Tahap pendaftaran pasangan bakal calon kepala daerah ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan kabupaten/kota setempat sudah selesai dilaksanaan pada 6 September, walaupun beberapa daerah harus memperpanjang masa pendaftaran yaitu hingga 10-11 September 2020 lantaran calon hanya satu pasang.
Sekalipun di tengah pandemi Covid-19 tidak mengurangi semarak pesta demokrasi, terutama bagi kontestan dan pendukung. Hampir seluruh pasangan calon melakukan arak-arakan dengan ratusan bahkan ribuan pendukung ke KPU setempat. Sekalipun, prilaku pasangan calon dan pendukungannya ini adalah ancaman serius bagi pemutusan mata rantai penularan Covid-19.
Berdasarkan data KPU RI secara nasional jumlah bakal pasangan calon gubernur dan wakil gubernur sebanyak 22, jumlah bakal pasangan calon bupati dan wakil bupati sebanyak 570, jumlah bakal pasangan calon wali kota dan wakil wali kota sebanyak 95 yang digelar di 270 wilayah di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 37 bakal pasangan calon terkonfirmasi positif Covid-19. Di Provinsi Sumatera Barat 3 bakal calon calon bupati terkonfimasi positif Covid-19 dari 29 pasangan calon yang bertarung dalam Pilkada tingkat provinsi dan kabupaten kota. Hasil tes swab 3 orang bakal calon bupati ini diketahui usai melakukan pedafataran ke KPU bersama ratusan dan ribuan pendukungnya. Pesta yang mencekam, Pilkada atau kesehatan?
Rombongan atau yang kontak lansung dengan bakal calon terkonfirmasi positif Covid-19 saat konvoi ke KPU tengah dilakukan contact tracking dan sebagian sudah melakukan tes swab, juga se isi kantor KPU setempat. Belum lagi wartawan yang kontak dengan balon saat meliput tahap tersebut. Contact tracking harus terus dilakukan hingga ke hulu.
Secara normatif pengumpulan masa dalam jumlah besar, seperti konvoi pasangan calon pada saat pendaftaran tidak dibenarkan. Pendaftaran pasangan calon telah diatur dalam Pasal 49 Peraturan KPU No. 6 Tahun 2020 tentang Pilkada Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Non Alam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang menyatakan bahwa (1) tata cara penyerahan dokumen pendaftaran Bakal Pasangan Calon dalam Pemilihan Serentak Lanjutan dilakukan dengan melaksanakan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) untuk kegiatan penyampaian berkas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (2).
Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang akan mendaftarkan Bakal Pasangan Calon dan Bakal Pasangan Calon perseorangan yang akan mendaftarkan diri, harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota untuk menyampaikan rencana waktu mendaftarkan diri.
KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menyampaikan tata cara pendaftaran Bakal Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan ketentuan hanya dihadiri oleh: ketua dan sekretaris atau sebutan lain Partai Politik dan/atau Gabungan Partai Politik pengusul dan Bakal Pasangan Calon; dan/atau Bakal Pasangan Calon perseorangan.
Di dalam Inpres Nomor 6 tahun 2020 tentang peningkatan disiplin protokol kesehatan Covid-19 dinyatakan bahwa sanksi sebagaimana dimaksud berupa: teguran lisan atau tertulis, kerja sosial, denda administratif, penghentian atau penutupan sementara penyelenggaraan usaha. Di Sumbar, aturan ini diperkuat dengan adanya himbaun gubernur, bupati dan walikota soal larangan keramaian untuk mencegah Covid-19.
Namun empirisnya, baik bacalon petahana maupun non petahana, di rerata provinsi di Indonesia, begitu juga di Sumbar perilakukanya bisa dikatakan sama saja, bungkusannya saja yang berbeda. Saya dan mungkin anda menyaksikan langsung atau menyaksikan dokumentasi peristiwa pendaftaran bacalon ke KPU. Itu foto-foto dan video bertebaran di dunia maya dan media masa.
Rerata pasangan calon dan pendukung tidak terterapkan protokol kesehatan, jaga jarak, berkerumun jumlah yang besar, tidak menggunakan masker, pakai masker tapi di dagu. Mulai dari massa simpatisan, pendukung dan pengurus partai, maupun wartawan. Kita tahu hanya di dalam aula yang menerapkan protokol kesehatan agak baik, di luarnya tetap ada kerumunan dan masker di dagu.
Serupa dikencingi bayi kita. Esok hari usai pendaftaran diberitakan 3 orang calon bupati di Sumbar positif, kalangkabut semua. Alamak, kemarin ikut konvoi, toh? Respon publik jadi beragam tentang perilaku pasangan calon ini, belum lagi ditetapkan sebagai pasangan calon sudah memberi ancaman banyak orang.
Adalah benar bahwa Pilkada adalah hak warga negara, hak memilih dan hak politik. Namun, hak atas kesehatan juga hak warga negara yang perlu dijamin. Setiap orang berhak hidup sehat dalam artian sesuai pasal 1 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan yaitu keadaan sehat, baik fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Kewajiban menjaga kesehatan dirinya dan lingkunganya itu adalah kewajiban setiap orang di negara ini. Kesehatan bukanlah segala-galanya tapi tanpa kesehatan kita bisa apa? Negara ini sudah lama sepakat bahwa kesehatan itu merupakan hak asasi manusia dan sekaligus sebagai investasi keberhasilan untuk pembangunan bangsa dan negara.
Hak untuk memilih bisa ditunda, tapi hak atas kesehatan tidak bisa ditunda. Pilkada atau kesehatan? Namun saya tidak akan bicara tentang penundaan Pilkada. Saya sepakat Pilkada dilanjutkan, tapi bagaimana pengawal kebijakan sehingga keberlansungan Pilkada ini tidak mengancam hak atas kesehatan. Oleh itu negara harus memastikan bahwa Pilkada tidak menjadi ancaman penanganan wabah Covid-19.
KPU tentu tidak mau disalahkan soal ini, karena mereka beralasan masuk ke kantor KPU pada saat pendaftran sudah dilakukan protokol kesehatan dan pembatasan jumlah rombongan masuk ke aula pendaftaran sesuai dengan PKPU No. 6 Tahun 2020. Persoalan konvoi di jalan menjelang pendaftar itu tanggungjawab Satgas Covid-19.
Lah, usai pendaftaran konvoi kembali ke posko atau star awal tangungjawab siapa? Bawaslu sebagai pengawal Pemilu? Pesangan calon, partai politik pengusung? Lempar tangungjawab begini kebiasaan yang sudah lama di lembaga kita. Soal tanggungjawab kita buruk, penegakan hukum kita lemah dalam situasi normal kita berjalan pelan sekali, apa lagi dalam situasi begini.
Ke depan tahap-tahap Pilkada akan lebih berpotensi dalam penyebaran Covid-19 di Indonesia. Tapi beberapa negara sudah terlebih dahulu melakukanya, salah satunya Korea, mereka sukses melaksanakan Pemilu di tengah pandemi Covid-19. Pemerintah harus punya siasat untuk memastikan kerumunan itu tidak terjadi lagi.
Pendidikan Politik
Wabah Covid-19 telah memperlihatkan banyak keganjilan model kepemimpinan di negara ini. Banyak harapan bahwa Pilkada ini adalah salah satu jawaban dari keganjilan itu. Suapaya pesta demokrasi ini melahirkan pemimpin yang menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia di level daerah.
Namun kerumunan dilakukan pasangan calon bersama ribuan pendukungnya adalah bukti bahwa pesta telah dirayakan dengan cara mereka. Bukti rendahnya tanggungjawab calon pemimpin. Ke mana akan digantungkan harapan, Tuan? Lucunya, mereka (baca pasangan calon) di tengah kerumunan wartawan enteng saja berujar, kami tetap memperhatikan protokol kesehatan. Bagaimana caranya coba, masa sebanyak itu? Secara empiris politik itu tidak harus logis dan itu seolah-olah menjadi yurisprudensi.
