Narasi Kehidupan di Festival Pesona Minangkabau

Narasi Kehidupan di Festival Pesona Minangkabau

Foto: Dharma Harisa

Di tengah rimba adat yang perlahan dilupakan, Tanah Datar memanggil. Bukan lewat gong besar, melainkan denyut halus yang merayap dari nagari ke nagari, seperti embun yang menetes dari ujung daun—diam-diam, tapi menghidupkan. Itulah Festival Pesona Minangkabau (FPM), panggung di mana jejak-jejak masa lalu menari bersama bayangan masa depan.

Bagaimana suasana ini dapat hidup? Sebuah nagari, penuh warna dan suara, memikul beban sejarahnya sendiri. Setiap rumah gadang adalah kitab, setiap puncak kelok adalah saksi. Namun, beban itu bukan kutukan, melainkan pengingat. Bahwa kita, masyarakat Minangkabau, harus terus menenun tradisi, meski pintalan benang harapan, masygul, barangkali menipis.

Di Istano Basa Pagaruyung, titik sentral FPM 2024, sejarah berdiri angkuh. Bangunan megah yang menjulang seperti melawan waktu menjadi saksi bisu festival yang merayakan semangat budaya. Ribuan pengunjung memadati halaman, riuh rendah dalam sukacita dan kebanggaan. Tapi apakah semua ini benar-benar hidup? Atau hanya parade yang ditata rapi demi turis dan kamera?

Istano Basa Pagaruyung bukan sekadar bangunan megah. Ia adalah simbol keabadian sejarah yang pernah direnggut api pada abad ke-19. Saat itu, istana ini hancur dalam kobaran yang menghapus sebagian besar warisan fisiknya. Namun, semangat membangunnya kembali tetap hidup. Kini, replika yang berdiri megah itu menjadi saksi peradaban yang terus melawan pelapukan zaman.

Istano Basa juga menjadi pusat bagi wisatawan untuk mengenal tata cara adat, peran balai adat, dan fungsi surau sebagai pusat pendidikan agama. Kehadirannya dilengkapi miniatur perkampungan tradisional yang mencakup surau, tapian mandi, dan balai adat. Namun, seberapa jauh para pengunjung benar-benar memahami esensi dari tempat ini?

Dalam festival ini, kita melihat gerakan silat yang tidak hanya menghentak kaki, tetapi juga membuka mata. Ada gerakan yang meniru harimau, walau harimaunya kini sudah menepi akibat derasnya deforestasi. Kita menyaksikan ibu-ibu menjunjung jamba, bukan sekadar hiasan, tapi sebagai perlambang pertemuan adat dengan modernitas; meski jaman berubah kian privat, orang Minang tetaplah satu keluarga.

Tari kolosal menjadi sorotan. Langkah-langkah penuh tenaga, tangan yang meliuk, tubuh-tubuh yang menjelma angin. Anak-anak nagari bersatu dalam harmoni yang menggetarkan, seolah mengatakan: “Kami masih ada, budaya ini belum mati.” Tetapi pertanyaan itu menggema, seperti dengung gong yang lama berhenti: apakah harmoni ini akan bertahan lebih lama daripada sorak-sorai hari ini?

Selain tari dan musik, kuliner dan kerajinan tradisional menjadi jantung lain dari Festival Pesona Minangkabau. Hidangan seperti lamang tapai, pangek lapuak, hingga rendang bukan hanya soal rasa, tetapi juga cerita. Di setiap gigitan, ada jejak sejarah, ada tangan nenek moyang yang mewariskan resep dari generasi ke generasi.

Kerajinan tangan juga berbicara dalam bahasa yang sunyi. Songket dengan motif-motif rumit, ukiran kayu yang bercerita tentang alam dan filosofi hidup, adalah hasil kerja keras yang tidak bisa dinilai hanya dari harganya. Namun, para pengrajin ini menghadapi tantangan besar: pasar yang semakin sempit, bahan baku yang mahal, dan generasi muda yang kurang tertarik melanjutkan tradisi ini.

