Pesantren Ramadan sudah mentradisi sejak awal 2000-an di seantaro wilayah tanah air. Artinya, hampir seperempat abad pada setiap bulan puasa peserta didik diberi edukasi keagamaan tambahan.
Secara umum, program pendidikan di bulan suci ini tentu saja positif dan bermanfaat. Meski demikian, catatan kritis dan konstruktif mutlak diperlukan guna perfeksi ke depan.
Sebagai sebuah program, kegiatan ini idealnya tidak menjadi agenda ritualitas semata, tetapi mampu bertransformasi lebih kreatif, inovatif, dan adaptif. Tentunya, tetap pada khittah peningkatan beragama peserta didik terutama dalam mengimplementasikan nilai-nilai Islam secara individual maupun sosial.
Dalam konteks inilah urgensi kajian komprehensif dan holistik dari berbagai perspektif. Tidak saja teologis, tetapi juga sosiologis, antropologis, dan psikologis. Satu hal yang mutlak disadari bahwa sasaran program saat ini adalah Gen Z yang memiliki karakteristik berbeda dari generasi awal ketika Pesantren Ramadan digagas.
Generasi Galau, Strawberry Generation
Generasi Z atau popular disebut Gen Z, adalah mereka yang lahir di rentang 1997-2012. Secara demografis kelompok ini menempati posisi terbesar populasi saat ini dibanding lainnya.
Generasi yang digadang-gadang menjadi aktor utama Indonesia Emas 2045 nanti, menurut sensus 2020 berjumlah 74,93 juta jiwa atau 27,94%. Sementara Milenial 25,87%; generasi X 21,88%; Baby Boomer 11,56%; Post Gen Z 10,88%; dan Pre-Boomer 1,87% (bps.go.id/topik/ tabular/sp2020/2/0/0).
Artinya, pengisi mayoritas bonus demografi itu menjadi kunci utama nasib negeri yang masih memprihatinkan ini di masa mendatang.
Di satu sisi, Gen Z identik dengan berbagai skill era kekinian, khususnya dunia informasi dan komunikasi digital. Mereka bergelut dan beradaptasi begitu cepat dan dinamis dengan teknologi canggih yang berkembang pesat.
Namun, di sisi lain sejumlah stigma negatif dilekatkan pada iGen atau generasi internet ini. Mereka disebut ambisius, ingin serba instan, konsumtif, dan cuek. Hasil riset nasional PPIM UIN Jakarta 2017 menyebutnya sebagai “generasi galau” (PPIM, 2018).
Alasannya, lantaran tidak adanya kepastian goal atau keinginan yang ingin mereka capai. Jika pun menetapkan target keberhasilan diri, hanya berdasar apa yang dilihat pada orang lain, dan dengan standar yang selalu mudah bergeser. Pendek kata, mereka labil dan tidak memiliki orientasi masa depan yang jelas.
Selain stigma generasi galau, Gen Z juga dilabeli Strawberry Generation, julukan berkonotasi negatif. Layaknya buah stroberi, penampakan luarnya terlihat apik, kuat, menarik, dan kokoh. Namun, ternyata sangat mudah memar, rapuh, dan hancur jika tertekan (UNESA, 2024). Generasi ini tumbuh di era yang relatif nyaman dan serba tersedia.
Hanya dengan sentuhan layar gawai, digital native generation ini diberi akses sangat mudah untuk bisa mendapatkan informasi dan fitur-fitur menyenangkan lainnya. Teknologi telah terintegrasi dengan kehidupan mereka.
Selama 6 jam sehari berada di kehidupan online, lebih banyak ketimbang hidup di dunia nyata yang bahkan mereka melupakannya (goodstats.id/07/02/25). Akibatnya, Gen Z tidak terlatih menghadapi tekanan hidup yang sesungguhnya sehingga tidak tahan banting menerima tantangan riil di dunia nyata.
