Berita bohong yang dikirim melalui pesan singkat WhatsApp cenderung lebih cepat penyebarannya karena platform ini memungkinkan pesan untuk dengan mudah dan cepat berpindah dari satu pengguna ke pengguna lainnya tanpa batasan waktu atau kendala berbagi. WhatsApp juga memiliki fitur grup dengan jumlah banyak anggota, sehingga pesan bohong dapat dengan cepat mencapai banyak orang hanya dalam satu kali pengiriman. Hoaks di Whatsapp lebih sulit terdeteksi karena aplikasi ini dirancang untuk pesan pribadi dan tidak seperti media sosial publik yang sering memiliki algoritma dan moderasi konten. Ini berarti bahwa pesan yang berisi berita bohong tidak selalu terekspos ke publik secara luas, dan seringkali hanya dilihat oleh anggota grup tertentu. Selain itu, pesan di WhatsApp biasanya dienkripsi end-to-end, yang berarti bahwa platform tersebut tidak memiliki akses langsung ke konten pesan, membuatnya sulit untuk melakukan pemantauan atau pemfilteran otomatis terhadap berita bohong.
Selain itu, berita bohong di WhatsApp sering kali disertai dengan klaim yang membuatnya terdengar meyakinkan, dan karena pesan ini berasal dari kontak yang dikenal atau dalam grup yang sama, orang cenderung lebih mudah mempercayai dan menyebarkannya tanpa melakukan verifikasi yang cermat. Hal ini menjadikan WhatsApp sebagai wadah yang potensial untuk penyebaran informasi palsu dengan cepat dan efektif.
Salah satu kelompok yang rentan sebagai penyebar hoaks adalah orang tua. Data analisis yang dilakukan oleh Kominfo pada tahun 2018 menunjukkan bahwa penyebar berita hoaks yang paling banyak bukanlah anak muda, melainkan orang tua yang berumur di atas 45 tahun. Dengan kata lain, semakin bertambahnya usia pengguna media sosial, semakin tinggi kemungkinan mereka terpengaruh oleh berita bohong dan semakin besar kecenderungan untuk menyebarkan informasi palsu ini kepada orang lain. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya pengalaman dalam memeriksa keaslian berita atau kurangnya keterampilan digital yang dapat membantu dalam mengidentifikasi berita palsu. Salah satu contoh perilaku bermedia orang tua bisa dilihat di Whatsapp Grup. Di dalam grup WhatsApp keluarga misalnya, seringkali beredar pesan-pesan terkait dengan topik kesehatan, dan pesan-pesan ini sering menggunakan nama dokter untuk memberikan kesan kredibilitas. Pesan-pesan tersebut dapat menimbulkan kepercayaan di antara anggota keluarga yang menerimanya. Namun, fenomena ini seringkali disertai dengan pesan-pesan berantai yang telah diproses berulang kali dan hal ini cenderung lebih umum terjadi pada kalangan orang tua. Mengapa penyebaran pesan berita palsu (hoaks) lebih banyak dilakukan oleh orang tua?
Kurangnya Keterampilan Digital: Generasi yang lebih tua cenderung memiliki kurangnya keterampilan digital dibandingkan dengan generasi yang lebih muda. Mereka mungkin tidak terlalu terbiasa dalam memeriksa keaslian berita atau pesan online, sehingga lebih rentan untuk menyebarkan informasi palsu tanpa verifikasi yang memadai. Kepercayaan Buta: Orang tua sering kali lebih rentan terhadap pesan-pesan yang mereka terima, terutama jika pesan tersebut mengklaim berasal dari sumber yang mereka percayai, seperti seorang dokter. Mereka mungkin kurang skeptis terhadap informasi yang mereka terima. Kurangnya Waktu: Orang tua sering memiliki jadwal yang lebih padat, mengurus keluarga, pekerjaan, dan tanggung jawab lainnya. Hal ini bisa membuat mereka kurang memiliki waktu untuk melakukan verifikasi terhadap informasi yang mereka terima, sehingga lebih mudah untuk hanya meneruskan pesan tersebut. Rasa Tanggung Jawab: Orang tua sering merasa bertanggung jawab untuk melindungi keluarga mereka. Mereka mungkin merasa bahwa dengan menyebarkan pesan-pesan kesehatan, mereka sedang melakukan yang terbaik untuk keluarga mereka, tanpa menyadari bahwa pesan tersebut mungkin tidak benar.
Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa generasi milenial memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengolah informasi yang tersedia di media dibandingkan dengan generasi baby boomers. Perbedaannya dapat dilihat dalam latar belakang pengalaman mereka. Generasi baby boomers lahir sebelum adanya perkembangan signifikan dalam akses informasi yang terjadi saat ini. Mereka tumbuh dalam era di mana sumber informasi utama adalah surat kabar, televisi, dan buku cetak. Sebaliknya, generasi milenial tumbuh dan sangat dekat dengan dunia digital yang penuh dengan internet, media sosial, dan akses cepat ke berbagai jenis informasi. Kemampuan generasi milenial untuk mengelola informasi di media sering kali dipengaruhi oleh kebiasaan digital mereka, seperti kemampuan untuk melakukan penelusuran online, memilah informasi yang relevan, memverifikasi kebenaran berita, dan memahami dinamika media sosial. Mereka lebih terbiasa dengan aliran informasi yang cepat dan kompleks, serta lebih rentan untuk terlibat dalam diskusi dan berbagi informasi secara daring.
Penting untuk meningkatkan literasi digital di kalangan semua generasi, termasuk orang tua, sehingga mereka dapat menjadi lebih sadar akan risiko berita palsu dan memahami pentingnya verifikasi informasi sebelum menyebarkannya. Selain itu, keluarga dapat berperan penting dalam membantu mengedukasi anggota keluarga yang lebih tua tentang cara mengidentifikasi dan menghindari hoaks di media sosial dan aplikasi pesan. (*)
Yayuk Lestadi, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas