Pemilihan Umum Tahun 2024 seolah menjadi titik terendah dalam sejarah perjalanan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai Islam tertua ini tidak lolos ambang batas parlemen nasional. Perolehan suara PPP hanya 3,85 persen, sedangkan ambang batas parlemen nasional yang ditetapkan UU adalah 4 persen.
PPP berada di posisi kesembilan, di bawah PDI Perjuangan (16,72 persen), Partai Golkar (15, 29 persen), Partai Gerindra (13,22 persen), PKB (10,62 persen), Partai Nasdem (9,66 persen), PKS (8,42 persen), Partai Demokrat (7,43 persen) dan PAN (7,24 persen).
Sejak semula keraguan terhadap PPP memang sudah muncul juga, yakni ketika ambang batas DPR masih 3 persen pada Pemilu 2019. Sebab saat itu PPP berada di posisi juru kunci dari sembilan partai yang lolos ke Senayan. Ketika ambang batas dinaikkan menjadi 4 persen untuk Pemilu 2024, keraguan itu akhirnya menjadi kenyataan: PPP menjadi partai non-parlemen.
Sejarah PPP
PPP dibentuk pada tahun 1973 sebagai hasil penggabungan (fusi) empat partai Islam, yakni Parmusi, NU, PSII dan Perti. Tak heran, PPP diklaim sebagai “rumah besar umat Islam”. Kebijakan penyederhanaan sistem partai-partai pada zaman otoriter Orde Baru tersebut juga melahirkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sebagai fusi sejumlah partai nasionalis, yakni PNI, IPKI, Murba, Parkindo dan Partai Katolik.
PPP pertama kali ikut kontestasi elektoral pada Pemilu 1977. Inilah momen pencapaian pertama sekaligus tertinggi PPP dalam sejarahnya yakni 29,29 persen, di bawah Golkar 62,11 persen sebagai kendaraan pemerintah dan di atas PDI (8,6 persen). Saat itu masih banyak tokoh Islam bergabung dengan PPP, sekalipun mereka bukan tokoh paling terkemuka.
Beberapa tokoh politik Islam lama sejak awal justru sudah dikebiri rezim militer Orde Baru. Mereka dilarang ikut serta dalam politik praktis. Tokoh kaliber seperti Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap, misalnya, bahkan tak diperkenankan menjadi pemimpin partai Islam manapun. Pembatasan serupa juga dikenakan kepada sejumlah tokoh terkemuka partai nasionalis lama.
Sejumlah tokoh yang kemudian menjadi pimpinan PPP, juga sudah dipreteli pengaruhnya sejak awal. Ruang gerak partai dibatasi. Natsir mengatakan bahwa partai Islam diperlakukan tak ubahnya seperti kucing kurap. Selain itu, penguasa Orde Baru hanya menerima tokoh Islam yang akomodatif dan bahkan oportunis. Syafruddin pernah mengkritik bahwa “Partai Islam sekarang sama buruknya dengan Komunis. Tidak. Tidak benar, karena komunis mau berkorban.” (Kahin, 2005: 403)
Pada pemilu-pemilu berikutnya, PPP tetap tampil seolah hanya sebagai “pendamping” Golkar belaka. Dalam pemilu juru kampanyenya memang masih ada yang “galak”, terutama di DKI Jakarta, tetapi secara umum, sepak terjang mereka dibatasi. Pada tahun 1980-an upaya kebiri atas PPP malah makin meningkat. Lambang partai diubah dari Ka’bah menjadi bintang.
PPP makin kehilangan ciri Islamya dan bahkan alasan keberadaannya ketika Nahdlatul Ulama (NU) secara formal menyatakan keluar dari partai ini pada awal 1980-an. Gaya otoriter pemimpin partai yang kebetulan dari unsur modernis menjadi salah satu sebab NU menyatakan keluar dari PPP dan kembali ke khittah 1926.
Tidak heran sejak itu suara PPP dalam pemilu menjadi makin rendah (jauh di bawah Golkar): 27,78 persen pada Pemilu 1982, turun drastis menjadi 15,96 persen pada Pemilu 1987, naik pelan ke angka 17 persen pada 1992, dan naik lagi menjadi 22,43 persen pada Pemilu 1997 -- sebagai pemilu terakhir Orde Baru. Dalam kaitan ini, bisa dikatakan bahwa dengan menyelenggarakan pemilu sekali lima tahun, Soeharto pada akhirnya bisa menggusur Islam sebagai kekuatan dari panggung politik nasional.
Memang pada masa Orde Baru, demokrasinya abal-abal. Pemilunya sudah diatur sedari awal untuk keuntungan penguasa. Tujuannya membangun legitimasi politik, terutama di mata dunia internasional. Beragam sumber daya dikerahkan, mulai dari logistik, aparat negara, sampai tokoh-tokoh masyarakat, termasuk para agamawan yang turut membangun narasi tentang religiusitas Golkar. Golkar dianjungkan, sementara PPP dan PDI dibonsai, dibiarkan hidup tetapi tak boleh besar.