Tradisi yang Menantang Waktu

Minangkabau adalah mosaik, bukan monolit. Tiap nagari memiliki adatnya sendiri, suara dan warnanya sendiri. Namun, dengan semakin derasnya arus globalisasi, mosaik itu terancam retak. Festival Pesona Minangkabau mencoba menyatukan kepingan-kepingan itu, tetapi tantangannya terlalu besar untuk sekadar perayaan tahunan.

Program "Satu Nagari Satu Event" yang digagas Pemerintah Tanah Datar menjadi pilar dari FPM. Konsepnya sederhana: setiap nagari memperkenalkan potensi budaya mereka, dari tari tradisional hingga kuliner khas, dari tenun hingga permainan rakyat. Ini adalah ruang bagi nagari untuk berdiri di atas panggung, menampilkan diri mereka kepada dunia. Namun, apakah ini cukup?

Tidak semua nagari mampu berpartisipasi. Dana terbatas, pengalaman minim, dan kurangnya dukungan teknis menjadi kendala utama. Dari 75 nagari di Tanah Datar, hanya separuh lebih yang telah berpartisipasi sejak program ini dimulai. Sebagian besar lainnya masih bergulat dengan persoalan internal, mulai dari kepemimpinan hingga sumber daya manusia.

Dalam artikel "Implementasi Program Satu Nagari Satu Event (SNSE) sebagai Program Unggulan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar dalam Melestarikan Kebudayaan Lokal" (2024) menjelaskan, program yang bertujuan memberdayakan nagari sering kali menjadi beban tambahan. Beberapa nagari terpaksa mengalihkan anggaran dari kebutuhan lain demi mengikuti Satu Nagari Satu Event. Bahkan, ada yang mengundurkan diri karena merasa tidak sanggup memenuhi ekspektasi yang dibebankan. Apakah ini harga yang harus dibayar untuk melestarikan budaya?

Namun, di antara tantangan tersebut, ada juga cerita tentang nagari-nagari yang berhasil menemukan kekuatannya sendiri. Nagari Padang Gantiang, misalnya, menjadi salah satu yang terbaik dalam penyelenggaraan event ini. Lewat festival yang mengajak masyarakat berburu hama, mereka di datangi wisatawan pemburu dari Riau hingga Jambi. Atau keunikan-keunikan lainnya, seperti di Nagari Koto Baru dengan 1000 singgang ayam atau 1000 lopek kucuik di Nagari Lubuak Jantan.

"Banyak orang menyampaikan bahwa program satu nagari satu event hanya menghabiskan tenaga dan waktu saja, tetapi bagi kami biarlah uang dan tenaga kami habis serta waktu kami tersita yang penting adat dan budaya nagari kami tetap lestari," kata Wali Nagari Padang Laweh Rahmat Febri Jeni Dt. Barah Bangso saat pembukaan program satu nagari satu event Festival Alu Katentong dan Pacu Jawi, Minggu (24/11/2024) di kutip dari tanahdatar.go.id

Lanjutnya, program satu nagari satu event benar-benar sangat bermanfaat bagi kami terutama dalam melestarikan adat dan budaya nagari. Program satu nagari satu event bagi kami masyarakat nagari Padang Laweh banyak sekali manfaatnya, antara lain melalui program ini masyarakat kami bisa berkumpul bersama dan saling bercerai dan dengan program ini potensi nagari juga bangkit.

"Dulu di sini cuma ada 2 grup Alu Katentong, namun sekarang sudah banyak, malah hampir disetiap jorong. Semangat masyarakat baik yang di ranah maupun yang di rantau sangat luar biasa mendukung program ini," kata Febri.

Bupati Tanah Datar Eka Putra, saat membuka program satu nagari satu event Festival Alu Katentong dan Pacu Jawi nagari Padang Laweh mengatakan bahwa program ini bertujuan untuk melestarikan budaya yang telah diturunkan dari nenek moyang kita dari dulunya.

