Langgam.id - Konflik agraria di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatra Barat, memanas. Pada Jumat, 4 Oktober 2024, ratusan polisi dari Polres Pasaman Barat dan Polda Sumatera Barat dikerahkan untuk mengawal PT. Permata Hijau Pasaman I (PHP I) – anak perusahaan Wilmar Group – dalam melakukan penggusuran lahan yang dikelola petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) di Nagari Kapa. Aksi penggusuran yang melibatkan kekerasan ini memicu kemarahan dan kekecewaan mendalam di kalangan masyarakat adat petani.
Kapolres Pasaman Barat Agung Tribawanto mengatakan, pengamanan tersebut langsung dikendalikan oleh Polda Sumbar. "Untuk kegiatan tersebut yang kendalikan langsung dari Polda dan yang amankan masyarakat juga dari Polda," katanya lewat pesan singkat kepada Langgam.id, Jumat (4/10/2024).
Meskipun konflik agraria di kawasan ini sedang dalam proses penyelesaian oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) serta Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Pasaman Barat, PT. PHP I tetap melanjutkan penggusuran. Padahal, konflik ini telah menjadi Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah daerah dan Polres Pasaman Barat sendiri.
Serikat Petani Indonesia (SPI) mengecam tindakan represif dan arogan PT. PHP I, yang melakukan penggusuran tanpa dasar hukum yang jelas dan mengabaikan proses penyelesaian konflik yang sedang berjalan. Para petani kehilangan tanaman mereka, pondok, hingga posko yang selama ini menjadi pusat kegiatan mereka.
“Ini adalah bentuk penghinaan terhadap proses hukum yang sedang berlangsung dan ketidakadilan bagi petani,” ungkap seorang perwakilan SPI, dalam rilis yang diterima Langgam.id.
Konflik tanah ini melibatkan areal seluas 924 hektare, di mana sekitar 600 hektare telah ditanami padi, jagung, pisang, dan berbagai tanaman pangan lainnya oleh petani. Namun, PT. PHP I bersikeras menggusur lahan tersebut untuk penanaman kelapa sawit. Ironisnya, Hak Guna Usaha (HGU) yang diklaim perusahaan seharusnya tidak mencakup wilayah Nagari Kapa, melainkan berada di Nagari Sasak, yang berada di kecamatan berbeda.
Bentrokan pecah pada 4 Oktober 2024 ketika petani mencoba mempertahankan lahan mereka dari penggusuran paksa. Polisi yang mengawal PT. PHP I melakukan penggusuran dengan menggunakan alat berat seperti ekskavator. Tidak hanya itu, sembilan petani, sebagian besar perempuan, ditangkap oleh polisi dalam bentrokan tersebut. Mereka diinterogasi secara intensif, meskipun kemudian dibebaskan.
Perlawanan petani tidak surut, namun tindakan aparat terus berlanjut. Pada 7 Oktober 2024, lima petani lainnya kembali ditangkap saat mencoba mempertahankan tanah mereka. Polisi menangkap mereka di lokasi konflik, sebelum membawa mereka ke kantor PT. PHP I dan kemudian ke Polda Sumbar untuk diperiksa. Bentrokan fisik semakin sering terjadi, dengan banyak petani menjadi korban kekerasan, termasuk beberapa yang terluka parah.
“Para petani berjuang untuk mempertahankan hak atas tanah mereka, namun kekerasan dan kriminalisasi terus menghantui mereka,” ujar salah seorang petani yang ikut dalam aksi protes.
Dalam sepekan terakhir, penggusuran telah menyebabkan kerugian material yang sangat besar bagi para petani. Tanaman pangan seperti padi, jagung, pepaya, dan pisang dirusak, sementara bangunan dan pondok-pondok diratakan dengan tanah. Total kerugian diperkirakan mencapai lebih dari Rp 2 miliar. Selain itu, akses menuju lahan petani diputus di 20 titik, semakin menyulitkan kehidupan mereka.
“Kami kehilangan segalanya, tanaman yang kami rawat selama bertahun-tahun dirusak begitu saja. Ini sangat menyakitkan,” kata seorang petani sambil menatap lahan yang telah kosong.
Desakan SPI
Atas tindakan ini, SPI mendesak pemerintah untuk segera menghentikan penggusuran dan penanaman paksa yang dilakukan PT. PHP I, serta menarik mundur aparat kepolisian dari lokasi konflik. SPI juga menuntut tindakan tegas terhadap anggota kepolisian yang terlibat dalam kekerasan dan kriminalisasi terhadap para petani.
“Ini bukan hanya soal tanah, ini tentang kehidupan petani yang selama ini bergantung pada lahan mereka. Pemerintah harus segera menyelesaikan konflik ini dan menghentikan segala bentuk kekerasan,” ujar seorang perwakilan SPI.
Konflik agraria di Nagari Kapa, yang seharusnya menjadi bagian dari program reforma agraria nasional, kini menjadi bukti betapa rentannya hak-hak petani terhadap intervensi perusahaan besar yang didukung oleh aparat keamanan. (*/Yh)