Perang Dagang Sebagai Tantangan Sistem Ekonomi Pancasila

Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.

Prof Dr Syafruddin Karimi SE MA (Foto: ist)


Tanggal 1 Juni 2025 menandai 80 tahun sejak Pancasila pertama kali lahir sebagai dasar negara Indonesia. Sebuah momen reflektif, bukan hanya untuk mengingat nilai-nilai luhur yang dirumuskan Bung Karno pada 1 Juni 1945, tetapi juga untuk menakar sejauh mana Pancasila benar-benar menjadi landasan dalam praktik kebangsaan dan kehidupan ekonomi kita. Dalam konteks global yang terus berubah, perang dagang internasional menjadi salah satu ujian besar bagi Sistem Ekonomi Pancasila, yang digagas sebagai bentuk ekonomi khas Indonesia—berlandaskan gotong royong, keadilan sosial, dan kemandirian.

Perang Dagang: Ancaman Tak Kasat Mata

Perang dagang modern tidak membawa senjata, tetapi justru melumpuhkan ekonomi melalui tarif tinggi, pembatasan ekspor-impor, dan dominasi pasar global oleh kekuatan besar. Ketika dua negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Tiongkok berseteru, efeknya menjalar hingga ke negara berkembang seperti Indonesia. Ekspor kita melemah, industri dalam negeri terguncang akibat bahan baku impor yang langka dan mahal, serta nilai tukar yang rentan.
Pada titik ini, pertanyaan yang patut diajukan di momen 80 tahun Pancasila adalah: apakah sistem ekonomi kita cukup tangguh untuk berdiri di tengah guncangan global ini? Apakah prinsip ekonomi gotong royong dan keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila sudah menjadi roh dalam strategi pembangunan kita?

Pancasila: Jalan Ketiga Ekonomi Dunia

Sistem Ekonomi Pancasila dirancang bukan sebagai duplikat kapitalisme Barat atau sosialisme Timur, tetapi sebagai jalan ketiga yang membumi dalam nilai-nilai bangsa. Sejak 1945, para pendiri bangsa sepakat bahwa ekonomi Indonesia tidak boleh didikte oleh kekuatan pasar semata. Pasal 33 UUD 1945 secara tegas menyebut bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Di sinilah koperasi, BUMN yang sehat, dan usaha kecil rakyat menjadi fondasi.

Namun, dalam praktiknya, Indonesia masih rentan terhadap gelombang ekonomi global karena ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan impor barang industri. Perang dagang global menunjukkan bahwa tanpa kemandirian ekonomi, kita bisa terombang-ambing dalam pusaran kepentingan asing. Ini menjadi alarm bagi bangsa, bahwa tanpa memperkuat ekonomi berdikari sebagaimana cita-cita Bung Karno, kita bisa tergelincir dari semangat Pancasila itu sendiri.

Momentum 80 Tahun: Mengembalikan Arah Ekonomi Bangsa

Hari Lahir Pancasila bukan hanya peringatan seremoni, tetapi kesempatan untuk mengembalikan arah pembangunan ekonomi kita ke jalan ideologis yang benar. Di usia 80 tahun ini, Pancasila menagih tanggung jawab kita untuk menegakkan prinsip ekonomi yang tidak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga keadilan distribusi, perlindungan rakyat kecil, dan solidaritas antarwarga bangsa.

Dalam konteks perang dagang, langkah-langkah strategis seperti penguatan industri hulu dalam negeri, pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan, hingga pengembangan ekonomi digital dan energi terbarukan menjadi sangat relevan. Semua ini harus dilakukan tanpa meninggalkan pelaku ekonomi kecil. Justru, UMKM, koperasi, dan ekonomi desa harus menjadi ujung tombak kebijakan. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya bertahan dalam badai global, tetapi bangkit dengan pijakan Pancasila yang kuat.

Solidaritas Ekonomi sebagai Kekuatan Bangsa

Prinsip gotong royong dalam Pancasila bukan hanya nilai sosial, tetapi juga strategi ekonomi. Dalam menghadapi guncangan eksternal, kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat menjadi kunci. Kita perlu membangun ekonomi yang tidak mengandalkan segelintir konglomerat atau investor asing, melainkan mengandalkan kekuatan kolektif rakyat—yang saling menopang, saling menguatkan.

Perang dagang menyadarkan kita bahwa pasar global penuh ketidakpastian. Oleh sebab itu, kekuatan dalam negeri harus menjadi prioritas. Ketika desa kuat, koperasi hidup, dan BUMN berfungsi sesuai perannya, maka kita menciptakan sistem ekonomi yang tangguh dan adaptif. Semangat ini selaras dengan apa yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa saat merumuskan Pancasila.

Kesimpulan: Mewarisi, Menjaga, dan Mengaktualkan Pancasila

Menjelang 1 Juni 2025, kita tidak hanya mengenang Pancasila sebagai warisan sejarah, tetapi juga sebagai kompas masa depan ekonomi Indonesia. Perang dagang hanyalah satu dari banyak tantangan global yang akan kita hadapi. Namun, jika kita konsisten menjadikan Pancasila sebagai dasar sistem ekonomi—bukan sekadar slogan, tetapi arah kebijakan nyata—maka bangsa ini tidak hanya akan bertahan, tetapi akan tumbuh secara adil dan bermartabat.

Sistem Ekonomi Pancasila bukan romantisme masa lalu, tetapi solusi masa depan. Dan tugas kita hari ini adalah memastikan bahwa di usia 80 tahun Pancasila, semangat gotong royong, kedaulatan ekonomi, dan keadilan sosial benar-benar terwujud di setiap denyut kebijakan dan langkah pembangunan bangsa.

*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE. MA (Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Andalas)

Tag:

Baca Juga

Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Asumsi Makro 2026: Antara Optimisme dan Kewaspadaan
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
America First: Strategi Negara Dagang
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Risiko Stagflasi Global: Apa Dampaknya bagi Rupiah dan Ekspor Indonesia?
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Fluktuasi Rupiah dan Modal Asing Kabur: Pemerintah Harus Bertindak!
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Efisiensi Anggaran: Strategi atau Ancaman bagi Pertumbuhan Ekonomi?
Gedung Youth Center Padang Berkontribusi pada Pendapatan Daerah hingga Rp200 Juta
Gedung Youth Center Padang Berkontribusi pada Pendapatan Daerah hingga Rp200 Juta