"Saya melihat di nagari Padang Laweh ini sudah terjadi regenerasi yang sangat luar biasa, dimana para generasi muda disini sudah banyak belajar tentang adat dan budaya dari para orang tua. Ini sangat bagus dan mari kita bangkit bersama apa yang telah diberikan oleh nenek moyang kita yang terdahulu sehingga budaya kita akan terus terlestarikan dimasa mendatang. Inilah tujuan yang sebenarnya dari program satu nagari satu event," ujarnya.

Deposit Budaya yang Tak Pernah Kering

Dalam pembukaan Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) Sumatera Barat Oktober 2024 lalu, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Sumatera Barat, Undri, menyampaikan sebuah pidato yang menggugah. Dengan suara yang tenang tapi penuh makna, ia memulai dengan metafora yang tak biasa: "deposit budaya."

"Ada satu yang tidak pernah habis," ujar Undri, "yaitu deposit budaya." Di tengah refleksi tentang kekayaan Sumatera Barat, ia mengingatkan bahwa budaya adalah sumber daya yang tidak mengenal kelangkaan—berbeda dengan tambang batu bara di Sawahlunto, yang kini hanya tinggal jejak kejayaannya. Kekayaan alam akan berkurang, katanya, tetapi kekayaan budaya adalah mata air yang tidak pernah kering, asalkan dijaga dan diwariskan.

Pidato itu bukan hanya sekadar pembukaan seremonial, melainkan juga sebuah kritik halus terhadap masyarakat modern yang cenderung abai pada warisan leluhur. Ia menyoroti pentingnya perlindungan aset budaya. "Bagaimana kita melindungi aset-aset budaya agar roh budaya itu tetap hidup dan berkembang dalam masyarakat?" tanyanya, menggugah pendengar untuk merenung.

Undri menawarkan empat pilar utama dalam upaya memajukan kebudayaan. Pilar pertama adalah perlindungan. Ini bukan sekadar langkah administratif, melainkan upaya untuk memastikan agar jejak budaya tetap dapat dikenang dan dihidupkan oleh generasi mendatang. Dokumentasi, inventarisasi, dan pelestarian menjadi langkah strategis.

Pilar kedua adalah pengembangan. "Kebudayaan tidak bisa berkembang secara parsial atau terpisah," tegasnya. Dalam ekosistem kebudayaan yang saling terhubung, kolaborasi antara seniman, budayawan, akademisi, dan masyarakat menjadi kunci. Kebudayaan, katanya, bukan hanya tentang festival atau upacara adat, tetapi juga bagaimana ia menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Pilar ketiga adalah pemanfaatan. Undri mendorong masyarakat untuk melihat budaya sebagai aset yang dapat memberikan manfaat nyata. Dari kearifan lokal hingga tradisi arsitektur dan teknik-teknik tradisional, semua itu dapat menjadi solusi untuk tantangan kehidupan modern.

Pilar terakhir adalah pembinaan. Penguatan sumber daya manusia di bidang kebudayaan adalah investasi jangka panjang. Tanpa pengelolaan yang baik, budaya akan kehilangan daya hidupnya.

Wisata Budaya dan Wisata Massal: Dua Dunia yang Bersinggungan

Wisata, bagi banyak orang, adalah pelarian dari rutinitas. Sebuah jalan untuk menyegarkan jiwa. Namun, tidak semua wisata diciptakan sama. Ada wisata budaya, yang menawarkan perjumpaan dengan esensi suatu tempat: tradisi, seni, sejarah, dan cara hidup. Ada pula wisata massal, yang sering kali hanya menggarisbawahi gegap gempita tanpa menggali kedalaman.

