Pertanyaan yang relevan dalam konteks tulisan ini, apakah urusan suara spiker Masjid dan Musalla termasuk administrasi Islam?
Surat Edaran Menteri Agama 18 Februari 2022 No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musalla, oleh kebanyakan media ditulis sebagai SE Spiker.
Muhammadiyah, melalui Dadang Kahmad dan Anwar Abbas menyambut baik SE Spiker ini. Meski ada saran untuk di kampung-kampung waktu sepuluh menit untuk suara spiker luar, perlu ditambah mengingat jarak dari rumah ke Masjid atau Musalla banyak yang jauh.
Tentu berbeda dengan Fadli Zon. Di berbagai media Fadhli Zon mengganggap SE ini terlalu kecil urusannya. Kenapa tidak pebaikan pelaksanaan Haji dan Umrah yang harus dilakukan Menag.
Tiba-tiba, pada 23 Februari Menag menjelaskan lagi di Pekanbaru soal SE itu. Ternyata bukan lagi masalah substansi SE yang mencuat. Akan tetapi, kias suara anjing menggonggong dan suara spiker, telah menjadi heboh.
Maka, kecuali kalangan tertentu, yang lain lebih banyak mengatakan kias Menag tidak tepat. Bahkan ada yang menuduh kias menteri agama itu “keterlaluan”.
Pertanyaan yang relevan dalam konteks tulisan ini adalah, apakah urusan suara spiker Masjid dan Musalla termasuk administrasi Islam?
Perdefinisi administrasi Islam yang dimaksud di sini adalah bentuk kegiatan yang meliputi pencatatan, korespondensi, pembukuan sederhana atau lebih komplit, percetakan dan kegiatan lain yang bersifat teknis.
Wiryanto (2020) mengajukan definsi konseptual administrasi Islam di Indonesia di era kemerdekaan adalah pengaturan, pengelolaan dan penyelenggaraan urusan-urusan di bidang pendidikan Islam, bidang penerangan, bimbingan dan penyuluhan agama, bidang hukum Islam dan pengadilan agama, dan urusan haji oleh pemerintah melalui Kementerian Agama, serta melibatkan pula peranan lembaga majelis ulama Indonesia.
Akan tetapi dalam faktanya tidak sesederhana perdefinisi itu. Kenyataan menunjukkan bahwa administrasi Islam meliputi semua urusan bernegara dan berbangsa terhadap pelaksanaan kehidupan beragama Islam sebagai hajat utama umat beragama Islam di Indonesia.
Oleh karena itu, dilharikanlah ileh negara satu kementerian khusus. Itulah kementerian agama sebagai pusat kendali admistrasi Islam Indonesia yang dimaksud.
Penelitian Deliar Noer
Secara teoritis dan faktual, penelitian tentang administrasi Islam di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Deliar Noer (1926-2008). Hasilnya diterbitkan dalam bentuk buku tahun 1983.
Buku tersebut merupakan penyempurnaan hasil penelitian sebelumnya dalam bahasa Inggris berjudul “Administration of Islam in Indonesia”, diterbitkan oleh Universitas Cornell, Ithaca, New York, tahun 1979.
Buku hasil penelitian itu menyajikan 5 (lima) pokok bahasan. Meliputi: Departemen Agama (kini disebut Kementerian Agama); Pendidikan Islam; Hukum Islam dan Pengadilan; Penyelenggaraan naik haji; dan Majelis Ulama. Semua disajikan sebagai isu teranyar pada masanya.
Ada pula penelitian Rahiem, H. (1998) berjudul Sistem Otoritas dan Administrasi Islam. Merupakan studi tentang pejabat agama masa kesultanan dan kolonial di Palembang. Relevansinya, sebagai penelitian administrasi Islam dengan lokus di kesultanan Palembang, sebelum Indonesia merdeka.
Kemudian, penelitian Hamzah, A. (2016: 147) berjudul Administrasi Islam di Indonesia. Penelitian ini mengambil fokus kelembagaan kantor jawatan keagamaan.
Penelitian ini menyimpulkan dinamika proses administrasi Islam di Indonesia. Dinamika itu mengatakan, kantor jawatan keagamaan yang semula hanya mengatur bidang ke- Islaman saja, kemudian berkembang mengakomodasi kepentingan kelompok agama lainnya yaitu Kristen, Katholik, Hindu dan Budha.
Brikut Wiryanto, W. (2018) dalam penelitian berjudul, The Need of Public Administration: An Islamic Perspective for Higher Education in Indonesia.
Fokus penelitian ini adalah kebutuhan administrasi negara dalam perspektif Islam untuk perguruan tinggi di Indonesia, khususnya dalam disiplin ilmu administrasi negara.
Relevansinya, sebagai penelitian administrasi Islam di Indonesia, dengan fokus kebutuhan administrasi negara dalam perspektif Islam di perguruan tinggi di Indonesia.