Konvoi pasangan calon dan pendukungnya yang merata di Indonesia adalah cerminan bahwa sejatinya calon pemimpin hanya berorientasi kepada power, tidak keselamatan warganya. Bakal calon maupun partai politik idealnya harus mampu menujukan ketauladanan dan ikut bertanggungjawab memberi pendidikan politik di tanah air, terutama di Sumbar. Jangan terkesan menjadikan warga sebagai lampiasan libido politik semata. Tanggungjawab moral sebagai politisi dan partai politik di negeri ini dipertanyakan.
Jadi pasangan calon saja sudah menebar ancaman, apa lagi lima tahun ke depan. Calon Pemilih harus selektif dalam memilih calon pemimpin untuk lima tahun ke depan. Lagi pula hingga hari ini isu yang pasangan calon dan elit angkat itu keitu saja, isu kesehatan, terutama Covid-19 dan pemulihan ekonomi serta sektor lain impact dari pada Covid-19 belum menjadi isu utama. Malahan mengabaikan protokol kesehatan dengan melakukan kerumunan saat pendaftaran ke KPU.
Penegakkan Hukum
Kerumunan pada saat pendaftaran bakal pasangan calon tentunya persoalan komprehensif. KPU sebagai pihak penyelenggara dan Bawaslu sebagai pengawal Pilkada ini sama tidak mampu menjamin dipatuhinya protokol kesehatan begitu juga tahapan demi tahapan Pilkada.
Saya punya pengalaman soal ini, saat petugas melakukan pencocokan data pemilih dan memasang stiker peserta pemilih di rumah saya, mereka tidak pakai masker sama sekali. Tapi kenapa pedaftaran itu tidak dilakukan secara online saja, dasar hukumnya sudah ada, sejumlah proses pendaftaran rekrutmen sudah dilakukan dengan model online, seperti pelaksanaan perekrutan ASN. Sehingga KPU tidak kerepotan dalam implementasi aturan yang mereka bikin.
Kemudian lemahnya penegakan hukum, sehingga tidak ada menimbulkan efek jera bagi pelaku pelanggar protokol kesehatan. Konvoi pasangan calon saat mendaftar dengan jumlah masa yang besar bahkan mendatangkan publik figur manarik simpatik masa dan mengakibatkan kerumunan lebih besar adalah petunjuk negara abai dan adanya pembiaraan.
Upaya penecegahan dinilai minim, sebab kerumunan seharusnya dapat dicegah, Pihak terkait bisa membubarkan konvoi pasangan kontestan ini. Serupa antisipasi penyebaran Covid-19 oleh Tim gabungan Pemerintah Kabupaten Agam, membubarkan salah satu pesta perkawinan pada hari terakhir pendaftaran calon berdasarkan himbauan Pemda (Antara Minggu, 6/9). Loh kenapa konvoi pasangan Bacalon Bupati ke KPU yang melebihi masa undangan pesta perkawainan itu tidak dibubarkan. Toh akhirnya dua Bacalon Bupati Agam terkonfirmasi Positif usai pendaftaran ke KPU.
Pelanggar protokol kesehatan juga bisa dipidana, menurut Mahfud MD apabila sampai melawan petugas itu ada hukum pidananya, bisa diproses pidana. Kalau sudah diberitahu supaya menaati protokol kesehatan tapi diteruskan juga ngotot, ada hukum pidananya. Mulai dari sosialisasi, persuasif, penegakan hukum administrasi dan penegakan hukum pidana.
Beberapa tahapan Pilkada hingga pemilihan nanti, berpotensi penyebaran Covid-19 secara masif. Seperti tahap kampanye, dan pemilihan. Menghimpun masa dalam jumlah besar dan pelanggaran protokol kesehatan, dugaan ini harus menjadi perhatian serius bagai pihak penyelanggara dan pihak terkait soal ini. Kerumunan pasangan calon ketika pendaftaran ke KPU adalah bentuk pembiaran yang harus dipertanggungjawabkan, tentu saja tidak ada yang mau disalahkan, akan tetapi harus ada yang bertanggungjawab dalam kasus ini. (**)
(Firdaus Diezo merupakan Dosen Hukum Kesehatan Universitas Ekasakti/Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia/Wakordiv Kajian, Monitoring dan Kampanye PBHI Sumbar)