“De omnibus dubitandum”
Tidak diragukan lagi bahwa kekuatan politik tertentu merembes ke saluran-saluran yang semestinya bersih dari diksi itu, seperti perguruan tinggi (kampus) baik Islam atau umum dan juga lembaga vertikal lainnya. Perguruan tinggi, saat ini tidak lagi menjadi ruang steril dari anasir-anasir politik. Sudah mulai ter(di)cemari oleh kepentingan politik.
Situasi politik semacam itu dimulai ketika segala keputusan penting internal seperti pemilihan rektor ditentukan di tingkat pusat (sentralistik). Otonomi kampus tinggal menjadi angan-angan saja ketika kepentingan dan hajatnya ditentukan secara absolut oleh menteri khususnya di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN).
Senat di level PTKIN hanya menjadi stempel tanpa bisa mengintervensi keputusan menteri dengan dalih kemaslahatan masyarakat kampus. Senat tidak diberikan ruang secara legal dan konstitusional untuk berperan lebih aktif. Kalaupun ada peran sedikit dalam tahapan proses, hal itu tidak lebih hanya sekedar pseudo demokrasi saja. Sementara itu menteri, yang kadang dipimpin oleh orang partai, adalah jabatan politik yang sarat dengan kepentingan kekuatan besar baik partai politik atau organisasi yang “berafiliasi” ke partai tertentu atau paling tidak menjadi lumbung suara partai tertentu selama ini.
Relasi-relasi semacam itulah yang mengganggu tumbuhnya kultur demokratis di kampus. Kampus menjadi wajang pamer dan tontonan bagaimana kekuatan politik beroperasi dengan baik dan telanjang, bahkan mungkin vulgar.
Fenomena ini sangat jelas sekali di saat transformasi kepemimpinan di kampus-kampus PTKIN. Kekuatan partai atau ormas sangat kental perannya terutama selama proses seleksi terjadi. Persoalan yang mengganggu adalah apakah kampus tidak bisa menentukan pemimpinnya sendiri? Apakah kampus tidak becus menentukan nasibnya sendiri, apa motif sesungguhnya sehingga pusat sangat absolut? Kalau di perguruan tinggi negeri senat memiliki hak suara 65 persen, sementara menteri hanya 35 persen.
Namun di PTKIN menteri memiliki hak suara 100 persen. Sekedar untuk menunjukkan harga diri saja kampus PTKIN tidak bisa, semuanya abih tandeh, “lurah tak babatu, ijuak tak basaga” diambil alih oleh pusat? Apakah dengan model pemilihan seperti itu kampus PTKIN akan jadikan pusaran kepentingan politik bukan politik pengetahuan dan kemaslahatan? Karenanya apa yang dirasakan dari praktik itu adalah menjamurnya para pencari suaka yang bergerak dari satu partai ke partai atau dari satu ormas ke ormas yang sedang memegang tampuk kekuasaan.
Sekarang boleh saja partai atau ormas ini berkuasa, periode besok bisa saja partai dan ormas lain. Dunia kampus dengan para orang hebatnya tidak ubahnya jadi bidak yang bergerak sesuai dengan irama siapa yang berkuasa.
Hemat saya, pencarian suaka ini diyakini sebagai bentuk rasa insecure seseorang terhadap identitas sebelumnya dengan meloncat atau berganti ke identitas lain. Ternyata fenomena loncat pagar ini tidak hanya perangai politisi yang gagal dari pemilu ke pemilu, yang tidak lagi mementingkan basis ideologi partai, namun hanya mempertimbangkan peluang, tetapi juga tabiat para pencari kesempatan di kalangan akademisi, intelektual dan birokrat.
