Peran Media Sosial dalam Menggerakkan Partisipasi Politik: Kekuatan atau Bahaya?

Peran Media Sosial dalam Menggerakkan Partisipasi Politik: Kekuatan atau Bahaya?

Wini Elfian. (Foto: Dok. Pribadi)

Di era globalisasi dan digitalisasi yang semakin maju, media sosial telah menjadi salah satu instrumen paling kuat dalam menyebarkan informasi di segala aspek kehidupan, termasuk dalam ranah politik. Di Indonesia sendiri, kita bisa melihat betapa dominannya peran media sosial dalam berbagai momen politik, baik itu pada masa pemilu, kampanye, hingga aksi protes dan gerakan sosial. Media sosial, dengan kecepatan dan jangkauan luasnya, memberi masyarakat ruang untuk mengekspresikan diri dan berbicara tentang isu-isu yang relevan, yang sebelumnya mungkin tidak terjangkau melalui media tradisional. Namun, meskipun media sosial memiliki potensi yang sangat besar, pertanyaannya adalah: apakah media sosial menjadi kekuatan positif dalam menggerakkan perubahan politik, atau justru membahayakan demokrasi?

Sebagai mahasiswa kita tentu berada di posisi yang sangat dekat dengan perkembangan teknologi. Generasi kita tumbuh di tengah pesatnya transformasi digital, sehingga media sosial menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Tidak jarang, kita mengandalkan platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok untuk mendapatkan berita atau mengikuti perkembangan isu politik terkini. Namun, di balik kemudahan ini, kita juga harus lebih kritis dalam melihat dampak yang dihasilkan oleh media sosial, terutama dalam menggerakkan narasi politik.

Media Sosial Sebagai Kekuatan Positif dalam Politik:
Media sosial menawarkan ruang yang demokratis dan inklusif bagi semua kalangan untuk bersuara. Jika dahulu wacana politik didominasi oleh media arus utama seperti televisi dan surat kabar, kini setiap individu bisa memiliki "panggung" sendiri untuk mengemukakan pandangannya. Media sosial memberi kekuatan kepada mereka yang sebelumnya tidak memiliki akses untuk terlibat dalam percakapan politik. Aktivis, akademisi, hingga warga biasa dapat secara langsung mempengaruhi diskusi publik melalui unggahan, komentar, dan berbagai kampanye online.

Gerakan sosial yang lahir dan berkembang melalui media sosial adalah contoh nyata bagaimana platform ini bisa digunakan untuk mendorong perubahan politik. Sebagai contoh, di Indonesia kita melihat #ReformasiDikorupsi pada tahun 2019, di mana mahasiswa dan masyarakat umum bersatu melalui Twitter dan Instagram untuk menolak revisi undang-undang yang dianggap mencederai demokrasi. Hashtag ini bukan hanya menjadi trending topic nasional, tetapi juga berhasil membangun kesadaran masyarakat dan memobilisasi aksi protes besar-besaran di berbagai kota.

Selain itu, media sosial juga memungkinkan para politisi dan calon pemimpin untuk berkomunikasi langsung dengan pemilihnya tanpa perantara. Mereka bisa menjelaskan program dan visi mereka secara rinci melalui akun media sosial, berinteraksi dengan masyarakat secara lebih personal, serta merespons isu-isu aktual dengan cepat. Hal ini dapat membangun kedekatan emosional dengan pemilih dan membuat politik terasa lebih dekat dengan rakyat. Sebagai contoh, banyak politisi muda di Indonesia seperti Ridwan Kamil atau Ganjar Pranowo yang aktif di media sosial dan membangun citra positif melalui konten-konten yang interaktif dan informatif.

Bahaya di Balik Kekuatan Media Sosial:
Namun, di balik segala manfaatnya, media sosial juga memiliki sisi gelap yang berpotensi membahayakan stabilitas politik dan demokrasi. Salah satu bahaya terbesar adalah penyebaran hoaks dan disinformasi. Kecepatan penyebaran informasi di media sosial sering kali tidak diimbangi dengan verifikasi yang memadai. Dalam banyak kasus, konten yang sensasional atau provokatif lebih cepat viral daripada konten yang berdasarkan fakta. Misalnya, dalam berbagai momen politik seperti pemilu, kita kerap melihat beredarnya informasi palsu yang dirancang untuk membingungkan atau memanipulasi opini publik.