Minangkabau, sebuah wilayah dengan kekayaan budaya yang begitu dalam, berada di persimpangan antara dua jenis wisata ini. Dari tarian tradisional hingga kuliner legendaris, dari cerita sejarah hingga arsitektur unik rumah gadang, semua elemen budaya ini adalah tambang emas yang menunggu untuk digali. Namun, ke mana arah langkah wisatawan yang datang? Apakah mereka mencari pengetahuan, atau sekadar hiburan visual?

Wisata budaya adalah perjalanan yang mendalam. Ia lebih dari sekadar mengunjungi tempat-tempat indah; ia adalah sebuah cara untuk memahami bagaimana sebuah komunitas hidup, berpikir, dan berkembang. Dalam konteks Minangkabau, wisata budaya adalah tentang memahami filosofi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah." Ia adalah upaya menyelami bagaimana masyarakat Minangkabau membangun kehidupannya berdasarkan adat dan agama, serta bagaimana kedua elemen itu saling berkelindan dalam keseharian.

Wisata budaya memungkinkan pengunjung untuk berinteraksi dengan tradisi yang masih hidup. Misalnya, mengikuti musyawarah adat di balai adat, belajar membuat songket dengan motif-motif tradisional, atau bahkan mempelajari langkah-langkah tari piring yang mendebarkan. Wisata ini tidak hanya membawa pulang kenangan, tetapi juga pemahaman baru tentang kehidupan.

Namun, wisata budaya membutuhkan lebih dari sekadar destinasi. Ia membutuhkan kurasi yang baik. Dalam hal ini, program seperti "Satu Nagari Satu Event" di Tanah Datar adalah langkah yang menjanjikan. Setiap nagari menawarkan kekayaan uniknya sendiri: tari, kuliner, permainan tradisional, hingga cerita rakyat. Namun, apakah program ini sudah cukup untuk membangun pengalaman wisata budaya yang otentik? Tantangannya adalah bagaimana menjadikan tradisi ini bukan sekadar tontonan, tetapi juga pengalaman yang melibatkan.

Di sisi lain, wisata massal adalah cerminan dari era modern yang serba cepat. Ia adalah tentang jumlah, tentang keramaian, dan sering kali tentang pencitraan. Festival Pesona Minangkabau (FPM), misalnya, telah menjadi magnet wisatawan. Ribuan orang datang untuk menyaksikan tari kolosal, pawai budaya, dan pertunjukan seni yang memukau. Kamera-kamera sibuk merekam momen, sementara para wisatawan sibuk mengabadikan diri dalam lanskap yang indah.

Namun, wisata massal sering kali kehilangan substansi. Fokusnya adalah pada pengalaman instan, pada kesenangan sesaat. Dalam konteks FPM, pertanyaannya adalah: apakah wisatawan benar-benar belajar tentang Minangkabau? Atau apakah mereka hanya menyerap citra visual tanpa menggali cerita di baliknya?

Wisata massal juga membawa risiko lain: homogenisasi. Dalam upaya menarik sebanyak mungkin wisatawan, ada godaan untuk "mengemas" budaya agar lebih mudah dipahami oleh massa. Hal ini sering kali menghilangkan kerumitan dan kedalaman budaya itu sendiri, mengubahnya menjadi sekadar produk komersial.

Wisata budaya dan wisata massal tidak selalu harus berlawanan. Ada ruang untuk keduanya bersinggungan. Festival budaya seperti FPM, misalnya, dapat menjadi pintu gerbang untuk memperkenalkan wisatawan pada kedalaman tradisi Minangkabau. Gemerlapnya wisata massal dapat digunakan sebagai alat untuk menarik perhatian, tetapi substansi budaya harus tetap dijaga.

Di sinilah peran penting pengelola destinasi dan pemerintah daerah. Wisata budaya membutuhkan investasi yang serius, baik dalam bentuk pelatihan sumber daya manusia, infrastruktur, maupun strategi pemasaran. Misalnya, Istano Basa Pagaruyung bisa menjadi model bagaimana sebuah situs sejarah tidak hanya menjadi daya tarik visual, tetapi juga ruang pembelajaran. Dengan pemandu yang kompeten, tur interaktif, dan cerita yang menggugah, Istano Basa dapat menawarkan pengalaman wisata yang melampaui permukaan.

Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana membangun keseimbangan. Wisata budaya membutuhkan waktu, perhatian, dan kesediaan untuk mendengarkan. Wisata massal, di sisi lain, sering kali menuntut kecepatan dan efisiensi. Bagaimana memastikan bahwa tradisi tidak kehilangan rohnya di tengah tuntutan komersial?

Minangkabau adalah laboratorium hidup di mana dua jenis wisata ini saling berinteraksi. Ia menawarkan pelajaran penting tentang bagaimana budaya dapat dilestarikan sambil tetap relevan di dunia modern. Festival Pesona Minangkabau adalah langkah awal yang baik, tetapi ia membutuhkan visi yang lebih jauh. Program seperti "Satu Nagari Satu Event" harus terus didukung dan dikembangkan, dengan fokus pada kualitas dan otentisitas.

Selain itu, Minangkabau juga dapat memanfaatkan potensi wisata budaya untuk memperkuat identitas lokal. Wisatawan dari Malaysia, misalnya, memiliki hubungan emosional dengan budaya Minangkabau. Ini adalah peluang besar untuk membangun jembatan budaya yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga memperkaya kedua belah pihak.

Wisata budaya dan wisata massal adalah dua sisi dari koin yang sama. Keduanya memiliki tempat dalam ekosistem pariwisata, tetapi keduanya juga memiliki batasan yang harus diakui. Dalam konteks Minangkabau, tantangannya adalah bagaimana menggunakan gemerlap wisata massal untuk menarik perhatian, tetapi tetap menjaga kedalaman wisata budaya.

Pada akhirnya, tujuan wisata bukan hanya tentang hiburan. Ia adalah tentang membangun hubungan, tentang menciptakan pemahaman, dan tentang merayakan keindahan dunia yang beragam. Minangkabau, dengan kekayaan budaya dan sejarahnya, memiliki semua elemen untuk menjadi contoh bagaimana dua jenis wisata ini dapat hidup berdampingan. Dengan visi yang tepat, Minangkabau dapat menunjukkan bahwa budaya bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga fondasi untuk masa depan.

Kembali ke Nagari, Mencari yang Hilang

Ada pertanyaan sepintas lalu kala melaun festival FPM: apakah budaya/tradisi bisa benar-benar mati? Atau ia hanya bersembunyi, menunggu panggilan untuk kembali?

Di Sumatera Barat, pertanyaan itu mungkin terjawab pada jejak pemerintahan nagari. Sebuah struktur sosial yang tak hanya berbicara soal birokrasi, tapi juga tradisi, harga diri, dan—mungkin—keabadian. Kita mengenalnya sebagai simbol Minangkabau, jauh sebelum undang-undang, sebelum orde baru, bahkan sebelum tanah ulayat terpecah menjadi sewa-sewa kontrak atas nama "pembangunan."

Nagari adalah tempat demokrasi bertemu dengan adat. Di sana, segala keputusan disepakati melalui musyawarah: nagari beraja kepada mufakat, mufakat beraja kepada kebenaran. Sebuah manifesto kecil yang sederhana, tapi menggigilkan. Kebenaran, di sini, adalah raja; bukan manusia, bukan kekuasaan. Di mana lagi ia bisa hidup seperti itu?

Namun, nagari pernah lenyap. Tahun 1979, melalui Undang-Undang No. 5, pemerintahan desa menggantikannya. Tradisi, yang semula berakar dalam kearifan lokal, dipaksa mengenakan pakaian baru, seragam sentralisme. Desa menjadi entitas administratif; nagari, sekadar ingatan.

Tapi benarkah ia benar-benar hilang? Atau hanya dilupakan?