Lagi, penelitian Pramesti, M.W. (2018: 46) berjudul, Dimensi-dimensi Strategis Administrasi Publik dalam Islam. Hasil penelitian menunjukkan, dimensi-dimensi strategis administrasi publik berjalan selaras dengan nilai-nilai Islam.
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam maka semestinya pelaksanaan administrasi publik mengelaborasi nilai-nilai Islam. Relevansinya, sebagai penelitian administrasi Islam di Indonesia, dengan fokus mengelaborasi nilai-nilai Islam dalam pelaksanaan administrasi di Indonesia.
Penelitian Anzhaikhan, M. (2019: 57) berjudul Hakikat Administrasi Pemerintahan Islam. Merupakan studi yang membahas dimensi keilmuan termasuk model administrasi yang baik dan efisien, serta proses Islamisasi yang menawarkan konsep klasik sebagai solusi merespon penyelenggaraan pemerintahan saat ini.
Relevansinya sebagai penelitian administrasi Islam di Indonesia, dengan fokus tawaran konsep administrasi Islam sebagai solusi penyelenggaraan pemerintahan.
Penelitian Hakim, C.L. & Muttaqin, A.Z (2020: 10- 18) berjudul Administrasi Islam memandang Kebijakan Negara dalam Melindungi Hak Milik Pribadi dan Umum.
Relevansinya sebagai penelitian administrasi Islam di Indonesia, dalam melindungi hak milik pribadi dan umum, terdapat instrumen kepemilikan individu dalam Islam, meliputi pengelolaan harta anak yatim, pembagian harta warisan, dan kewajiban membayar zakat.
Artinya, sudah banyak penelitian adminstrasi Islam di Indonesia, sejak 40 tahun lalu sampai hari ini. Semuanya tetap memiliki hubungan relevansi sebagai penelitian dalam tema besar administrasi Islam di Indonesia.
Bila dicermati lebih rinci, penelitian Deliar Noer lebih komprehensif di masanya. Pada masa itu kementerian agama mengadministrasi 5 hal pokok;
- Kantor Kementerian Agama dari pusat ke provini, kota, kabupaten dan kecamatan;
- Pendidikan Islam;
- Hukum Islam dan Pengadilan Agama;
- Penyelenggaraan Naik Haji; dan
- Majelis Ulama Indonesia.
Paling akhir, Wisber Wiryanto ( 2020) dalam judul yang sama, Administrasi Islam Idonesia, menggunakan data 10 (sepuluh) tahun terakhir, yaitu antara tahun 2010-2020.
Dengan kata lain, penelitian ini berupaya melanjutkan penelitian lama, dengan mengumpulkan data yang baru. http://journal.umpalangkaraya.ac.id/index.php/restorica. (Akses, 20.02.2022)
Struktur Kementerian Agama
Di masa lalu, Kementerian agama mempunyai struktur yang sederhana. Struktur organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, 1980 (Noer, 1983: 42) terdiri dari 5 (lima) unit organisasi.
Kelimanya berupa Direktorat Jenderal (Ditjen) yang berada di bawah Menteri Agama yang melayani bimbingan masyarakat beragama di Indonesia, sebagai berikut: (1) Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji; (2) Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (ada dua Ditjen yang memberikan pelayanan masyarakat beragama Islam). Selanjutnya, (3) Ditjen Bimas Katolik; (4) Ditjen Bimas Protestan; dan (5) Ditjen Bimas Hindu dan Budha.
Setelah lebih kurang 40 tahun, urusan administrsi Islam menjadi semakin komplek dan multi dimensi. Untuk menyesuaikan dengan perubahan zaman dan kepentingan umat beragama di Indonesia dilakukan perubahan.
Kini Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 Undang- Undang No. 39/2008 tentang Kementerian Negara, telah diterbitkan Peraturan Presiden No. 83/2015 tentang Kementerian Agama.
Di dalam Peraturan Presiden itu disebutkan, susunan organisasi Kementerian Agama, yaitu: (1) Sekretariat Jenderal; (2) Ditjen Pendidikan Islam; (3) Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah; (4) Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam; (5) Ditjen Bimbingan Masyarakat Kristen; (6) Ditjen Bimbingan Masyarakat Katolik; (7) Ditjen Bimbingan Masyarakat Hindu; (8) Ditjen Bimbingan Masyarakat Budha.
Selain itu ada : (9) Inspektorat Jenderal; (10) Badan Penelitian dan Pengembangan, dan Pendidikan dan Pelatihan; (11) Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal; (12) Staf Ahli Bidang Hubungan Kelembagaan Keagamaan; (13) Staf Ahli Bidang Manajemen Komunikasi dan Informasi; dan (14) Staf Ahli Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Jadi, struktur organisasi Kementerian Agama masa kini telah berkembang. Contohnya, dahulu ada 5 Ditjen (tahun 1980) sekarang bertambah menjadi 8 Ditjen, ditambah 6 badan setingkatnya. Total kini 14 kelembagaan organik tadi.