Pesantren Ramadan untuk Resiliensi
Meski ada yang memandang labelling atas Gen Z semata stereotip, tetapi sejumlah besar riset menguatkannya. Poin penting adalah, Gen Z butuh penguatan resiliensi sehingga mereka tegar berhadapan dengan realitas.
Secara sederhana resiliensi dimaknai sebagai “kemampuan bisa beradaptasi dan bertahan secara positif menghadapi cobaan dengan hidup secara baik pasca kemalangan atau tekanan berat, serta mampu pulih kembali dengan cepat bahkan tanpa bantuan pihak lain”.
Dalam konteks ini religiusitas berperan signifikan untuk membangun dan mengokohkan resiliensi. Sejumlah riset menunjukkan individu dengan tingkat religiusitas yang tinggi akan memiliki daya tahan yang lebih tangguh dalam menghadapi dan mengelola tantangan.
Kesadaran mendalam tentang Tuhan (tauhid) sebagai Zat Maha Segala, Sang Pengatur semua peristiwa, tempat pulang semua problematika, disertai pemahaman lurus tentang takdir, rencana, dan kehendak-Nya, mampu membangun dan mengokohkan optimisme sebagai faktor yang sangat signifikan memengaruhi resiliensi.
Lalu, bagaimana idealnya Pesantren Ramadan untuk Gen Z? Pertama, materi hendaknya lebih mengkonstruk kesadaran mendalam tentang hakikat diri sebagai individu, anggota masyarakat, dan hamba Allah SWT. Orientasi masa depan, baik di dunia maupun kehidupan eskatologis di akhirat harus ditumbuhkan, sehingga Gen Z memiliki tujuan hidup yang jelas dan terencana.
Mereka dibangkitkan dari ketercerabutan hakikat makna hidup akibat dominasi teknologi digital yang serba instan, praktis, teknis, pragmatis, dan nirmakna. Harus terhunjam mendalam bahwa hidup bukan untuk kesenangan, tetapi memikul amanah kekhalifahan yang mesti ditunaikan melewati proses, perjuangan, dan hasil yang tak selalu sesuai ekspektasi.
Semangat pantang menyerah tahan banting dan bermental baja menghadapi segala problema disertai keyakinan kokoh terhadap prinsip keadilan Tuhan, kebaikan universal, dan husnuzhan atas takdir, mesti dipompakan untuk antisipasi mentalitas rapuh seperti buah stroberi.
Kedua, metode dan pendekatan idealnya berbentuk penggemblengan, penempaan, atau penggodokan ala pengkaderan, dengan pembekalan materi indoktrinasi melalui ceramah inspiratif, dikombinasikan dengan training partisipatif yang menyenangkan.
Dengan begitu terbentuk mindset, sikap mental, dan kepribadian Gen Z yang tangguh dan “militan” dalam menghadapi realitas hidup yang penuh tantangan. Berbagai challenge telah siap menghadang mereka, sejak dari tuntutan akademik, kecanduan IT, kerentanan kesehatan mental, hingga pengelolaan emosi yang lemah. Gen Z harus terlatih menerima kegagalan, mengelola waktu, efikasi diri, empati, serta mendapatkan dukungan sosial.
Beberapa hari lagi, selama hampir tiga pekan ke depan, jutaan Gen Z yang sedang bertarung dengan diri mereka sendiri yang tengah galau, labil, dan cenderung rapuh laksana buah stroberi, akan mengikuti Pesantren Ramadan.
Rutinitas di bulan puasa ini akan jauh bermakna jika saja diprogramkan serius dan matang sejak jauh-jauh hari. Jika saja dimenej sebagai training tahunan, tentu saja berpotensi raksasa untuk menempa para pelanjut estafet bangsa. Namun, jika hanya sebagai pengganti liburan dan agenda serimonial belaka, maka malah bisa jadi bumerang yang justru menjauhkan Gen Z dari agama. Wallahu a’lam.
Penulis: Faisal Zaini Dahlan, Dosen UIN Imam Bonjol Padang