Reformasi membuka pintu lain. Otonomi daerah tahun 2000 seperti sebuah permintaan maaf yang terlambat, namun tetap disambut. Nagari kembali hadir, tak hanya sebagai struktur pemerintahan, tapi juga sebagai proyek rekonstruksi identitas. Di balik pengaturan undang-undang dan peraturan daerah, ada semangat yang lebih besar: membawa kembali masa lalu, untuk melindungi masa depan.

Nagari, dalam gagasan asalnya, adalah tempat di mana hukum adat hidup. Tetapi hukum adat tak bisa berdiri sendiri. Ia memerlukan lembaga, manusia, dan niat untuk menjadikannya pedoman. Tanpa itu, ia hanyalah kata-kata di atas kertas, seperti undang-undang yang ia gantikan.

Prof. Silfia Hanani dalam suatu workshop di Nagari Tanjung Barulak, Kabupaten Tanah Datar, Agustus 2024 lalu, menungkapkan hal itu. Ia menjelaskan nagari, sebagai episentrum masyarakat Minang adalah memiliki ciri yang membentuk adat istiadat dan tradisi. Utamanya di tiga tempat: surau, lapau, tapian.

Mereka adalah tubuh sosial yang bergerak dalam diam. Tak ada sirene, tak ada pengumuman resmi, tapi mereka adalah jantung yang berdetak, menghidupkan sebuah tradisi.

Di lapau, suara kopi yang dituangkan bertaut dengan gelak tawa lelaki. Laki-laki tua berbicara tentang hujan yang enggan turun ke sawah, tentang politik yang selalu basah, tentang apa saja yang tak ada habisnya. Anak-anak muda, dengan suara yang lebih nyaring, bicara tentang dunia yang jauh: perantaun, mimpi-mimpi yang singgah dan pergi, dan mungkin juga cinta yang baru singgah. Lapau adalah panggung mereka, tempat berguru tanpa buku, tempat mendengar tanpa wajib percaya.

Sementara itu, di tapian — di bawah teduh bayang pohon — perempuan dan ibu-ibu menciptakan dunia lain. Suara kain dicelupkan, air yang pecah, tawa yang kecil tapi dalam. Mereka berbicara tentang anak yang mulai besar, suami yang mulai lupa, atau tentang masakan yang harus lebih pedas. Di sana, air bukan sekadar air; ia adalah cermin. Perempuan Minang melihat dunia mereka — dan diri mereka sendiri — di permukaan yang mengalir itu.

Namun, surau adalah rumah yang lain. Di sini, laki-laki dan perempuan datang, kadang bersama, kadang bergantian. Surau bukan hanya untuk sujud, bukan hanya untuk mengaji. Ia adalah ruang, di mana segala sesuatu bisa dibicarakan — dan segalanya juga bisa disembunyikan. Di sinilah batas antara lapau dan tapian luluh. Apa yang terdengar di tapian, kadang sampai ke surau. Apa yang dibahas di lapau, kadang menemukan akhir di surau. Tapi surau juga punya rahasia sendiri: ia menampung yang tak diucapkan di tempat lain.

Tiga tempat itu bukan hanya tempat. Mereka adalah pola, mereka adalah ritme. Tapi ritme itu mulai berubah. Lapau kini sering kosong; anak-anak muda lebih sibuk dengan telepon genggam. Tapian, dalam banyak tempat, kehilangan airnya — mungkin karena sungai telah menjadi sepi, atau mungkin karena perempuan Minang tak lagi melihat cermin di sana. Dan surau, surau pun kini seperti menggigil. Suara azan tetap terdengar, tapi suara diskusi semakin jarang.

Apakah ini akhir sebuah tradisi? Atau hanya perubahan sementara? Seperti air di tapian, tradisi itu mungkin mengalir, tapi ke mana? Kita tak tahu.

