Nan babarih nan bapaek,
nan baukua nan bacoreng.
Inilah satu kalimat aturan dan ketentuan dalam adat di Minangkabau. Artinya, anggota masyarakat suku Minangkabau tidak boleh sembarangan atau suka-suka dalam bertindak dan berprilaku. Ada aturan dan ketentuan adat yang harus diikuti, sehingga timbulnya ketertiban masyarakat dalam pergaulan hidup sesama anggota masyarakat.
Minangkabau yang notabene Sumatera Barat memiliki adat-budaya tersendiri dalam mengatur pergaulan hidup di wilayah adatnya. Adat budaya Minangkabau ini berbasis agama Islam, sebagaimana falsafah adatnya: Adaik basandi syarak; syarak basandi kitabullah. Fungsi adat budaya di wilayah adat Minangkabau ini adalah agar terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang tertib, aman, damai, dan sejahtera. Artinya, di Minangkabau, pemelihara ketertiban masyarakat secara adat budaya dan pemimpinannya adalah niniak mamak (tokoh-tokoh adat).
Dalam kepemimpinannya ninik mamak mengayomi keponakan (kamanakan) yang disimbolkan kayu gadang di tangah koto dan/atau baringin di tangah padang. Anak keponakan bisa berlindung di kerimbunan dedaunannya dari kepanasan dan kehujanan. Akarnya tempat duduk bersila; batangnya tempat bersandar.
Artinya lagi, peran dan fungsi niniak mamak di Minangkabau ini dalam hal tertentu (misalnya, ketertiban dan pelayanan) sama halnya dengan peran dan fungsi kepolisian, sebagaimana yang tercantum dalam UU Kepolisian No. 2 tahun 2002 yang berbunyi: fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Sebagai alat negara, polisi berupaya menegakkan hukum dan memelihara keamanan serta ketertiban. Dan, dalam kapasitasnya sebagai aparat masyarakat, polisi bertugas melindungi, mengayomi dan melayani dan masyarakat dalam berinteraksi dengan sesama masyarakat, dan dengan negara sejauh tidak berlawanan dengan norma hukum formal.
Nilai-nilai dalam masyarakat adat di Minangkabau sejalan dengan ajaran agama Islam, seperti humanis dan egaliter. Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat humanis yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan dan pengabdi kepentingan sesama umat manusia.
Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat egaliter yang selalu bersikap sosial berdiri sama tinggi duduk sama rendah, seiring sejalan, saling menghargai, saling mencintai, rela berkorban, bersifat demokratis dan dapat menikmati haknya sebagai masyarakat.
Pemimpin humanis-egaliterian adalah pemimpin yang memiliki rasa empati dengan situasi dan kondisi yang dihadapi masyarakat, sehingga apa yang menjadi keinginan dan harapan masyarakat mampu diwujudkan dan disalurkan dalam bentuk kebijakan dan tindakan nyata, serta mampu mendudukkan dan memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakatnya dan tidak ada sekat antara pemimpin dan yang dipimpin. Inilah kepemimpinan adat di Minangkabau.
Pepatah adat di Minangkabau tentang pemimpin yang diduluan salangkah, ditinggian sarantiang, bukan berarti perbedaan derajat atau tingkatan status sosial, tapi semacam penghormatan dan penghargaan terhadap pemimpin. Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat humanis-egaliterian. Banyak ungkapan-ungkapan adat yang menunjukkan masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang humanis-egaliterian, seperti: sakik-sanang samo diraso; ka bukik samo mandaki, ka lurah samo manurun.
Oleh karena itu, menjadi polisi di Minangkabau, apalagi polisi yang berasal dari suku Minangkabu, bukan hanya sekedar menjalankan tugas-tugas sebagai polisi, tapi juga menjadi manusia yang bisa menghargai dan memanusiakan manusia yang lain, bukan malah menjustisfikasi, merendahkan atau malah mendiskriminasi. Dengan demikian, polisi di Minangkabau adalah polisi yang memiliki nilai-nilai niniak mamak. Untuk polisi di Minangkabau yang demikian, kata yang tepat adalah Polisi Niniak Mamak.
Sosok polisi niniak mamak ini melekat pada diri Irjen Pol. Fakhrizal yang saat ini menjalankan amanah dan jabatan sebagai Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Provinsi Sumatera Barat. Dalam kesehariannya menjalankan tugas profesi kepolisian, keluarga dan kemasyarakatan yang sangat bersahaja dan penuh empati yang menunjung tinggi prinsip – prinsip agama dan adat istiadat.
Fakhrizal tidak pernah menampilkan dirinya sebagai seorang Jenderal Polisi dan dalam kapasitas Kapolda yang harus ditakuti orang lain, sebaliknya karakter bersahaja dan penuh empati yang telah menjadi identitas dirinya, membuat semua lapisan masyarakat sangat menghormati dan menghargainya. Lain halnya dengan persoalan yang menyangkut pelanggaran hukum (tindak pidana), Fakhrizal akan menindaknya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Ia tidak tebang pilih dalam hal ini dan menjadikannya menjadi pemimpin yang sangat disegani di Sumatera Barat saat ini. Ia memberi contoh tauladan kehidupan beradat sesuai dengan ajaran adat budaya Minangkabau.
Irjen Pol. Fakhrizal memang sosok yang berkarakter Minangkabau sejati, humanis-egaliterian. Oleh karena itu, predikat yang pantas untuk beliau adalah: “Inspektur Jenderal Fakhrizal, sosok polisi niniak mamak”, seorang Kapolda yang selalu menerapkan nilai-nilai agama dan adat dalam rutinitas kesehariannya.
Selamat hari ulang tahun Bhayangkara ke 73.