Orientalisme: Penelitian atau Hegemoni Terselubung atas Dunia Timur?

Kita sering mendengar tokoh-tokoh seperti Snouck Hurgronje, Ignaz Goldziher, Arthur Jeffery dan lain-lain, dalam diskursus yang kita lakukan

Iqbal Rizkyka. (Foto: Dok. Penulis)

Oleh : Iqbal Rizkyka

Kita sering mendengar tokoh-tokoh seperti Snouck Hurgronje, Ignaz Goldziher, Arthur Jeffery dan lain-lain, dalam diskursus yang kita lakukan. Mereka sering dicap sebagai tokoh yang peneliti yang ingin merusak dunia timur bahkan Islam dari dalam atau biasa juga dikenal tokoh dengan sebutan Orientalis.

Lantas apa itu Orientalisme? Dan begitu juga dengan Orientalis? Hal itu menjadi pertanyaan dalam benak kita bukan? Kita akan ulas satu persatu dalan tulisan kita kali ini, tentunya dengan analisis yang telah penulis siapkan.

Orientalisme merupakan kajian dunia timur yang dilakukan oleh tokoh barat baik itu berupa bahasa, adat, budaya, hingga cara berfikir orang timur itu sendiri. Maka demikian tokoh yang mengkaji tersebut dinamakan “Orientalis”.

Adapun timur yang dibahas dalam Orientalisme ini sendiri ialah wilayah Asia Selatan-Tenggara dari Himalaya hingga semenanjung Malaya di sebelah barat Wallace.

Kajian Orientalisme ini pertama kali dipopulerkan oleh seorang tokoh keturunan Amerika-Palestina yang bernama Edwar W.Said. Beliau yang pada awalnya lahir dan tumbuh besar di daerah timur tepatnya Palestina namun kemudian menempuh pendidikan di barat tepatnya di Amerika.

Dari perjalanan hidupnya terdapat sebuah kegelisahan yang kemudian ia tuangkan pada sebuah penelitian yang menjadi buku fenomenal yang berjudul “Orientalisme” pada tahun 1978.

Sontak buku ini menjadi buah bibir bagi beberapa tokoh akademisi karena merupakan sebuah hal yang fenomenal hingga sejak pertama kali istilah tersebut dimunculkan.

Jika ditilik lebih jauh mengapa kajian ini bisa hadir, maka sebuah hipotesis yang dapat kita tarik dari paradigma tokoh barat, yakninya mereka melihat dunia timur merupakan dunia yang eksotik, menarik, dan banyak keberagaman dalam ranah filosofis.

Sehingga demikian, dunia timur menjadi objek kajian bagi tokoh tersebut yang kemudian menjadi perbincangan hangat bagi mereka.

Namun demikian, seiring perkembangan waktu ada kecendrungan dari kalangan barat tersebut untuk menghegemoni dunia timur sehingga memperlakukan sebagai objek dan mereka menganggap diri mereka sebagai subjek.

Hal ini selaras dengan ungkapan dari Dr Katrin Bandel yang merupakan dosen berfokus pada kajian poskolonial bahwa “Barat menganggap diri mereka sebagai subjek, dominan, aktif atau dengan symbol maskulinitas sedangkan mereka menganggap Timur sebagai objek, pasif, atau dengan symbol feminim”.

Adapun rentang waktu Orientalisme ini dilakukan oleh Orientalis, telah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Hal ini ditandai dengan awal hadirnya agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw pada abad 7 masehi.

Yang mana hingga sepeninggalnya Muhammad, Islam kemudian mengalami kemajuan yang pesat dalam berbagai aspek baik itu pendidikan, kebudayaan, filsafat, sains, dan aspek lainnya.

Hal ini yang kemudian mengantarkan Islam pada masa kejayaannya yang kerap dikisahkan dengan penghargaan yang dilakukan oleh Khalifah (pemimpin) Harun Ar-Rasyid di masa itu berupa emas bagi setiap halaman tulisan yang diterjemahkan oleh Ulama (ilmuan) dari berbagai teks kebudayaan baik itu Yunani-Romawi, Persia, bahkan India.

Dalam ranah dunia Filsafat, Islam sejak saat itu dapat mensintesis kan metafisika yang dihasilkan oleh Filsuf Yunani Kuno dengan ajaran-ajaran Islam.