Gusfa Yanti Kabid di Dinas Pariwisata Pemkab Tanah Datar mengatakan, miniatur perkampungan lama minang itu coba di hidupkan kemabali di Istana Basa Pagaruyung. Pada bagian belakang istana, kita bisa menjumpai pincuran. Juga ada medan nan bapaneh, balai adat Koto Piliang dan bodi Chaniago. Serta tenan-tenan pedagang yang menjual berbagai hal, mulai dari kerajinan tangga hingga camilan untuk turis bawa pulang. Tak lupa surau.

Minangkabau adalah sebuah cerita yang tak pernah selesai. Lapau, tapian, dan surau adalah bab-babnya. Tapi mungkin, seperti puisi yang kehilangan satu bait, cerita itu tetap bisa indah. Atau, seperti puisi itu sendiri, Minangkabau selalu mencari bentuk baru. Seperti apa yang dilakukan oleh Pemkab Tanah Datar, "Satu Event Satu Nagari.

Merajut Masa Depan dari Benang Masa Lalu

Festival Pesona Minangkabau adalah sebuah panggung, tetapi juga cermin. Ia memantulkan kebanggaan sekaligus kekhawatiran, keberhasilan sekaligus kekurangan. Di atas panggung, kita melihat tari yang indah, kuliner yang lezat, dan kerajinan yang memukau. Tetapi di balik panggung, kita juga melihat perjuangan yang tidak kalah besar.

Minangkabau adalah sebuah cerita, dan FPM adalah salah satu babaknya. Tetapi cerita ini tidak akan selesai di sini. Ia harus terus ditulis, dengan tinta yang berasal dari tradisi dan kertas yang terbuat dari modernitas. Karena budaya bukan hanya tentang masa lalu; ia juga tentang bagaimana kita menenun masa depan.

Di ujung festival, saat tenda-tenda diturunkan dan pengunjung beranjak pulang, Istano Basa Pagaruyung kembali menjadi saksi bisu. Tetapi ia tidak sendiri. Di setiap langkah kaki yang meninggalkan halaman itu, ada benih semangat yang tertanam. Semangat untuk menjaga, merawat, dan menghidupkan kembali adat Minangkabau.

Apakah FPM akan menjadi katalis perubahan, atau hanya parade tahunan belaka? Jawabannya ada pada setiap nagari, setiap sanggar, dan setiap individu yang percaya bahwa tradisi adalah akar, dan tanpa akar, pohon kehidupan akan tumbang. (*/)

Tag:

Baca Juga

Kuasa Hukum pasangan calon (paslon) bupati dan wakil bupati Pasaman nomor urut 02, Mara Ondak dan Desrizal menilai kemenangan pasangan
Sidang Sengketa Pilkada Pasaman di MK, Kuasa Hukum Paslon 02: Wakil Bupati Terpilih Tak Sah
Istilah social butterfly merupakan ungkapan populer yang merujuk pada kemampuan seseorang dalam bersosialisasi secara efektif. Istilah ini
Social Butterfly: Pentingnya Kecerdasan Sosial dalam Kehidupan dan Perkembangannya Sejak Usia Dini
Seorang pengendara di Pasaman Barat, membakar sepeda motornya karena emosi dan tidak mau ditilang polisi pada Kamis (9/1/2025) sore.
Panik Diberhentikan, Pengendara di Pasbar Bakar Motornya di Depan Polisi
Kuasa Hukum Afif Maulana, Alfi Sukri mengatakan, Komisi Informasi (KI) Sumbar mengabulkan sebagian permohonan LBH Padang dalam meminta
Kuasa Hukum: KI Sumbar Kabulkan Permohonan LBH Padang Soal Hasil Autopsi Afif Maulana
Walhi Sumbar menyebut gubernur Sumbar sudah memberikan dukungan terhadap perusahaan untuk mengembangkan PLTS Singkarak. Dukungan
Kata Walhi Sumbar Soal Rencana Pembangunan PLTS di Danau Singkarak
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, Martin Kustati menyerahkan Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) Tahun Anggaran 2025
Rektor UIN Imam Bonjol Padang Serahkan Petunjuk Operasional Kegiatan 2025