Sondri
Usai pemilu 2024 dengan berbagai dinamika dan problematikanya, suka atau tidak suka semua orang akhirnya menerima hasil akhirnya. Sebagian pihak mencoba menggugat proses dan hasil pemilu melalui berbagai kanal sesuai aturan yang berlaku.
Pihak yang telah menang dalam keputusan-keputusan lembaga terkait sudah merasa senang tentunya. Saat ini para kontestan yang menang telah mulai menyusun rencana apa yang akan dilakukan setelah pelantikan nantinya.
Di sisi lain, tinggal aroma yang tidak sedap terkait proses dan hasil pemilu. Aroma tidak sedap itu antara lain, bahwa pemilu kita masih bersifat prosedural, banyak politik uang yang sulit terdeteksi atau bahkan terang-terangan, penggunaan anggaran negara secara terselubung untuk memenangkan paslon, politik dinasti, pelanggaran UU yang tak diadili secara tegas. Lunturnya kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga penyelenggara pemilu, bahkan Mahkamah Konstitusi. Segala hal negatif tersebut makin memperjelas kegagalan bangsa ini menciptakan demokrasi berkedaulatan rakyat sesuai konstitusi.
Semua orang juga tahu, bahwa uang atau kapital telah menjadi segala-galanya dalam proses pemilu kita kini. Bicara uang atau kapital hampir identik bicara investasi. Setiap investasi dalam dunia usaha dan ekonomi diharapkan mendapatkan hasil atau laba.
Tak jauh beda dengan investasi di dunia politik, para kontestan atau pihak-pihak yang memberikan dukungan uang tentu berharap modal kembali. Bahkan berharap ada kompensasi lebih atau reward dalam bentuk kesempatan proyek-proyek pembangunan dan jabatan.
Pihak-pihak yang menjadi koalisi pendukung capres-cawapres misalnya, mulai melakukan tawar menawar jabatan menteri atau jabatan apapun yang bisa dibagi. Salah satu keuntungan dari partai koalisi pendukung pemenang pilpres tentunya mendapatkan jatah jabatan. Jabatan tersebut dapat digunakan untuk berbagai akses untuk kepentingan partai dan kader. Lima tahun kabinet tentu masa yang lumayan untuk tetap membuat partai ikut terbawa "eksis" dengan keberadaan kader di kabinet.
Di sisi lain, secara perlahan pemilih yang telah memberikan suara tak diketahui lagi nasibnya. Para paslon dan caleg yang dulu gencar datang dan membuat berbagai janji dan tekad tak lagi mereka lihat batang hidungnya. Mungkin mereka akan datang lagi lima tahun ke depan.
Rakyat yang telah memberikan suara di TPS kini kembali berjibaku melanjutkan kehidupan. Sesekali mungkin di antara mereka meratapi beratnya kehidupan untuk membayar dan membeli kebutuhan hidup. Janji-janji kampanye dan "sedikit uang" dulu tak ada apa-apanya dibandingkan besarnya kebutuhan hidup sehari-hari.
Sebentar lagi terdengar harga-harga akan naik, uang kuliah anak juga naik. Sementara itu terdengar eksploitasi sumber daya alam dengan nilai triliun rupiah. Terdengar juga korupsi merajalela. Pemerintah hanya mampu merekrut pegawai dan menaikan pajak. Bahkan tak segan-segan biasanya pemerintah menaikkan pajak kendaraan main pukul rata, biaya pendidikan terus meningkat, pemerintah mengurangi subsidi pendidikan atau subsidi lainnya.
Sedang subsidi itu untuk mengurangi beban kehidupan rakyat Indonesia yang mayoritas hidup miskin dan berpendapatan pas,-pasan. Sementara di sana sini terdengar sumber alam terus dikeruk dan kerjasama dengan pihak luar. Beberapa gelintir "cukong" memiliki perkebunan sawit ribuan sampai ratusan ribu hektar. Beberapa orang terdengar sebagai orang terkaya sampai ke manca negara.
Korupsi terdengar di sana sini. Rakyat kecil yang masih terus menjerit hanya mendengarkan itu, seolah tak ada hubungan lagi dengan "pesta pora" pemilu.
Sementara UUD 45 dan Pancasila jadi kitab sunyi yang mengabarkan bahwa kekayaan alam dan kekayaan negara digunakan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Para elit dan tokoh pol yang datang dulu, menjalani rutinitas keseharian. Jargon kepentingan rakyat terdengar sayup-sayup sampai.