La Peste, atau Sampar dalam bahasa kita, merupakan novel Albert Camus tentang wabah yang paling populer karena dianggap paling mewakili pemikirannya—absurdisme. Novel itulah yang membuatnya semakin terkenal dalam dunia sastra dan filsafat dan mengantarnya meraih hadiah Nobel Sastra pada tahun 1957.
"Cara mudah untuk mengenal sebuah kota ialah dengan mengetahui bagaimana penduduk di sana bekerja, bercintaan, lalu mati," begitu ditulis Camus di dalam novelnya itu.
Di tengah serbuan wabah seperti sekarang, banyak dari kita nyaris tidak bisa bekerja, sementara membicarakan mati hanya akan menambah kekalutan hati. Untuk menghibur diri, mungkin yang perlu kita bahas kini adalah yang satunya lagi.
Atas nama ilmu pengetahuan dan kepentingan bangsa, pembicaraan tentang cinta dan asmara harus terus-menerus dilakukan. Sebab kehidupan percintaan yang sehat, di antaranya, akan membawa kebahagiaan keluarga. Keluarga yang sehat, akan melahirkan masyarakat yang kuat. Dan masyarakat yang kuat akan terhindar dari amuk pandemi.
Selamat menikmati!
*
Seorang bujang & seorang janda, tergelincir ke dalam perigi cinta.
Tidak diterima Tuan Kadi di mana pun juga, diumumkannya sendiri di sebuah masjid di Balingka kalau mereka akan berkasih-kasihan dalam ikatan yang mereka buat berdua. Agar dipersaksikan mata orang banyak, mereka menikahkan diri mereka sendiri!
Tuan-tuan mau apa?
Aneh juga asmara. Nekat.
Kejadian itu dicatat suratkabar Pandji Poestaka No. 42, 18 Oktober 1923.
"Pernikahan jang gandjil," kata suratkabar terbitan Balai Pustaka itu.
Kejadiannnya begini, seorang pemuda dan seorang janda muda di Pasar Talang, Solok, saling mencintai dan telah memutuskan akan menikah. Tetapi rencana mereka tidak disetujui adat karena si pemuda bukan orang asli Talang. Keduanya lalu lari ke Koto Ilalang (Agam). Di sini pun orang-orang tak berani menikahkan keduanya sebab tidak ada membawa dan memiliki surat izin dari kepala nagari Talang.
Kedua bakal suami-istri itu lalu hilang tak ada lagi kabarnya. Tahu-tahu, tidak berapa lama, keduanya muncul di Balingka. Sewaktu jemaah sedang ramai, mereka maju ke muka, dan di depan orang banyak si janda muda itu mengumumkan:
"Hamba kawinkan diri hamba dengan laki-laki ini nama Dj..., supaya disaksikan!"
"Kedoeanja laloe keloear dan poelang kembali ke Talang," demikian akhir berita itu.
*
Seorang bujang 'meng-embat' janda mamaknya bahkan ketika mamaknya itu masih hidup. Kalau bukan karena cinta, akan sulit mencari alasan yang lebih masuk akal lainnya.
Berita Koerai, No. 8 - Agustus 1939, melaporkan kejadian itu dengan terheran-heran.
"Heran ...," kata suratkabar perkumpulan warga Kurai itu memulai.
"Kita mendapat kabar di Ladang Tjakih (Tigo Baleh) seorang kemenakan menggantikan mamak kandoengnja menikahi djanda mamaknja itoe, sedang mamaknja jang dimaksoed masih hidoep."
"Kita heran ...," kata suratkabar itu mengulangi sekali lagi ketidakpercayaannya.
Tetapi, mau bagaimana lagi, itulah yang telah terjadi.
*
Berita Koerai, pada edisi lain, juga memberitakan percintaan aneh lainnya. Pada edisi No. 12 - December 1939, suratkabar itu melaporkan tentang seorang mamah muda (mahmud) yang kecantol hati kepada lelaki tetangganya.
Seorang mamah muda beserta suaminya—mereka punya seorang anak yang masih kecil—tinggal di sebuah rumah kontrakan di Kampung Ipuh Mandiangan. Di belakang rumah itu, tinggal pula seorang laki-laki. Entah siapa yang gata di antara keduanya, mamah muda dan laki-laki tetangganya itu, "Roepanja ... telah saling mentjinta diloear tahoe soeaminja."