Argumen pokok rezim adalah stabilitas politik untuk menyukseskan pembangunan ekonomi. Apa yang disebut-sebut sebagai trauma praktik Demokrasi Liberal tahun 1950-an yang buruk menjadi alasan penguasa militer Orde Baru yang ditopang banyak cendekiawan untuk mengendalikan partai-partai dan kehidupan politik umum, walaupun kehilangan essensi demokrasinya.
Era Reformasi
Ketika reformasi bergulir pasca jatuhnya rezim Orde Baru, muncul banyak partai baru. Golongan politik Islam, termasuk dua aliran terbesar, yakni tradisionalis yang diwakili NU dan modernis terutama diwakili Muhammadiyah, membentuk partai-partai baru. Bahkan corak partai baru yang dilahirkan bukan sejenis partai Islam an sich, seperti di masa lalu, melainkan partai berbasis massa Islam.
NU, misalnya, membidani dan mendirikan PKB dan banyak tokoh Muhammadiyah mendirikan PAN. Walaupun tidak dinyatakan sebagai partai Islam, tetapi inilah dua corak partai baru yang secara signifikan mengakomodasi suara umat Islam yang sebelumnya menjadi basis konstituen PPP.
Tak heran pada Pemilu 1999 sebagai pemilu pertama era reformasi, suara PPP tidak sebesar pada pemilu sebelumnya. Pada pemilu yang kemudian diikuti 48 partai ini dan masih bersifat proporsional tertutup, PPP berada di urutan keempat dengan suara 11 persen, setelah PDIP (33 persen), Golkar (22 persen), dan PKB (12 persen). Di posisi kelima dan keenam adalah PAN (7 persen) dan PBB (4 persen), partai yang diklaim punya hubungan “tali darah” dengan Masyumi.
Pada pemilu berikutnya, yakni Pemilu 2004, suara PPP terus melorot. Pada Pemilu dengan sistem proporsional terbuka ini, PPP memang masih berada di posisi keempat, tetapi suaranya hanya 8,15 persen saja, di bawah Golkar (21,8 persen) sebagai pemuncak, PDIP (18, 53 persen) dan PKB (10,57 persen). Pada pesta demokrasi ini, partai-partai tak hanya mengandalkan kinerja caleg dan logistik, tetapi juga figur besar yang secara keseluruhan menjadi daya tarik partai yang mengusungnya sebagai capres atau cawapres.
Selanjutnya pada Pemilu 2009, PPP tersisih dari lima besar, dan berada di urutan keenam dengan perolehan suara sebesar 5,32 persen, di bawah Partai Demokrat (20,85), Partai Golkar (14,45), PDIP (14,05), PKS (7,88), dan PAN (6,01). Pada saat ini Partai Demokrat memang sedang “naik daun” karena tingginya tingkat popularitas capres incumbent Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada pemilu 2014, suara PPP naik sedikit menjadi 6,53 persen, tetapi posisinya malah terjerembab ke urutan sembilan, di bawah PDIP (18,95 persen), Partai Golkar (14,75 persen), Partai Gerindra (11,81 persen), Partai Demokrat (10,19 persen), PKB (9,04 persen), PAN (7,59 persen), PKS (6,79 persen), dan Partai Nasdem (6,72 persen). Partai-partai baru, baik partai Islamis maupun partai nasionalis, (kembali) berhasil melampaui atau menyalip PPP.
Pada Pemilu 2019, PPP melorot lagi, dan kini menempati urutan kesepuluh dengan raihan suara 4,52 persen, di bawah PDIP (19,33 persen), Partai Gerindra (12,57 persen), Partai Golkar (12,31 persen), PKB (9,69 persen), Partai Nasdem (9,05 persen), PKS (8,21 persen), Partai Demokrat (7,77 persen), dan PAN (6,84 persen).
Minimnya figur besar yang terasosiasi dengan partai, logistik, rendahnya kinerja caleg serta positioning politik dan ideologis yang kurang adaptif dianggap sebagai penyebab degradasi PPP sejak era reformasi. Pada Pemilu 2024, PPP bahkan harus menerima kenyataan tidak lagi menjadi partai parlemen (DPR), suatu peran yang telah dimainkannya selama hampir lima dekade dalam sejarah politik Indonesia.
Sudah tentu PPP berikhtiar masuk Senayan lagi di masa mendatang. Walaupun terbilang berat, tetapi terobosan-terobosan yang adaptif terhadap dinamika dan perkembangan politik tentu menjadi suatu keharusan. Tidak hanya menyangkut revitalisasi politik, idiologi, program, dan bahkan logistik, tetapi juga figur-figur partai yang menjadi daya tarik pemilih, terutama generasi baru Muslim yang jumlahnya makin besar. (*/)
Dr. Israr Iskandar, SS, MA.
Pengajar politik di Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas