Normalisasi Budaya Feodal: Implikasi Terhadap Kehidupan Sosial dan Syariat Islam

Seiring perkembangan zaman dan teknologi, perubahan dalam bersikap dan menyikapi sesuatu pun turut berubah karenanya. Banyak kita lihat dalam

Elgi Kurniawan. (Foto: Dok. Penulis)

Oleh: Elgi Kurniawan

Seiring perkembangan zaman dan teknologi, perubahan dalam bersikap dan menyikapi sesuatu pun turut berubah karenanya. Banyak kita lihat dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari terjadi fenomena normalisasi.

Fenomena normalisasi sendiri merupakan proses dimana suatu hal yang dianggap buruk (kurang baik) dalam suatu kelompok (masyarakat) lalu hal tersebut dapat diterima dan menjadi hal yang wajar dalam masyarakat tersebut. Banyak teori yang membahas mengenai teori normalisasi ini.

Kita bisa gunakan tentang apa yang di sampaikan oleh Albert Bandura, bahwa proses observasi dan peniruan pada masyarakat cenderung meniru perilaku yang sering mereka lihat. Terutama jika perilaku tersebut dilakukan oleh figur yang dianggap memiliki (otoritas), (kekuasaan), atau (status sosial tinggi).

Jika perilaku yang salah, seperti ketidakjujuran, tampak memberikan keuntungan tanpa konsekuensi nyata, masyarakat mulai menganggapnya sebagai norma yang dapat diterima.

Adapun dalam segi kehidupan sehari-hari banyak sekali normalisasi ini terjadi secara umum, hanya saja yang menjadi fokus pada tulisan ini adalah normalisasi dalam dunia islam. Hal ini berarti bahwa dalam beberapa yang kurang baik bahkan tidak baik secara syariat, akan tetapi pada penerapan masyarakatnya dianggap sebagai hal yang biasa.

Hal yang menjadi tinjauan utama normalisasi dalam Islam adalah perilaku umat Islam yang secara umum tidak sesuai dengan prinsip Islam bahkan bertentangan dengan Islam itu sendiri dan hal tersebut merupakan sebuah kewajaran dilingkungan mereka.

Fenomena maraknya umat Islam yang membiarkan dan bahkan bersikap bodo amat ini dapat kita lihat dari kasus feodalisme dalam balutan agama, hal ini tentu akan menimbulkan mentalitas feodal itu sendiri. Feodalisme tentunya akan menimbulkan kesenjangan yang sangat jelas dalam sebuah kondisi, hingga membuat banyak orang pada akhirnya berwatak inferior seperti yang dijelaskan oleh Mochtar Lubis dalam otokkritiknya, sehingga dapat kita lihat jarak yang jauh memisahkan antara muslim bisa dengan muslim feodal.

Muslim feodal sendiri merupakan mereka yang memiliki posisi terhormat dalam posisinya yang mungkin saja sebagai tokoh agama, atau bisa seperti keturunan ulama besar, sultan, kiyai, pimpinan pondok dan ulama lain secara umum.

Kasus feodal yang dimaksud terjadi disebabkan sikap berlebihan muslim biasa atas muslim lainnya yang mungkin memiliki kedudukan lebih tinggi, bahkan hal ini diperparah dengan anggapan mereka suci dan bebas dari kesalahan.

Penghormatan yang berlebihan ini mengalami normalisasi yang besar, sehingga telah mendarah daging disisi masyarakat. Normalisasi yang terjadi atas perilaku feodal dalam dunia Islam ini khususnya, akan berakhir dengan para pemuka agama yang memiliki otoritas dalam kelompoknya menganggap rendah muslim biasa (pengikut, jama'ah, atau mereka yang bergelar muhibbin), disinilah hierarki feodalisme itu tampak, dengan dampaknya sekaligus.

Bahkan yang lebih buruknya ada sebuah video yang memperlihatkan baru-baru ini, seorang yang digelari "Gus" melemparkan pisang kepada para jamaahnya, dan jamaah pun berebutan untuk mendapatkan itu.

Di samping itu, salah satu hal yang akhir-akhir ini sempat heboh sekali di dunia maya adalah mengenai seorang yang kembali masih bergelar "Gus" yang mengatakan "goblok" kepada seseorang yang sedang mencarikan nafkah untuk keluarganya.

Pada kasus ini, yang menjadi perhatian bukanlah mengenai "Gus" tersebut, akan tetapi kondisi ketika masyarakat menganggap hal tersebut sebagai hal yang biasa (terutama mereka yang di kalangan Gus tersebut). Hal ini terjadi ketika saya mendapati banyak pihak yang menormalisasikan hal tersebut dengan mengatakan “candaan seperti itu merupakan hal yang biasa di lingkungan mereka” tuturnya.

Bagaimana suatu candaan yang di dalamnya terdapat penghinaan terhadap makhluk dan terkhusus kepada hamba Allah disebut sebagai hal yang biasa? Baik itu dilakukan kepada orang dalam lingkungannya maupun orang yang diluar nya.

Jikalau memang yang dikembalikan pada lingkup orang tersebut sebagai suatu yang wajar, akan tetapi kewajaran itu tidak bisa digunakan ke orang-orang baru ditemui, karena dis itu akan menimbulkan keambiguan bagi si orang baru.

Secara umum guyonan dalam Islam merupakan hal yang dibolehkan sebagaimana yang Allah jelaskan dalam surat An-Najm ayat 43 “bahwa sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis”

Dalam berbagai riwayat dijelaskan bahwa Rasulullah pun bercanda dengan para sahabat, sebagaimana candaan beliau kepada alah satu istrinya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa rasulullah suatu hari pernah memberikan pakaian yang besar pada salah satu istrinya, lalu beliau berkata, ”Pakailah pakaian ini, lalu pujilah Allah Seret lah ujungnya seperti ujung pakaian pengantin” lalu istrinya pun melakukan hal itu dan tertawa lah Nabi melihat cara berjalan istrinya yang menggelikan itu.

Meskipun banyak dalil mengenai kebolehan suatu candaan, bukan berarti candaan tersebut merupakan hal boleh begitu saja tanpa ada batasannya, maka prinsip umum Islam lah yang menjadi batasan dalam suatu candaan.

Salah satu ayat yang mengandung batasan dalam segala hal termasuk candaan adalah surat Al-Hujurat ayat 11 “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasiq setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim. “

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah mengharamkan sifat mencela, mengumpat, mengolok-olok dan juga memberikan panggilan kepada orang lain dengan panggilan yang tidak disukainya. Maka dari hal tersebut sebuah candaan tidaklah boleh hal yang menjatuhkan apalagi bersifat mencela, mengolok-olok dan juga panggilan yang tidak disukai orangnya.

Memanglah itu hanya suatu candaan dan Islam pun tidak melarangnya, hanya saja jikalau kita telik lagi candaan demikian bisa keluar dari seorang tokoh umat disebabkan oleh mentalitas feodal itu sendiri, "Gus" tersebut menepati posisi yang tinggi dalam kalangan nya, bisa kita lihat dari pelayanan kepadanya.

Posisi yang istimewa itulah secara tidak langsung mengarahkannya untuk memandang rendah orang lain tanpa disadarinya. Beginilah salah satu dampak normalisasi terhadap feodalisme dalam agama, sehingga hal-hal yang jelas melanggar syariat islam dianggapnya biasa saja tanpa dipermasalahkan kebenarannya.

Berangkat dari sini kita dihadapi dengan fenomena suatu kelompok yang sudah biasa dengan candaan yang mengandung larangan ayat sebelumnya, mereka yang membiasakan candaan yang didalamnya terdapat perlawanan dengan prinsip Islam, yaitu nya hinaan, cemooh dan olokan.

Dan hal ini telah mengakar kuat dan juga dianggap biasa dalam kelompok tersebut sehingga terus diwarisi ke generasi setelahnya. Mengenai hal ini tampaklah pewarisan budaya yang tidak baik, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadisnya berikut:

Barangsiapa yang mencontohkan dalam Islam suatu contoh yang baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala orang yang melakukannya setelahnya; tanpa berkurang sesuatu apapun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang mencontohkan dalam Islam suatu contoh yang buruk, maka ia menanggung dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya setelah dia, tanpa berkurang sesuatu pun dari dosa-dosa mereka. [HR. Muslim, no. 1017]

Hadis tersebut menjelaskan bahwasanya apa saja yang kita turunkan dan kita warisi pada orang lain memiliki ganjarannya masing-masing, baik itu adalah suatu pahala karena kebaikannya ataupun dosa karena maksiat yang di warisinya tersebut.

Apabila ditilik secara umum dalam hadis ini hendaklah seseorang berhati-hati dalam mempraktekan atau bahkan mengajari seseorang dengan suatu hal, baik secara langsung maupun tidak langsung, salah satu bentuk pewarisan buruk itu adalah normalisasi yang secara tidak langsung terjadi dalam masyarakat, sebagaimana candaan yang mengandung hinaan dianggap sebagai hal yang biasa.

Maka berhati-hatilah kita dalam mewarisi sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung, karena kebiasaan buruk yang kita warisi akan terusan mengalirkan dosanya selagi masih ada yang menjalankannya.

Ketika kita melakukan penilaian terhadap sesuatu hendaklah lebih selektif terhadap suatu hal yang sudah menjadi kebiasaan tersebut dengan mempertimbangkan aspek dasar dalam Islam baik itu Maqashidul Syariyah, Ummu Al-Balwa, dan segala aspek dasar dalam Islam.

Penulis: Elgi Kurniawan (Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)

Baca Juga

Sholawat Nabi adalah ungkapan pujian dan rasa terima kasih umat Muslim kepada Rasulullah SAW atas segala jasa dan pengorbanannya yang
Sholawat Nabi: Antara Kesakralan Ibadah dan Kekeliruan Budaya
Di tengah masyarakat, sering ditemukan fenomena yang unik namun ironis. Ketika seseorang bertobat, keputusan itu dirayakan dengan euforia
Jangan Berlebihan: Beragama dengan Rasionalitas Itu Perlu
Pada dasarnya, Allah menciptakan manusia, baik pria maupun wanita, semata-mata untuk beribadah kepada-Nya. Islam datang dengan ajaran
Pantaskah Wanita Memimpin?
Sistem pewarisan dalam adat Minangkabau dikenal dengan istilah "waris bertali darah". Prinsip dasar dari sistem ini menekankan matrilineal
Sistem Pewarisan Matrilineal Minangkabau: Nilai Kolektivitas di Tengah Modernitas
Perilaku merendahkan orang lain dengan ejekan biasanya terjadi ketika seseorang tidak mampu membantah pendapat lawan melalui argumen rasional
Respon Bijak terhadap Argumentum Ad Hominem: Telaah Al-Qur'an dan Teladan Nabi
Politik uang, atau dalam istilah yang populer di masyarakat dikenal sebagai “serangan fajar,” adalah fenomena yang hampir menjadi tradisi.
Harga Suara, Harga Diri: Catatan Krisis Tentang Politik Uang