Salah satu fenomena yang sering terjadi di media sosial adalah echo chamber atau ruang gema. Ini adalah kondisi di mana seseorang hanya terpapar pada informasi atau pendapat yang sejalan dengan pandangan mereka sendiri, karena algoritma media sosial cenderung menampilkan konten yang disukai atau sering dikonsumsi oleh pengguna. Akibatnya, orang-orang cenderung hidup dalam "gelembung informasi" di mana mereka jarang mendapatkan pandangan yang berbeda. Ini memperdalam polarisasi politik, di mana masing-masing kelompok merasa bahwa pandangan mereka adalah satu-satunya yang benar, sementara pandangan yang berbeda dianggap sebagai ancaman. Polarisasi ini berbahaya bagi demokrasi karena mengikis ruang untuk debat sehat dan kompromi.

Tidak hanya itu, media sosial juga sering dimanfaatkan oleh aktor politik yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan narasi yang memecah belah. Di beberapa kasus, bot dan akun-akun anonim digunakan untuk menyebarkan kampanye hitam, ujaran kebencian, atau bahkan menciptakan konflik sosial. Contoh nyatanya bisa kita lihat pada Pemilu 2019 di Indonesia, di mana media sosial dipenuhi oleh serangan terhadap kandidat tertentu, bukan berdasarkan substansi program, tetapi lebih pada isu-isu identitas yang sensitif.

Politisi atau partai politik juga kerap kali menggunakan media sosial sebagai sarana untuk membentuk citra yang tidak selalu mencerminkan realitas. Strategi ini sering disebut sebagai politik pencitraan, di mana konten yang diunggah lebih berfokus pada penampilan atau popularitas ketimbang substansi kebijakan. Hal ini menciptakan kondisi di mana narasi politik lebih banyak dipenuhi oleh gimmick atau konten yang viral, sementara diskusi mengenai kebijakan yang serius sering kali terpinggirkan.

Tantangan bagi Generasi Muda
Sebagai mahasiswa, kita memiliki peran penting dalam menghadapi tantangan ini. Kita tidak hanya sebagai konsumen informasi, tetapi juga sebagai agen perubahan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menggunakan media sosial dengan lebih bijak dan bertanggung jawab. Dalam menerima informasi, kita harus selalu memverifikasi sumbernya, tidak langsung menyebarkan berita yang belum terbukti kebenarannya, dan lebih selektif dalam menyikapi isu-isu yang berkembang. Selain itu, kita juga harus membuka diri terhadap berbagai sudut pandang, agar tidak terjebak dalam ruang gema yang mempersempit pemikiran kita.

Kritisisme terhadap media sosial sebagai alat politik juga perlu ditingkatkan. Kita harus bisa membedakan antara narasi politik yang berbasis fakta dan kebijakan dengan narasi yang hanya bersifat populis atau emosional. Sebagai generasi yang akan mengambil alih masa depan bangsa, kita harus memastikan bahwa diskursus politik tetap sehat dan inklusif, serta tidak terjebak dalam permainan manipulatif yang sering kali terjadi di media sosial.

Jadi bisa disimpulkan bahwa Media sosial adalah pedang bermata dua dalam ranah politik. Di satu sisi, ia memiliki potensi besar untuk menggerakkan perubahan positif, memungkinkan partisipasi publik yang lebih luas, dan memobilisasi gerakan sosial. Namun, di sisi lain, ia juga memiliki risiko besar, terutama terkait penyebaran disinformasi, polarisasi politik, dan manipulasi narasi. Oleh karena itu, peran kita sebagai pengguna, terutama generasi muda, sangat penting dalam menentukan apakah media sosial akan menjadi kekuatan positif atau bahaya bagi demokrasi.

*Penulis: Wini Elfian (Mahasisi Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas)

Baca Juga

Digital Discourse: Fenomena Hashtag Activism dan Narasi Visual dalam Partisipasi Politik Gen Z
Digital Discourse: Fenomena Hashtag Activism dan Narasi Visual dalam Partisipasi Politik Gen Z
Kreativitas dalam Mengelola Bouquet Bunga di Kota Padang
Kreativitas dalam Mengelola Bouquet Bunga di Kota Padang
Budaya Minangkabau dan Komunikasi Antarpribadi
Budaya Minangkabau dan Komunikasi Antarpribadi
Pentingnya Efektifitas Mendengar dalam Kelancaran Komunikasi Interpersonal
Pentingnya Efektifitas Mendengar dalam Kelancaran Komunikasi Interpersonal
Rahasia di Balik Persepsi: Kunci Komunikasi yang Lebih Efektif
Rahasia di Balik Persepsi: Kunci Komunikasi yang Lebih Efektif
79 Tahun Merdeka, Petani Indonesia Masih Terjajah
79 Tahun Merdeka, Petani Indonesia Masih Terjajah