Namun demikian, berbeda apa yang terjadi pada dunia Barat di abad tersebut? Eropa (barat) yang saat itu berada di kepemimpinan yang di dominasi oleh “gereja” mengalami kemunduran yang signifikan, hal ini karena pada sebelumnya diawal-awal abad masehi banyak para filsuf lahir di dunia barat menjadi rujukan pemikirannya namun pada akhirnya pemikiran mereka tersebut dianggap bertentangan dengan dogma Agama sehingga harus di musnahkan dan harus selaras dengan pendapat gereja. Hal ini terjadi sekitar dari abad 7 hingga 13 masehi. Karena sebelumnya kerap mengalami kekalahan pada perang salib, maka kemudian mereka lebih intensif belajar pada dunia Islam.

Hingga kemudian dalam rentang waktu tersebut, Islam yang mengalami kemajuan yang pesat juga turut membangun interaksi-interaksi harmonis dengan barat yang saat itu juga berbagai agama lain.

Kajian keilmuan baik itu agama maupun sains yang saat itu dilakukan di Madrasah-madrasah (Universitas) ternama seperti perguruan Nizhamiyah, Al-Azhar, Cordova, hingga Kairwan dilakukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Maka barat di saat itu begitu gencar belajar terhadap Islam dan melakukan kembali penerjemahan kembali ke bahasa latin karya-karya dari Yunani Kuno maupun Filsuf Islam. Proses ini merupakan salah satu motif Orientalis dalam membangun kembali peradaban mereka hingga ditandai dengan adanya masa Pencerahan “Renaisans” pada abad 14 hingga 17 Masehi.

Namun setelah abad ke-17, dunia barat kemudian gencar melakukan ekspansi untuk menguasai dunia timur baik secara de facto maupun de Jure yang mana fenomena ini dikenal dengan era Kolonialisme.

Maka pada masa kolonial ini mereka selain menguasai wilayah timur dan Islam, mereka juga turut mempelajari kebudayaan, teks-teks kuno (filologi) dunia Islam yang kemudian menjadi kajian dalam ranah Orientalisme.

Maka demikian pada tahap selanjutnya motif dari Orientalisme ini tidak hanya sebatas Ilmu Pengetahuan saja, melainkan juga terdapat motif kekuasaan ekonomi dan politik yang ingin menghegemoni.

Untuk saat ini kita kerap mendapat stereotip, “dia itu Orientalis maka jangan sampai terjebak dengan pemahamannya” . Memang pada ada benarnya ungkapan tersebut.

Namun di sisi lain, kita perlu mereduksi kembali pernyataan tersebut. Yang mana motif dari Orientalis ini beragam, tidak selalu destruktif melainkan ada juga yang konstruktif dan baik terhadap dunia timur terlebih Islam.

Maka demikian perlu kita kategorikan ada beberapa tokoh Orientalis yang moderat seperti RPA.Dozy, Richard Simon, Simon Ockley bahkan juga yang kemudian masuk Islam seperti Turmeda, Leo Africanus, J.L Buchard dan masih banyak lagi.

Sedangkan kategori selanjutnya tokoh Orientalis ekstrem seperti Aziz Atiah Surial, H.A.R Gibb dan sebagainya. Maka hingga saat ini kajian mengenai Orientalis ini masih menjadi perbincangan hangat di berbagai perguruan tinggi, juga bisa menjadi kritik bagi Islam terutama dalam perkara Ilmu Pengetahuan, Sosial dan interaksi sehingga bisa kembali pada masa kejayaannya.

*Penulis: Iqbal Rizkyka (Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)

Baca Juga

Feodalisme yang umumnya dalam diskursus selalu dikaitkan pada struktur sosial abad pertengahan, di mana kekuasaan dan hak istimewa
Parasit di Perguruan Tinggi Itu Bernama Feodalisme
Partisipasi Politik Kaum Muda: Tantangan dan Peluang dalam Demokrasi Modern
Partisipasi Politik Kaum Muda: Tantangan dan Peluang dalam Demokrasi Modern
Pendidikan Politik: Bijak Menerima Informasi Politik di Media Sosial
Pendidikan Politik: Bijak Menerima Informasi Politik di Media Sosial
Pemanfaatan Teknologi Berkelanjutan: ESG Sebagai 'Pokok' Industri 5.0
Pemanfaatan Teknologi Berkelanjutan: ESG Sebagai 'Pokok' Industri 5.0
Dusta Atas Nama Beasiswa
Dusta Atas Nama Beasiswa
Menuju Indonesia Emas 2045: Mewujudkan Stabilitas dan Meningkatkan Sumber Daya Manusia
Menuju Indonesia Emas 2045: Mewujudkan Stabilitas dan Meningkatkan Sumber Daya Manusia