanpa strategi pemulihan,
• atau ketegangan geopolitik dan proteksionisme perdagangan makin memburuk.
Sebaliknya, outlook bisa membaik jika:
• Indonesia berhasil meningkatkan tax ratio dan menurunkan defisit anggaran,
• Reformasi struktural berjalan efektif,
• dan ketegangan global mulai mereda.
Kesimpulan: Stabilitas Tergantung pada Disiplin Fiskal dan Reputasi BI
Secara umum, Moody’s masih memberi Indonesia ruang optimisme, tapi dengan catatan penting: Indonesia harus menjaga disiplin fiskal, memperkuat struktur penerimaan pajak, dan tidak membiarkan bank sentral kehilangan independensinya. Jika semua instrumen kebijakan dikelola dengan kehati-hatian dan transparansi, Indonesia bisa mempertahankan peringkat kreditnya, menarik investasi, dan menjaga momentum pertumbuhan jangka panjang.
Sebaliknya, jika populisme fiskal mendominasi tanpa perhitungan yang matang, stabilitas makroekonomi akan terganggu—dan risiko penurunan peringkat kredit pun akan menguat.
*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE.MA (Dosen Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)