Lebih jauh dari itu, " ... laki2 dan perempoean jang telah digoda api pertjintaan itoe telah memboeat perhoeboengan rahsia didalam seboeah soerau dikampoeng itoe djoega."
Kejadian itu telah menampar pangkal telinga datuk-datuk dan membikin gempar orang-orang di kampung itu.
*
Lalu apa penilaianmu, Pengarang Ka[tu]mbuhan?
Pertama, sekilas terlihat kisah-kisah itu adalah kejadian-kejadian tak bermoral atau setengah bermoral, yang melibatkan perempuan bersuami (atau pernah bersuami). Perempuan adalah pihak yang dirugikan dalam sudut pandang pemberitaan-pemberitaan itu, bahwa citra yang dikonstruksi berita-berita itu atasnya adalah citra yang buruk belaka:
1). Janda-janda penuh hasrat, tak tahu malu, yang doyan bujang, a). yang ngotot ingin kawin, dengan segala cara, bahkan dengan menikahkan diri sendiri di hadapan orang ramai, sekalipun adat-tradisi dan regulasi-negara tidak mengizinkan; b). yang bersedia kawin dengan keponakan kandung mantan suami yang bahkan belum lagi mati.
2). Perempuan bersuami & beranak kecil yang berselingkuh dengan tetangga sendiri lantas berbuat mesum bahkan di tempat suci macam surau di siang bolong pula.
Tapi, mari kita lihat dengan cara yang lain. Kejadian-kejadian itu mengukuhkan sesuatu yang sudah lama juga kita tahu: di masyarakat matrilineal terbesar yang tersisa di Bumi, perempuan punya kekuatan yang bisa mencengangkan.
Apalagi di paro pertama abad ke-20, peran mereka dalam sejarah tampak menonjol: mereka terlibat dalam perang fisik melawan militer bersenjata lengkap (Siti Manggopoh); menyorakkan ide-ide komunisme di pawai dan rapat akbar (Upik Hitam); berbicara tentang pemberdayaan untuk kalangan sendiri (Rohana Kudus); pemain politik yang lihai dan susah dijinakkan bahkan setelah dipenjarakan bertahun-tahun (semisal dua singa betina yang terkenal Rasuna Said & Rasimah Ismail); termasuk pembaharu pendidikan yang gigih dan keras kepala yang bahkan sekolah yang didirikannya masih jadi sekolah terkemuka sampai sekarang (Rahmah el-Yunusiyyah).
Di antara semua narasi kedigdayaan itu, mari kita tambahkan lagi:
Mereka juga bisa mengendalikan alur percintaan. Merekalah pemain utama dalam lakon-lakon asmara mereka sendiri dan menempatkan laki-laki tak lebih dari pemain figuran.
Eureka...!!!
Kedua, kita tengah berbicara tentang sebuah masyarakat yang ambivalen. Itulah corak umum masyarakat terbelah di dunia ketiga yang terjajah, yang tampak nyata berlangsung pada paro pertama abad ke-20 seiring cepatnya laju modernitas. Masyarakat Minangkabau tengah bergerak lebih cepat pada kurun tersebut, inilah zaman yang disebut Takashi Shiraishi sebagai 'an age in motion'. Modernitas itu, sebagai ‘pandemi’, mengamuk di bilik-bilik tradisionalitas, menebarkan ‘kuman-kuman’ bernama sepur (lokomotif) dan outo, arloji dan kodak, pantolan dan dasi, juga tuksedo; selain piano dan biola (orchestra), radio dan gramophon; telegram dan pos surat; tamasya atau ber-vacantie; bioskop dan opera; juga kapitalisme dan komunisme, sekaligus rasionalisme-empirisisme sains; dan lagi, birokratisasi; dan termasuk juga di antaranya emansipasi wanita. Yang terakhir ini bisa berupa keinginan sejajar di hadapan laki-laki dalam ruang sosial; kesempatan memperoleh pendidikan yang sama; penolakan atas kawin paksa—perempuan sebagai individu yang bebas-merdeka dalam menentukan nasib termasuk dalam merayakan hasrat dan asmara!
Begitulah, nilai-nilai baru menghambur datang. Norma-norma lama dibuatnya tergagap dan tergeragap. Di tengah gejala serupa itu, masyarakat dilanda anomie—bingung. Barangkali itu sebabnya, si penulis berita berulangkali mengulang-ulang ke-senewen-an akan zaman yang tengah dilaporkannya:
"Heran! Ganjil! Aneh! "
Deddy Arsya, pengajar sejarah di IAIN Bukittinggi