Praktik Il Principe dalam Bencana Sumatera 2025

Praktik Il Principe dalam Bencana Sumatera 2025

Syafrizaldi Jpang

Saya dalam percakapan telepon genggam dengan Arung yang tengah berada di Banda Aceh, lima hari pasca banjir bandang dan longsor di beberapa tempat di Sumatera, 1 Desember 2025.  Percakapan singkat yang sesungguhnya belum memenuhi dalamnya rindu, tapi harus terhenti karena buruknya jaringan seluler.

Menurut Arung, listrik langsung padam di Banda Aceh dan sekitarnya setelah dihantam siklon Senyar di ujung November 2025 itu.  Dia baru mendapatkan asupan listrik setelah berusaha datang ke sebuah kafe yang menyediakan listrik dari tenaga genset.  Setelah itu, dua hari berturut-turut kami tak lagi pernah bisa berkomunikasi.

Kabar baik datang ketika Menteri ESDM, Bahlil mengatakan Listrik akan segera menyala 93% di Aceh (7/12).  Dalam laporannya kepada Presiden, muka Bahlil tampak ragu.  Dan betul, keraguan Bahlil adalah tambahan derita bagi masyarakat korban di Aceh.

Berturut-turut blunder-blunder politik dibuat oleh Pemerintah RI;  Seorang menteri muncul dengan satu sak beras di pundaknya, seorang anggota DPR RI muncul dengan pakaian taktis seolah turun ke medan perang, sindiran anggota DPR RI terhadap rakyat biasa yang membawa 10 milyar bantuan ke Sumatra, seorang Menteri yang mencemooh bantuan negara tetangga, dan seterusnya, dan seterusnya.

Hampir tiga minggu saya tak lagi berkomunikasi dengan Arung karena situasi belum banyak berubah.  Saya mendapat kemewahan sesaat menggunakan sinyal starlink di lokasi bencana di Aceh Tamiang ketika mencoba video call dengan Arung.  Beruntung saat itu jaringan internet di Banda Aceh sedang baik (11/12).

Dalam percakapan kami, dia menyatakan bahan pangan sudah mulai menipis di toko-toko.  Mungkin panic buying, kata saya.  Arung setuju.  Sambil menyantap mie instan dengan sebutir telur, dia berkeluh-kesah tentang situasi yang tak kunjung membaik.

Saya yakin ada ribuan orang seperti Arung, bahkan lebih parah.  mereka yang sedang berada di tenda-tenda pengungsian hanya dapat menatap nanar tanpa tahu esok harus bernasib seperti apa. Pemerintah di sisi lain bersikeras untuk tidak menetapkan bencana ini berstatus bencana nasional.  Bahkan, bantuan negara-negara asing dicurigai sebagai kekuatan yang akan menghancurkan negara.

Dalam situasi serba mendesak ini, saya kembali diingatkan pada sosok Niccolò Machiavelli.  Agaknya, presiden banyak menyadur strategi yang ditawarkan Machiavelli.  Presiden Prabowo terkesan hanya ingin ditakuti, tidak perlu dicintai.  

It is much safer to be feared than loved, if one must choose,” kata Machiavelli dalam Il Principe, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Sang Penguasa, terbit tahun 1991.

Buku ini sedianya telah diterbitkan berabad silam, tepatnya 1532. Il Principe lahir dari rahim perpecahan Italia pada masa tersebut; perang, intervensi asing, dan ketidakstabilan kekuasaan.

Kendati demikian, Machiavelli menekankan agar para pemimpin jangan sampai dibenci.  “A prince must avoid being hated,” katanya.

Pesan ini tentunya sangat dimengerti oleh seorang Prabowo.  Bahwa ketakutan yang tidak berubah menjadi kebencian adalah kunci stabilitas.  Oleh karenanya, kepenatan dan usia senja tak menyurutkan langkah presiden untuk tetap berkunjung ke wilayah-wilayah yang terdampak bencana di Sumatera.

Di Lokasi pengungsi Masjid Al Abrar, Aceh Tengah, Jumat 12 Desember lalu, Prabowo juga menyatakan bahwa Pemerintah tidak memiliki tongkat Nabi Musa.  Hal ini juga mengingatkan pada tokoh-tokoh sejarah yang dinukil Machiavelli kala membahas konsep virtu.  Virtu menurutnya mencakup kelihaian pemimpin bertindak dalam situasi yang keras, berubah dan berbahaya.  Hal ini mencakup keberanian, kecerdikan, ketegasan, kelicikan strategis dan kemampuan membaca situasi.

Harus diakui, Prabowo sangat lihai dalam konteks ini.  Seturut dengan apa yang dikatakan Machiavelli; “It was not fortune that made them princes, but their ability; fortune only offered them the opportunity”.