Hal itu tentu dapat dipahami disebabkan terjadinya perkembangan situasi dan kondisi lingkungan di Indonesia . Ditambah lagi kebutuhan pelayanan public.Oleh karena itus dilakukan restrukturisasi beberapa Ditjen atau Dirjen dan ditambah badan dan Lembaga yang relevan di Kementerian Agama.
Perubahan itu menjadi sebagai berikut: (1) restrukturisasi Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, menjadi Ditjen Kelembagaan Islam, dan selanjutnya menjadi Ditjen Pendidikan Islam;
(2) restrukturisasi Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji menjadi Ditjen Bimas Islam dan Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah sehingga masing-masing berdiri sendiri;
dan (3) restrukturisasi Ditjen Bimas Hindu dan Budha menjadi Ditjen Bimas Hindu; dan Ditjen Bimas Budha sehingga masing-masing berdiri sendiri.
Selain itu, struktur organisasi kementerian agama yang baru bertambah dengan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal. Pada awalnya, penyelenggaraan jaminan produk halal dilaksanakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Akan tetapi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal diurus atau dipindahkan kepada kementerian agama. Implikasinya, MUI sekarang hanya sebagai lembaga yang mengeluarkan fatwa produk halal.
Jaminan Produk Halal
Kembali ke judul tulisan ini, “Pengeras Suara, JPH (Penyelenggaran Jaminan Produk Halal) dan Admninstrasi Islam.
Urusan keras-lunaknya suara spiker di Masjid dan Musalla sejak digunakan toa, kentongan dan lainnya atau pengeras suara sejak lebih seabad lalu, baru kini ada surat edaran. Yang mengedarkan adalah pusat adminsitrasi Islam Indonesia, yaitu Kementerian Agama.
Artinya kementerian agama mengganggap kalau tidak diatur, maka admnistrasi Islam tidak sempurna. Katanya dengan alasa harmoni sosial.
Tetapi dengan diksi yang telah disebutkan di atas, ternyata menimbukkan disharmoni sosial. Beberapa tanggapan banyak pihak terhadap pilihan kata Menteri, semakin tidak proporsional.
Selanjutnya bagaimana dengan pelaksanaan JPH, jaminan produk halal? Yang dulu di rangkum MUI dalam BPPOM dan kini sudah dibawah kementerian Agama?
Untuk memperjelas pelaksanaan pelayanan sertifikasi halal di Indonesia, Kementerian Agama mengeluarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 982 pada 12 November 2019.
Pada KMA No. 982 ini digambarkan diskresi dalam pelaksanaan pelayanan sertifikasi halal. Dijelaskan mengenai tugas dan wewenang dari pihak-pihak penyelenggara layanan jaminan produk halal, BPJPH, MUI, dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) selaku salah satu LPH.
Adapun tugas dan wewenang ketiga badan tersebut antara lain: a. BPJPH berwenang dalam pengajuan permohonan sertifikasi halal dan penerbitan sertifikat halal.
- MUI berwenang dalam pengkajian ilmiah terhadap hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk. Selain itu juga, MUI berwenang dalam pelaksanaan sidang fatwa halal.
- LPPOM MUI berwenang dalam pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk
Selain menjelaskan tugas dan fungsi ketiga lembaga, KMA ini juga mengatur mengenai pembiayaan layanan sertifikasi halal. Pada KMA disebutkan bahwa: a. Layanan sertifikasi halal dikenakan tarif layanan yang dibebankan kepada pelaku usaha yang mengajukan sertifikasi halal;
- Besaran tarif layanan sertifikasi halal ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
- Dalam hal peraturan perundang-undangan mengenai besaran tarif layanan sertifikasi halal belum ditetapkan, oleh karenanya, besaran tarif layanan sertifikasi halal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada MUI dan LPPOM MUI yang memberikan layanan sertifikasi halal sebelum ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan terkait jaminan produk halal berlaku.
Pada poin terakhir KMA 982 tahun 2019 juga disebutkan bahwa ketentuan teknis pelaksanaan layanan sertifikasi halal akan dibahas dan disepakati dalam bentuk Perjanjian Kerja Sama antara BPJPH, MUI dan LPPOM MUI.
Dalam kaitan itu semua, maka pada 12 Februari 2022 lalu, Muhammadiyah bersama 7 Organisasi Otonom dengan insiator Pemuda Muhammadiyah melakukan sosialisasi pendamping produk halal.
Muhammadiyah sebagai civil-society ikut bertanggungjawab dalam melaksanakan administras Islam Indonesia yang super penting ini. Yaitu apakah produk yang kita konsum sudah halal atau belum.
Sebagai nara sumber adalah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kemenag Sumbar. Dari dari data yang disampaikan bahwa di Sumatera Barat, program ini belum berjalan secara optimal.
Baca juga: Merebut Kekuasaan ataukah Mengisinya?
Lebih dari itu belum mencapai target dasar. Masih diperlukan kerja keras dan optimal bagi pelaksanaan administrasi Islam yang satu ini. “Wa Allah ‘Alam”.