Persoalannya apakah pola loncat pagar atau mungkin pola menceburkan diri adalah prasyarat untuk bisa landing dengan mulus dalam rumah besar ormas tersebut, dan tentu dengan konsekuensi menikmati segala fasilitas dan privilege yang tersedia (disediakan) nantinya atau ini adalah bentuk proses naturalisasi diri atau dalam rangka memenuhi semua variabel “penilaian” yang akan dijadikan alasan untuk menentukan pejabat yang akan datang. Atau kejadian ini hanya proses alamiah saja bahwa ormas sedang melakukan pengembangan sumber daya organisasi melalui rekrutmen tertentu? Fenomena di atas bisa terlacak dengan baik di Ormas Nahdatul Ulama (NU) Sumatera Barat yang akhir-akhir ini didatangi (didatangkan?), berame-rame oleh para intelektual, akademisi dan birokrat untuk masuk dan menjadi anggota organisasi terbesar tanah air itu melalui Madrasah Kader NU (MKNU).
Saya tidak ingin menghakimi atau menilai secara personal apa yang menjadi motif mereka menceburkan diri atau meloncat masuk NU. Apakah alasannya adalah ideologis, idealis, pragmatis, oportunis atau simbiosis mutualisme atau apalah, akan tetapi saya ingin menukikkan analisis pada arsiran relasi kekuasaan yang melekat pada peristiwa tersebut.
Akan NU Pada Waktunya
Persoalannya kenapa mesti menjadi NU dan setelah itu ikut Madrasah Kader NU, apakah gelombang politik kementerian agama (kemenag) saat ini “mengharuskan” secara formal semua yang akan mendapatkan keistimewaan tertentu mesti (fardu ain) menjadi NU dan mengikuti MKNU. Apakah keistimewaan itu hanya bisa diakses dengan stempel NU? Atau apakah variabel lainnya tidak masuk pertimbangan? Apakah gejala ini menguntungkan bagi NU atau malah sebaliknya? Apakah praktik seperti ini fenomena yang lazim dan menyeluruh di kalangan NU di seantero nusantara atau hanya di Sumbar saja? Apakah tontonan ini wajah asli NU atau ini hanya kebiasaan yang menyimpang? Pertanyaan ini menggelitik untuk segera dijawab.
Dinamika politik nasional memang memberikan pengaruh luar biasa terhadap perwajahan bangsa, mulai dari politik lokal, nasional, birokrasi dan dunia usaha yang ke semua itu menjadi instrumen yang menentukan siapa yang akan mengendalikan kekuasaan tahun 2024. Pengendalian elemen dan jaringan serta sumber-sumber ekonomi mestilah menjadi prasyarat untuk membangun kekuatan yang tangguh di masa akan datang. Dan untuk konstelasi 2024 mesti dimulai dari sekarang, karena sumber daya apapun yang tersedia akan bermanfaat dalam kontestasi tahun 2024. Jaringan politik, organisasi dan sosial memberikan jalan dalam memenangkan politik elektoral secara percaya diri.
Secara sosiopolitik, NU memang memiliki paling tidak dua kepentingan di level nasional. Pertama, dalam konteks dinamika politik kebangsaan dan khususnya transformasi Islam di Indonesia, NU memang selalu berada pada garda depan dalam hal berkaitan dengan diskursus assasiyyah wathaniyyah seperti nasionalisme, Pancasila, negara bangsa atau isu-isu moderasi beragama, pluralisme, radikalisme, terorisme, minoritas, LGBTQ dan yang paling menarik akhir-akhir ini adalah perihal wacana Islam Nusantara.
Saya sepakat yang dikatakan Gus Dur bahwa praktik politik semacam itu bukanlah menunjukkan oportunisme NU, karena bagi NU pedoman politik bukanlah “strategi perjuangan politik” atau “ideologi Islam”, melainkan keabsahan di mata hukum fiqih. Penggunaan fiqih sebagai rasionalitas politik membuahkan pola pemikiran politik yang lentur dan rasional, bukan kaku dan ideologis (Arif: 2013).
Oleh sebab itu pada persoalan-persolan dasar kebangsaan, NU bersikap jelas dan tegas dan selalu mengawal dan melegitimasi atas bentuk negara bangsa Indonesia. Pendominasian NU terhadap diskursus tersebut menjadikan NU selalu berhadapan dengan kelompok-kelompok anti Pancasila, pemberontak, hard liner, wahabi-salafi, teroris dan lain-lain. Saya melihat NU menjadi tembok tebal dan besar bagi kelompok-kelompok yang semacam itu.
Kedua, pertanyaannya sekarang adalah apakah politik kebangsaan NU itu memiliki kesamaan dengan politik kekuasaan atau praksis sebagaimana terjadi sekarang. Hal ini menarik untuk ditelaah? Perlu disadari bahwa dalam konteks politik praktis, NU sekarang memang berada dalam fase kedua glorifikasi pascareformasi. Fase pertama, adalah ketika Gus Dur menjadi presiden kemudian dimakzulkan dan kedua ketika terpilihnya KH Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden Indonesia.
Keterpilihan Ma’ruf Amin, kembali meneguhkan NU sebagai kekuatan politik praksis terkuat dibandingkan organisasi kemasyarakatan lain seperti Muhammadiyah, Persis, Tarbiyah Perti, Al washliyah, dan lain-lain. Apakah peneguhan dan pendominasian kekuasaan pada politik praktis ini sejalan dengan peran NU dalam politik kebangsaan? Ini menjadi pertanyaan besar yang juga perlu ditelusuri.
Kekuatan politik praktis NU ini sepertinya berimplikasi kepada jaringan-jaringan struktural dalam pelbagai posisi pemerintah seperti menteri, dirjen, kanwil, rektor, biro sampai ke level paling bawah yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) dan juga jabatan strategis lainnya. Situasi ini menjadi magnet tersendiri bagi para pencari kesempatan. Apakah ini merupakan bentuk lanjutan, meminjam diksi Robert Hefner, eksperimentasi-eksperimentasi yang berani dari NU?
Pertanyaan kemudian yang muncul adalah apakah para pencari kesempatan atau pendatang-pendatang baru itu akan dianggap sebagai kader NU Muthlaq atau mereka tetap akan di tempat pada sebagai penumpang yang naik di jalan (tidak dari terminal) atau dalam bahasa agamanya kelompok mualaf yang tentu saja berbeda perlakuannya (diperlakukan) dengan yang "nge_NU" dari awal (NU sejati)?
NU Muthlaq
Apa yang akan dijelaskan tentang karakteritik, ciri ideologis dan model NU di bawah ini bukan yang popular dan baku selama ini seperti kekhsannya dalam amaliah, fikrah, haraqah dan ghirah. Atau sebagaimana yang disampaikan oleh KH Ahmad Shiddiq bahwa NU memiliki lima kekhasan di antaranya istiqamah, istifadah, istisyarah, istikharah dan istighasah. Model yang disimpulkan kali ini merupakan model sosiologis yang terbuka untuk difalsifikasi.
Model dan kategorisasi yang paling utama dalam NU yaitu NU darah biru (ningrat) atau NU Muthlaq. Jadi NU darah biru atau NU Muthlaq adalah seseorang secara ideologis memiliki linearitas dalam tahapan mobilitas vertikalnya, baik dalam pendidikan dan organisasi dalam ke nahadatululamaan.
Seperti yang diketahui NU merupakan organisasi beraliran tradisional yang menjadikan pesantren sebagai basis pengembangannya. Seseorang tidak akan dianggap NU muthlak kalau tidak jebolan pesantren khususnya pesantren NU. Sejarah lahir NU sebagai kekuatan Islam tradisonalis yang tentu saja vis a vis dengan Islam reformis. Kontroversil aliran ini mendeskripsikan pentingnya posisi NU dalam peta Islam di Indonesia.