Machiavelli melanjutkan, “Injuries ought to be done all at once, so that, being tasted less, they offend less; benefits ought to be given little by little”.  Bahwa rasa sakit sebaiknya diberikan sekaligus, cepat dan tuntas, sementara kebaikan dicurahkan sedikit demi sedikit saja.  Itu lebih baik.

Sejujurnya, Machiavelli menolak pandangan bahwa penguasa harus selalu bermoral.  Menurutnya;  “A man who wishes to make a profession of goodness in everything must necessarily come to grief among so many who are not good”.  Jadi, tidak perlu harus selalu baik, karena kebaikan akan membawa kesengsaraan.

Prinsip-prinsip ini agaknya sudah merasuk ke dalam pikiran para Pengurus Negara saat ini.  Kendati sebagian besar, saya percaya mereka tak pernah membaca Machiavelli.  Namun dari tindak tanduk yang dipertontonkan di ruang publik, hal ini sudah menjadi suatu yang lumrah.

Ribuan orang seperti Arung telah menjadi korban.  Hingga minggu ketiga bencana, masih banyak korban yang hilang, belum ditemukan.  Entah berapa banyak dari mereka yang mati dan tak dikubur secara layak.  Namun Negara bergeming, bersikukuh jika situasi ini dapat diatasi sendiri.  

Tangisan para korban yang kehilangan sanak saudara, harta benda dan kehidupan sosial-ekonomi-politiknya tak terlalu penting.  Presiden terlalu percaya diri dengan ungkapan; “The best fortress which a prince can possess is the affection of his people”.

Namun publik tentunya tidak bodoh.  Masyarakat tahu betul siapa pemimpinnya.  Para pemimpin dapat dilihat dari siapa yang mengelilinginya.  “The first method for estimating the intelligence of a ruler is to look at the men he has around him,” tulis Machiavelli.

Kendati tak memasukkan Machiavelli ke dalam list penulis kegemarannya, Prabowo tampak sedang betul-betul mempraktekkan Il Principe.  Dia tentunya sadar bahwa dukungan rakyat jauh lebih aman dan berjangka panjang ketimbang dukungan dari segelintir elit.  Tapi inilah politik, dukungan rakyat mungkin saja masih dapat dimanipulasi. “The people desire not to be oppressed, whereas the great desire to oppress,” tulis Machiavelli.

Public Aceh sempat mengibarkan bendera putih beberapa waktu yang lalu.  Mereka mulai menyerah, meminta pertolongan dari berbagai pihak, termasuk dunia internasional.  Namun keran bantuan internasional masih terkunci seturut dengan belum ditetapkannya situasi ini sebagai bencana nasional.  Arung bahkan mengungkapkan kekecewaannya pada saya atas sikap-sikap para Pelaksana Negara; janji yang tak kunjung dipenuhi, pernyataan kontroversi dan seterusnya.  

Masyarakat Indonesia kecewa.  Yakinlah, karena rakyat yang kecewa tentu suatu saat akan meluapkan kekecewaan mereka.  Walaupun saya yakin, Presiden Prabowo akan tetap memegang dasar pemikiran Machiavelli, setidaknya dengan terus berkunjung ke lokasi-lokasi terdampak bencana.  Seperti saran Machiavelli; “A prince who builds on the people builds on mud, unless he keeps them friendly”. (*)

Syafrizaldi, penulis & aktivis lingkungan

Baca Juga

Presiden Prabowo Kembali ke Sumbar, Tinjau Penanganan Bencana di Palembayan dan Lembah Anai
Presiden Prabowo Kembali ke Sumbar, Tinjau Penanganan Bencana di Palembayan dan Lembah Anai
Banjir di Sumatera: Soal Air, Hutan, dan Negara
Banjir di Sumatera: Soal Air, Hutan, dan Negara
Aktivis-konten kreator, Ferry Irwandi, beberapa waktu lalu berhasil mengumpulkan donasi untuk korban banjir dan longsor di Sumatra mencapai
Ferry Irwandi Galang Dana untuk Korban Bencana Sumatra, Willy Aditya: Layak Diapresiasi Negara
Soal Kayu Gelondongan Penyebab Banjir Sumatra, Anggota DPR RI Mulyadi: Kejahatan Luar Biasa
Soal Kayu Gelondongan Penyebab Banjir Sumatra, Anggota DPR RI Mulyadi: Kejahatan Luar Biasa
Tangis Mualem: Memangkas Jarak Emosi Birokrasi
Tangis Mualem: Memangkas Jarak Emosi Birokrasi
Mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menilai banjir dan longsor yang melanda Sumatra beberapa waktu lalu layak jadi bencana nasional.
Anies Nilai Bencana Sumatra Layak Jadi Bencana Nasional: Skala Kerusakan Butuh Kekuatan Negara