Langgam.id - Polemik pembebasan lahan masih menjadi kendala utama dalam melanjutkan pembangunan Jalan Tol Padang-Pekanbaru. Hingga kini, pengerjaan di seksi I Padang-Sicincin sepanjang 36,15 kilometer belum juga terlaksana.
Pengamat Hukum Agraria Universitas Andalas (Unand), Kurnia Warman, menilai penolakan pembangunan jalan tol oleh masyarakat adalah tindakan wajar. Prinsipnya bukan menolak pembangunan insfrastruktur, namun menolak proses pembebasan lahan yang dinilai tidak adil dan merugikan.
"Secara undang-undang jalan tol itu untuk kepentingan umum. Itu menguntungkan mobilitas bagi yang berbisnis contohnya. Tapi bagi masyarakat itu memisahkan mereka dengan tanahnya," katanya kepada langgam.id, Selasa (4/2/2020).
Pembangunan jalan tol memutuskan masyarakat dari tanah dan keluarganya. Sebab, jalan tol tertutup untuk diseberangi. Tidak seperti jalan biasa yang bisa dengan mudah menyeberang jalan. Bagi yang punya sawah misalnya, mungkin harus punya mobil dulu untuk bisa pergi ke sawahnya nanti.
Baca juga : Polemik Pembebasan Lahan, Tol Padang-Pekanbaru Masih Mangkrak
Dampak yang merugikan tersebut memberikan pengaruh terhadap sikap masyarakat. Berbeda jika seandainya itu dinilai menguntungkan, bisa jadi masyarakat memberikan tanahnya begitu saja. Misalnya, masyarakat menjual sebagian tanahnya untuk pembangunan, maka tanah sisanya bisa menjadi lahan yang memiliki prospek menguntungkan di masa depan.
"Jalan tol itu hanya dinikmati oleh yang di mulutnya tol saja. Seperti di Padang, tetapi tidak untung bagi wilayah yang dilewati," katanya.
Permasalahan lainnya, lanjut Kurnia Warman, pemerintah tidak memusyawarahkan ganti kerugian dengan masyarakat. Besarnya hanya ditentukan sepihak oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) berdasarkan penilaiam dengan menunjuk tim apraisal.
"Itu yang menjadi masalah, tidak ada wadah bagi masyarakat untuk berunding menyepakati ganti kerugian. Problem utamanya di situ," katanya.
Berdasarkan undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah, pemerintah seharusnya memberikan harga ganti rugi yang layak dan adil. Namun memang tidak menyebutkan kriteria fisiknya. Bahkan orang yang menerima ganti rugi atas tanahnya harus lebih meningkat kesejahteraannya, dibandingkan sebelum diberi ganti kerugian itu.
"Ganti kerugian yang sangat mahal sudah merupakan sesuatu yang amat wajar. Sebab tanah adalah harta benda yang nilanya paling tinggi dan kenaikannya sangat cepat," tuturnya.
Orang-orang, menurutnya, tidak akan melepaskan tanahnya, kecuali dalam keadaan terdesak atau jika itu dinilai menguntungkannya. Pertumbuhan nilai tanah lebih tinggi dibandingkan tingkat inflasi dan lebih berharga dari emas.
"Tanah itu memang luar biasa. Punya nilai luhur, nilai sejarah yang lebih tinggi juga, apalagi itu tanah ulayat dan kaum," katanya.
Tim apraisal yang hanya bekerja dalam 31 hari dinilai terlalu singkat untuk memahami masalah tanah yang begitu rumit. Dia menilai, solusi untuk permasalahan itu terbatas, karena undang-undang sudah mengatur demikian. Persoalan ini juga merupakan test case bagi pemerintah untuk menguji coba Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012.
"Undang-undang ini memang sudah ditolak masyarakat sejak awal tapi tetap dipaksakan. Bahkan sudah dibawa ke Mahkamah Konstitusi pernah diuji tetapi ditolak, jadi hal seperti ini memang sudah diramalkan," katanya.
Ada dua hal yang disepakati dalam ganti kerugian, yakni bentuk dan nilainya. Bentuknya bisa uang, tanah pengganti, atau apa pun yang disepakati. Setelah disepakati bentuknya baru disepakati nilainya. Namun tim apraisal mengganggap semua dinilai dengan uang saja.
"Tidak ada lagi musyawarah penentuan ganti kerugian. Jadi, di situ pangkal masalahnya. Nilainya ditetapkan saja sepihak," katanya.
Karena tidak sepakat itulah masyarakat menolak. Kemudian pemerintah juga menyikapi dengan melakukan konsinyasi menitipkan kepada pengadilan. Sehingga semakin menumpuk masalah di pengadilan. Konsinyasi adalah penitipan pembayaran ganti rugi ke pengadilan.
"Ketentuan soal tanah itu memang menyulitkan bagi pemerintah. Jadi pemerintah membuat peraturam yang menyulitkan dirinya sendiri dan menuai masalah sendiri dengan masayarakat," katanya.
Secara hukum, pemerintah sudah bisa membangun. Makanya saat ini pembangunan terus berlanjut. Hal itu sudah sesuai secara hukum dengan dititipkan kepada pengadilan.
"Secara hukum sudah menjadi tanah negara. Jadi, negara sedang memperlihatkan kekuasaanya bisa membangun tanpa disetujui masyarakat, dan masayarakat harus dipaksakan konsinyasi. Memang begitulah negara hukum kita," katanya.
Kurnia menilai, memperbaiki undang-undang soal pengadaan tanah adalah hal mendasar yang harus dilakukan. Sejatinya, membuat peraturan berdasarkan kepada kesepakatan kedua pihak bukan sepihak.
"Undang-undangnya harus diganti, peraturan presidennya harus diganti, terutama pada pasal yang memaksa masyarakat harus menerima penetapan ganti kerugian sepihak oleh pemerintah melalui konsinyasi lewat pengadilan," katanya. (Rahmadi/ICA)