Jadi pembentukan NU itu merupakan pengorganisasian peran para ulama dan pesantren yang sudah ada. Maka adalah wajar kekuatan Islam ala NU itu memiliki basis yang kuat di pesantren-pesantren. Pesantren adalah "kawah candra di muka" dalam membangun karaktert "keNUan" yang kuat. Selama di pesantren, mereka akan digembleng menjadi umat Islam yang berkarakter tapi juga mahir dan cakap dalam mengembangkan organisasi. Oleh sebab itu selama di pesantren, bisa saja para santri sudah mulai berkecimpung di organisasi tertentu seperti Ikatan Pelajar NU (IPNU). Keterlibatan pelajar atau santri dalam IPNU menjadi jalan peran santri menjadi tokoh gerakan suatu saat nanti.
Setelah proses di pesantren dan IPNU, karateristik selanjutnya adalah masuk ke perguruan tinggi dan berkecimpung dalam wadah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), selesai PMII dan mahasiswa mereka melakukan mobilitas ke sayap-sayap, lembaga atau badan otonom NU yang lain apakah ke GP Ansor, Muslimat, Lakspesdam, Fatayat, Ikatan Sarjana NU (ISNU) dan lainnya. Kemudian, karir kader NU tentu saja berlanjut ketika mereka bisa menduduki jabatan di kepengurusan NU mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi atau pusat.
Jika alur vertikal sebagaimana yang dijelaskan di atas, maka shahih bahwa kader tersebut merupakan kader muthlaq NU (100 karat bukan KW). Untuk level Sumatera Barat, tidak banyak yang melalui jejang tersebut, ditambah lagi NU di Sumatera Barat tidak memiliki pesantren sebagaimana di Jawa.
Pesantren-pesantren yang ada di Sumatera Barat umumnya berafiliasi mayoritas ke Tarbiyah-Perti atau beberapa ke Muhammadiyah. Kalaupun ada akhir-akhir ini yang melabeli sebagai pesantren NU, itu tidak lebih dari hitungan jari. Situasi ini sesungguhnya juga menjadi persoalan tersendiri di internal NU Sumatera Barat, maka wajar saja wajah-wajah NU Sumatera Barat di isi oleh alumni pesantren atau madrasah Tarbiyah-Perti.
Situasi ini sebenarnya juga tidak terlalu menguntungkan bagi aktivis-aktivis NU Sumatera Barat ketika mereka mencoba peruntungannya di Pulau Jawa, mereka akan tetap dianggap tidak NU darah biru, karena persoalannya mereka bukan alumni pesantren NU di Jawa atau orang Jawa. Mereka akan tetap dianggap kelas dua dalam stratifikasi ke-NU-an. Kalaupun ada kader-kader dari Sumbar yang menempati posisi darah biru bisa jadi mereka adalah para alumni pesantren NU di Jawa yang saat ini berkarir di Sumbar atau di Jawa.
Mendadak NU (Mualaf)
Dinamika perkembangan NU khususnya di Sumatera Barat sampai pada kemampuannya beradaptasi dengan segala corak aliran, kelompok sosial, segmentasi masyarakat dan kekuatan ditingkat lokal. Obsesi NU menjadi kekuatan tidak hanya di Pulau Jawa menuntut NU bergerak dari zona episentrumnya. Seiring dengan itu gerakan politik NU yang secara struktural banyak berpusat pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melakukan ekspansi kedaerah-kedaerah melalui instrumen kekuasaan birokrasi, ekonomi dan tentu juga kampus.
Dari jalur partai ini NU juga mengembangkan wilayah jelajahnya seiring terjadinya dinamika politik eloktoral yang cederung “transaksional”. Jadi apa yang terjadi sebagaimana yang telah diuraikan di atas mungkin saja adalah sesuatu yang masuk dalam desain besar NU untuk masa akan datang.
Dasar pikiran dan gerakan itu akhirnya melahirkan pelbagai corak baru dalam keanggotaan NU. "Mendadak NU" atau "mualaf NU" menjadi fenomena unik dalam transformasi NU itu sendiri. Oleh sebab itu secara karakteristik "Mualaf NU" itu adalah seseorang yang tidak masuk pada kategori NU muthlaq sebagaimana yang dijelaskan di atas, namun melahirkan varian-varian yang khas, di antaranya varian pertama adalah mereka yang tidak jebolan pesantren tradisonal NU, masuk PMII dan masuk dalam Badan Otonom (Banom) kemudian jadi pengurus NU (atau Lembaga NU).
Varian kedua, mereka yang tidak jebolan pesantren tradisonal NU, tidak masuk PMII dan juga tidak masuk dalam Badan Otonom (Banom) NU kemudian tiba-tiba jadi pengurus NU. Varian ketiga, jebolan pesantren tradsional non-NU, masuk organisasi ekstra kampus non PMII seperti HMI atau sejenis (tidak IMM), tidak masuk Banom NU, kemudian jadi pengurus NU.
Varian keempat, jebolan pesantren tradisional non-NU, masuk PMII, terlibat dalam banom dan kemudian menjadi pengurus NU. Varian kelima, jebolan pesantren nontradisional (bergabung dengan PMII, terlibat banom dan menjadi aktifis NU). Varian keenam, tidak masuk pesantren (baik NU atau nonNU), tidak PMII, masuk Banom dan kemudian jadi pengurus NU. Varian ketujuh, tidak alumni pesantren, aktif di Lembaga kemahasiswaan non PMII seperti HMI atau PII, masuk Banom dan kemudian menjadi pengurus NU.
Pelbagai varian yang dijelaskan di ataslah yang memenuhi pelataran rumah besar NU Sumbar saat ini dan tentu saja ini berdampak terhadap dinamika NU itu sendiri dengan masuknya varian-varian atau pendatang-pendatang baru itu. Perlu ditegaskan bahwa varian itu hanya menunjukkan corak orang bukan menunjukkan kedalaman loyalitas dan komitmen dalam membangun organisasi NU. Varian ini tentu saja akan mengalami ujian tersendiri apakah akan bertahan atau nanti akan menjadi beban sejarah bagi NU Sumbar?
Siapa Yang Diuntungkan?
Organisasi akan menjadi besar dan kuat tidak hanya didukung oleh infrastruktur fisik namun dibangun oleh orang-orang atau kader-kader yang loyalis dan ideologis. Membangun kader yang loyalis dan ideologis tidak bisa dalam waktu yang sebentar, ia membutuhkan proses ideologisasi yang panjang dengan tahapan yang ketat.
Jika ini tidak terjadi maka kader yang lahir hanya kader loyang yang akan lakang dimakan paneh, yang akan lapuak dimakan hujan. Namun dalam konteks ini, NU sesungguhnya sedang bertaruh dengan dirinya. Kalau NU di Pulau Jawa kenapa bisa kuat, loyal, masif dan populis, karena memang mereka dibangun dalam ruang kulturalisasi yang lama, sehingga NU menjadi bagian dari keseharian baik dalam sosial dan ibadah. Persoalannya apakah di Sumbar terjadi sebagaimana yang di Pulau Jawa. Jawabannya sangat tergantung bagaimana NU itu dibangun selama ini di Sumbar?
Kalau NU dibangun dengan pendekatan kekuasaan baik politik elektoral, politik birokrasi atau politik kepentingan sesaat maka NU tidak akan pernah menjadi kekuatan yang mengakar di bumi Minangkabau ini. Selama ini, ada kesan yang muncul karena Minangkabau bukanlah tanah subur bagi NU maka pola yang muncul selama ini dalam rekrutmen jamak dengan pendekatan politik kekuasaan.
Oleh sebab itu pola yang semacam ini akan melemahkan pengembangan NU sebagai kekuatan keumatan (jama’ah). Bisa saja dilihat bahwa NU di Sumbar atau Minangkabau dari musim ke musim tidak mengalami perkembangan pada level akar rumput atau keumatan. NU belum bisa menandingi kekuatan Tarbiyah Perti atau Muhammadiyah dalam pengembangan jaringan-jaringan pesantrennya. NU sampai hari ini memiliki kekuasaan karena secara nasional NU memang sedang berada pada pusaran kekuasaan yang memiliki alur sampai ke level paling bawah seperti kementerian keagamaan dan kementerian lain. Namun, NU belum mampu membangun jaringan ideologis sampai ke level masjid dan sekolah-sekolah sampai ke pedalaman Minangkabau
Hal ini akan semakin menjadi persoalan jika NU dipimpin oleh person yang tidak memiliki akar dan tradisi pesantren dan keNUan. Tipe pemimpin semacam ini hanya melihat NU sebagai potensi politik dan ruang untuk melakukan mobilitas politik secara vertikal. Tipe seperti inilah yang akan membuat NU sebagai kekuatan umat khusususnya di Sumbar tidak akan bertaring, karena NU itu besar bukan hanya pada hebatnya aspek jam’iyah namun melimpahnya aspek jama’ah.
Kondisi ini semakin di perlemah oleh kapasitas pimpinan yang tidak memiliki kompetensi dalam merespons hal-hal yang berkaitan dengan diskursus keislaman seperti kasus terakhir tentang SKB Tiga Menteri perihal Pakaian Sekolah. Meski secara organisatoris NU mengabil sikap mendukung SKB namun dalam diskursus NU “kalah” (begitu juga dengan Tarbiyah-Perti) dengan dominasi Ketua MUI Sumbar Apalagi bicara persoalan Islam Nusantara, NU Sumbar kehilangan “mantagi” menghadapi counter-counter dari kelompok lain dan akhirnya diskursus Islam Nusatara tidak mendapat tempat dalam wacana Islam di bumi Minangkabau.
Sepertinya penguasaan NU di Tanah Jawa baik jumlah (kuantitas) dan kualtitas disegala lini, menjadi berkah tersendiri bagi NU di Sumatera Barat yang secara organisasi belum sebesar ormas lain yang lebih dahulu menghuni tanah Minang. Jadi keberkahan yang diperoleh oleh NU Sumbar belum berbandiang lurus dengan besarnya jama’ah dan jam’iyah yang ada sekarang.
KH Ahmad Baso dalam bukunya “Agama NU” untuk NKRI dengan terang dan jelas menyampaikan hal yang sama bahwa banyak pengurus NU, tentu tidak semua! hanya menjadikan organisasi sebagai jembatan menuju posisi strategis dalam politik atau menjadikan NU sebagai alat untuk mendapatkan akses empuk ke dalam pilkada atau proyek-proyek basah pemerintah. Akibatnya warga kita (baca Islam) diurus oleh kelompok yang meyakini ideologi yang tidak sejalan dengan semangat kebangsaan dan keindonesian seperti para pengusung ide khilafah.
Apa yang disampaikan Ahmad Baso muthabaqah dengan apa yang kuatirkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa aspek organisatoris harus menggunakan peralatan baru dan dibuat sesuai dengan kekuatan zaman. Tetapi, aspel-aspek intuitif juga tidak dapat ditinggalkan begitu saja, karena hal ini menyebabkan NU ditingggalkan oleh para Kiai dan para pengikut-pengikutnya. Aspek-aspek organisatoris (jami’iyah) harus menampung aspek-aspek intuitif (jama’ah) yang semakin dipersubur oleh hilangnya etika/moralitas/al akhlaq al karimah dari kehidupan. Dari sini dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa NU dibentuk untuk kebutuhan jamaah.
Artinya para pendiri NU dalam sejarahnya membentuk NU sebagai jam’iyah adalah dalam rangka mempermudah mengurus jamaah. Alhasil kepentingan jamaah lebih dahulu dibandingakan dengan kepentingan jam’iyah dan ini selama ini tidak banyak digarap oleh NU Sumatera Barat. Karakter populisme dan kebangsaan (as sawadul a’zham) inilah, mengutip Baso lagi, yang kemudian ditunjukkan oleh NU dalam sejarahnya sejak terbentuk pada tahun 1926. Namun ekspansi besar-besaran kelompok eksternal dalam tubuh NU dengan diboncengi oleh para pencari kesempatan sekarang ini akan mengerus keontologisan NU itu sendiri.
NU, lanjut Baso, di awal-awal kejayaannya dulu di zaman Hadaratusysyekh KH Hasyim Asya’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah berprinsip bahwa tidak semua orang bisa menjadi pengurus NU. Harus ada riyadhah dan olah spiritual dimana bisa diuji melalui shalat istikharah, puasa syawal dan amalan sunnah lainnya. Sehingga kader yang direkrut betul-betul berkarakter karena kualitas batin seperti ini yang akan mementukan kedekatan seseorang dengan jamaahnya atau tidak. Artinya pengurus NU harus dapat berkomunikasi terus-menerus dengan rakyat dengan memakai media bahasa rakyat, budaya rakyat, selera rakyat dan emosi rakyat.
Inilah yang mesti diingat oleh seluruh pengurus NU dan kader-kadernya. Ketika jarak atau keterpisahan antara pengurus dan jamaahnya, maka di situlah awal terjadinya pelemahan NU. Kalau para pengurusnya adalah orang-orang akademisi, pengusaha, atau birokrat, mereka pasti sibuk sehingga pengabdiaan kepada umat nahdliyyin yang menitik beratkan pada keikhlasan dan tanpa pamrih terabaikan.
Kalau orang-orang semacam ini yang mengurus NU, tegas Baso lagi, maka tanda-tanda hancurnya barisan organisasi dan jamaah NU bisa saja akan tampak dan nyata. Artinya kenapa NU itu besar karena pengurus dan santrinya dekat dengan jamaah. Kalau mau melihat hebat NU jangan lihat kantornya atau menterengnya pimpinan mereka namun lihat masyarakatnya dan perhatikan isi kepala jamaahnya.
NU hibrid (Mutan)
NU sepertinya kehilangan aspek keontologisannya. Yang hadir dan eksis hari ini banyak pada wujud hibrid atau mutan. Persoalan ini tidak hanya problem NU di Sumbar tapi NU secara keseluruah, khusunya NU di luar Jawa. Mutan, meimami Yasraf (2004), merupakan sebuah entitas yang mampu merubah totalitas dirinya lewat perubahan genus. Mutan berdasarkan terminilogi biologi adalah species yang terbentuk dari variasi diskontiniu gen-gen yang membentuk makhluk hidup, yang dapat menghasilkan individu makhluk baru secara biologis, yang menyimpang dari normal. Pada tingkat semiotik tanda-tanda yang diorganisir dalam bentuk kode ganda (double coding) atau bahkan kode jamak (multiple coding).
Melalui kode tersebut, tanda-tanda dikombinasikan lewat kode-kode tertentu, sehingga berbagai unsur (tanda) yang saling bertentangan kini disatukan dalam sebuah rekombinasi yang dapat menghasilkan kategori baru, yang menyimpang dari sistem pertandaan normal. Masuknya varian ini satu sisi dipandang baik bagi perkembangan kelembagaan namun di sisi lain, NU kehilangan keautentikannya. Ia menjadi ringkih dan rapuh dan reduktif dalam semesta keoriganilitasan NU.
Mutan selalu menghasilkan kategori-kategori (wujud, tubuh atau tanda) yang menyimpang (deviant) atau abnormal yang menciptakan masyarakat (NU) abnormal. Saya kuatir keabnormalan nanti dimaknai oleh NU khsususnya di Sumbar sebagai bentuk kenormalan baru dalam mengembangkan organisasi menjadi organisasi yang bisa bertahan dalam zaman disrupsi ini. Kalau alur logikanya seperti ini, NU akan mengalami krisis indentitas yang autentik.
Tegasnya Hibrida di sini dimaknai (sebagai) sebuah kebudayaan tertutup, yang di dalamnya elemen-elemen yang sebetulnya mengandung bentrokan identitas yang berbeda dan bersifat diametris, secara pasti meleburkan kontras mereka dalam upaya (re)produksi sebuah identitas yang lebih tinggi, yang bersifat eksternal terhadap mereka. Karakter hibrida ini, secara sederhana, dapat diindera seperti ketika di mimbar mereka bicara tentang sejarah kebesaran NU dengan fokus pada jamaah, namun setelah itu mereka menghabiskan waktu membicarakan proyek-proyek basah pemerintah atau politik instan di sekeling mereka.
Setiap hari mereka bicara tentang kekhusu’annya mengabdi pada NU, namun di kesempatan lain dia mengunjingkan rasionalitas tradisi ibadah “kuburan” orang NU. Suatu saat mereka berbantah-bantahan persoalan globalisasi yang mengacam produk lokal, namun malam hari mereka menikmati dengan khusuk produk kapitalis. Di madrasan mereka bicara penguatan ideologi keumatan, namun di tempat lain mereka menikmati hasil penguasan ideologi pasar. Atau di dalam sebuah forum mereka teriak pelemahan KPK, namun di sisi lain mereka menikmati mark up kecil-kecilan di tempat mereka bekerja.
Itulah manusia hibrida dengan moralitas abjeksi (mengambang). NU Sumbar sepertinya sedang mengalami pergesaran bentuk, praktik, dan orientasi dari kultur aslinya. Para pendatang baru sepertinya mampu menghegemoni praksis kultural NU. Pergeseran itu mengarah kepada penghilangan kultur yang diagung-agungkan NU selama ini. Dunia NU kontemporer, sekali lagi, dibentuk oleh pelbagai bentuk pelintasan, persilangan, persinggungan, bahkan percampuran dari beberapa dunia di dalam dunia yang sama, yang membentuk kategori-kategori dunia baru yang tidak terbayangkan atau terfikirkan sebelumnya.
Khatimah
Saya dalam tulisan ini hanya ibarat orang yang melihat di tepi pematang ketika petani sedang membajak sawah kemudian mengomentari atau menilai bagaimana cara petani membajak tersebut itu tanpa merasakan dinginnya air sawah. Namun apa yang saya tulis ini juga refleksi dari apa yang saya nikmati selama ini dari karya-karya ulama dan intelektual kalangan NU atau karya anak-anak muda NU yang kadang “provokatif” dan “subversif”.
Bangsa ini menaruh mimpi dan harapan terhadap organisasi sebesar NU ini untuk menjadikan Islam menjadi kekuatan progresif, populis, membebaskan, pembela dan damai, ditengah gencarnya kekuatan ideologi lain yang merongrong dasar bangsa. NU dengan jamaahnya yang luar biasa bisa menjadi benteng sekaligus banteng bagi gerakan radikal, teroris, intoleran yang sedang menjamur. Jadi! apa yang menjadi keautentikan NU tersebut jangan sampai dirusak oleh pola dan prilaku pragmatisme yang rapuh, fragile dan ringkih. Munculnya kelompok-kelompok NU Garis Lurus dan NU Kultural atau NU Garis Lucu adalah reaksi terhadap prilaku bengkok Pengurus NU, paling tidak itu yang disampaikan oleh KH Idrul Ramli, Singa Aswaja dari Jember itu.
Wallahu a’lam bishawab, Wallahumuawafiq illa shirati al mustaqim.
Muhammad Taufik
Dosen UIN Imam Bonjol Padang