Angka perceraian di kota Padang sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Ibarat berjalan di atas titian rapuh. Pengadilan Negeri Agama Kota Padang mencatat terjadinya lonjakan angka perceraian pascalebaran Idul Fitri 2023.
Menurut Ketua Pengadilan Agama Kota Padang, Nursal, pasca lebaran 2023, pengadilan agama menangani angka perceraian hingga mencapai 100 pasangan per hari. Hal ini berbeda sebelumnya, sebelum lebaran 2023 Pengadilan Agama mengurusi hanya 60 kasus perceraian saja setiap hari. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa penyebab perceraian beragam, tetapi salah satu yang menjadi pemicunya adalah acara reuni.
Sebetulnya banyak motif yang mengantarkan terjadinya keretakan rumah tangga yang berujung dengan perceraian, semisal ketidakmampuan pasangan dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perselingkuhan. Mencermati perkara perceraian d kalangan banyak pasangan di kota Padang, saya ingin memberikan sejumlah catatan.
Pertama, perlunya pemahaman tentang fiqih munakahat semenjak dini. Banyak yang meremehkan pentingnya kaidah hukum Islam menyangkut kehidupan rumah tangga. Tidak sedikit kasus perceraian yang berawal dari sikap pembiaran atas pertengkaran kecil di rumah tangga. Tidak ada rumah tangga yang bebas dari silang sengketa antara suami dan istri. Justru kesempurnaan rumah tangga terletak dari kemampuan kedua belah pihak dalam menjalani dinamika marah dan sayang.
Persoalan muncul tatkala dinamika pernikahan balik kanan dari sunnah. Pada suatu kesempatan, Ali bin Abi Thalib dan Fatimah bertengkar. Ali marah lalu meninggalkan rumah dan pergi ke masjid. Rasulullah datang ke rumah Fatimah radhiyallahu ‘anha. Beliau tidak melihat Ali. “Mana suamimu?” Fatimah menjawab, “Tadi kami bertengkar. Dia marah lalu keluar.
“Rasulullah menyuruh seseorang untuk mencari Ali radhiyallahu’anhu. Beberapa saat kemudian orang itu datang memberi laporan bahwa Ali berada di masjid, sedang tidur. Rasulullah datang ke masjid. Ali sedang tidur dan kain serbannya jatuh ke tanah. Beberapa bagian tubuhnya terkena pasir. Dengan lembut Rasulullah mengusapnya dan bersabda, “Bangunlah hai orang yang berpasir. Bangunlah hai orang yang berpasir.”
Ternyata sikap lembut Rasulullah itu dapat meredakan kemarahan Ali.
Hikmah sirah nabawiyah ini mengajarkan rumah tangga Muslim bahwa bila bertengkar pergilah ke mesjid, bukan ke diskotik atau curhat kepada mantan pacar. Salah melangkah bisa-bisa tergelincir kepada perselingkuhan yang berujung perceraian. Untuk kota Padang, kasus perceraian memperlihatkan tren yang mengkhawatirkan.
Menurut Pengadilan Agama Kota Padang, tak sedikit anak-anak korban dari perceraian yang dititipkan ke panti asuhan karena ayah atau ibunya menikah lagi. Sungguh miris bahwa berbagai panti asuhan di kota Padang bukan saja menampung anak-anak yatim piatu tapi juga mereka yang diabaikan oleh bapak dan ibunya yang menikah lagi.
Kedua, kepintaran tidak berbanding lurus dengan kedewasaan. Prilaku seorang dosen PTN beberapa tahun lalu yang menghabisi nyawa istrinya sungguh ironis mengingat posisinya sebagai seorang dosen yang bukan saja mempunyai kapabilitas intelektual tapi juga integritas etis-moral. Peristiwa ini menjadi alarm bagi siapa saja, terutama kalangan pendidik maupun peserta didik, bahwa semakin tinggi jabatan seseorang maka semakin ia memerlukan kedewasaan yang lebih memadai.
Dalam bahasa Daniel Goleman ini disebut emotional quotient (EQ). Ini fundamental karena kepintaran tidak bisa menutupi kekurangan di sektor kedewasaan. Sebaliknya, kedewasaan bisa menutupi kekurangan di ranah kepintaran secara meyakinkan. Gelar S3 atau profesor tidak menjamin kecerdasan emosional seseorang.
Kedewasaan jauh lebih urgen dalam mendayung biduk rumah tangga. Banyak orang yang tampak matang di lingkungan kerja namun terjun bebas dalam kedewasaan di rumah tangga. Kedewasaan dalam rumah tangga tegak tatkala suami istri bergerak dari wilayah permukaan (surface structure) menuju struktur hubungan yang lebih dalam (deep structure). Pertumbuhan dan kedewasaan pernikahan berumur panjang lewat jalan seperti ini.
Awalnya orang tertarik dengan pasangan karena hal-hal luar seperti bentuk muka. Sebagaimana kulit buah yang tidak selalu mencerminkan isinya, ihwal luar rawan membuat orang kecewa. Setelah bertumbuh jauh, orang mulai tertarik karena hal-hal di dalam seperti kesabaran, toleransi, dan kasih sayang.
Seseorang yang tekun dan sabar tentu bakal diguncang oleh krisis yang tak kalah mengguncang. Kedewasaanlah yang membuat pasangan suami istri mampu melewati krisis sehingga bisa melihat pasangan sebagai belahan jiwa.
Ketiga, dua kasus tragis ini menambah catatan besar atas merosotnya indeks kebahagiaan masyarakat Sumatera Barat. Beberapa waktu lalu survei BPS menempatkan Sumbar sebagai propinsi dengan penduduk paling tidak bahagia di bawah Papua.
Menurut survey ini, Sumatera Barat mencapai indeks 66,79. Kebahagian dianggap meningkat bila kesejahteraan juga meningkat dalam bentuk pendapatan rumah tangga. Kebahagiaan paling bawah berada pada kesejahteraan paling bawah.
Hasil survei BPS ini bukan tanpa kontroversi. Merelasikan kebahagiaan dan kesejahteraan material, bagaimanapun, adalah sebuah anomali. Bila materi yang jadi ukuran, maka Korea Selatan menjadi salah satu negara paling bahagia.
Kapitalisasi ekonomi mereka hampir mengalahkan Jepang. Saat merek-merek Jepang mulai meredup, industri eletronik dan piranti lunak Korsel berjaya menguasai dunia. Ponsel Samsung dimana-mana ditenteng orang—Indonesia, Eropa, Jepang dan Amerika. Mobil Hyundai dan KIA sudah jadi mobil prestisius di Eropa dan Amerika.
Lalu apakah mereka bahagia? Korsel memiliki daftar kasus bunuh diri tertinggi di dunia. Saban hari ada saja yang terjun dari apartemen. Tidaklah mengejutkan artis Korsel setiap saat dikabarkan bunuh diri.
Sungguhpun ukuran kebahagiaan sulit untuk dikuantifikasi karena menyangkut juga dengan nilai sosial dan budaya masyarakat, perlu menjadi renungan bersama bahwa ada bagian dari masyarakat di ranah Minang ini yang tengah dililiti oleh krisis kemanusiaan.
Segenap pemangku kepentingan perlu bergerak maju melakukan terobosan kolektif supaya pendidikan betul-betul menjadi kunci untuk mengobati duka kemanusiaan ini.
*Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas