Langgam.id - Dua puluh dua nagari/desa dari empat kabupaten/kota di Sumatera Barat, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Solok, dan Kota Sawahlunto akan menyelenggarakan “alek nagari”.
Rangkaian kegiatan berbasis objek pemajuan kebudayaan mulai dari tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, hingga olahraga tradisional ini diselenggarakan oleh Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan (PPK) Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek pada tahun 2024 melalui program kegiatan Penguatan Ekosistem Kebudayaan di Desa-desa Kawasan Warisan Dunia sebagai bentuk rencana aksi tindak lanjut penetapan Situs-situs Warisan Budaya Dunia.
Kegiatan ini dilakukan di lima kawasan warisan dunia, yaitu Kabupaten/Kota Kawasan Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS), Sumatera Barat; Borobudur, Magelang, Jawa Tengah; Prambanan, Klaten, Jawa Tengah-DIY; Sangiran, Sragen-Karanganyar, Jawa Tengah; dan Subak, Bali.
Albert Rahman Putra, salah seorang fasilitator program ini, mengatakan bahwa untuk Sumatera Barat, kegiatan ini akan dilaksanakan di 5 nagari di Kabupaten Solok (Kacang, Tikalak, Singkarak, Sumani, Tanjung Bingkuang); 6 desa di Kota Sawahlunto (Silungkang Tigo, Muaro Kalaban, Rantih, Salak, Sikalang, dan Silungkang Oso); 5 nagari di Kabupaten Tanah Datar (Simawang, Tanjuang Barulak, Pitalah, Bungo Tanjuang, Tigo Koto); dan 6 nagari di Kabupaten Padang Pariaman (Kayu Tanam, Sicincin, Lubuk Pandan, Sintuk, Lubuk Alung).
“Dalam konteks WTBOS ini, selain saya, juga ada Mahatma Muhammad yang berlaku sebagai fasilitator. Sebagai efisiensi pelaksanaan di Sumatera Barat, kami membagi wilayah kerja. Dalam hal ini saya berfokus melakukan pendampingan di Kabupaten Solok dan Kota Sawahlunto, dan Mahatma di Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Tanah Datar. Secara tema dan isu, saya dan Mahatma pertemuan dan diskusi dilakukan untuk membingkai kesinambungan tema,” tutur Albert.
Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan (PPK), Irini Dewi Wanti, menjelaskan bahwa kegiatan ini membuka kemungkinan optimalisasi potensi wilayah secara riil, kontekstual, dan visioner, dengan tetap berdasar pada logika reaktualisasi kesadaran masyarakat mengenai nilai warisan budaya dunia yang ada di sekitar mereka.
Hal ini diharapkan dapat membuka perspektif dan kesadaran akan sebuah gerakan bersama berbasis nilai warisan budaya dunia yang menyatukan, menguatkan, dan menyejahterakan semua kepentingan sebagai sebuah ekosistem.
Rangkaian Kegiatan
Kegiatan Penguatan Ekosistem Kebudayaan di Desa-desa Kawasan Warisan Dunia ini akan dibuka oleh Nagari Kayutanam dengan Atraksi Budaya Katupek Dendeng Rabu dan Nasi Dagang pada 6-7 Desember 2024 di halaman Kantor Camat 2X11 Kayutanam. Olimsyaf Putra Asmara, Daya Desa Nagari Kayutanam, menjelaskan bahwa Atraksi Budaya Katupek Dendeng Rabu dan Nasi Dagang adalah serangkaian kegiatan yang bertujuan menghidupkan kembali kekayaan budaya kuliner Kayutanam, melalui atraksi demo masak, lokakarya, sesi makan bersama, dan pameran foto.
“Makanan khas Kayutanam, seperti Katupek Dendeng Rabu dan Nasi Dagang, lahir dari pengaruh Belanda yang membuka jalur kereta api tambang batubara Ombilin Sawahlunto hingga Teluk Bayur, serta dari tantangan masa paceklik dan inflasi pada waktu itu. Situasi tersebut memicu kreativitas masyarakat Kayutanam untuk menciptakan makanan yang tidak hanya memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat, terutama dari kalangan ekonomi bawah. Pada masanya, makanan khas ini banyak dijajakan di sekitar stasiun Kayutanam, yang kala itu berfungsi sebagai pusat aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat,” sambung Olim.
Pada hari yang sama, 7 Desember 2024, di Nagari Sintuk juga berlangsung Festival Seni Budaya Simarantang dan Sintuk Heritage di Panggung Budaya Nagari Sintuk. Rio Tampati Putra, Daya Desa Nagari Sintuk mengatakan, “Nagari Sintuak, Kabupaten Padang Pariaman, adalah sebuah nagari yang kaya sejarah yang memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan bangsa.
Melalui Stasiun Kereta Api Sintuak, nagari ini menjadi pusat kegiatan ekonomi dan militer pada masa kolonial. Warisan sejarah ini terus dilestarikan melalui berbagai kegiatan masyarakat.”
Pada tanggal 7-8 Desember 2024, di Nagari Sikalang, akan diselenggarakan Pementasan dan Diskusi Budaya Tonel Musikal. Fadhli Hamdi, Daya Desa Sikalang, menjelaskan, Desa Sikalang merupakan desa yang berkembang sejak masa kolonial Belanda membuka perusahaan tambang batu bara.
Peristiwa itu juga membuka pertemuan dan akulturasi budaya yang dibawa oleh para pekerja tambang. Salah satu produk akulturasi tersebut adalah bahasa, yang kini dikenal oleh warga sebagai bahasa Slunto, atau beberapa akademisi menyebutnya dengan Bahasa Tangsi.
Menyoroti akulturasi tersebut, Daya Desa mengembangkannya melalui pertunjukan teater rakyat yang disebut teater Tonel. Teater ini menghadirkan sejumlah representasi dan interpretasi dari proses pertukaran budaya tersebut, baik itu dalam gestur, lisan, ekspresi, dan sastra. Selain pertunjukan teater tersebut, Daya Desa juga mengusung kegiatan diskusi budaya sebagai upaya meliterasi proses akulturasi tersebut kepada publik yang lebih luas.
Sementara itu, di Nagari Lubuk Alung, pada 8 Desember 2024 telah disusun kegiatan yang bertajuk Festival Seni Budaya Lubuak Aluang. Nursal, Daya Desa Lubuk Alung menjelaskan bahwa Festival Seni Budaya Lubuak Aluang diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkenalkan dan mempromosikan budaya serta kuliner khas Nagari Lubuak Aluang kepada masyarakat luas, sambil melibatkan berbagai seni, kuliner, dan sejarah lokal yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas daerah ini.
Festival ini terdiri dari sejumlah kegiatan utama yang saling terkait, seperti Manokok Jariang Massal, yang bertujuan untuk memperkenalkan karupuak jariang (kerupuk jengkol) sebagai kuliner khas yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan dipromosikan lebih luas, serta sebagai simbol pemberdayaan ekonomi lokal melalui pengrajin dan pelaku UMKM di Nagari Lubuk Alung.
Selain itu, Pentas Seni Budaya Anak Nagari akan menampilkan berbagai pertunjukan seni; seni tari, seni bela diri, dan Tambua Tasa, yang menggambarkan kreativitas dan semangat seni masyarakat setempat yang telah berkembang secara turun-temurun.
Di Nagari Tanjung Bingkung, pada 9 Desember 2024, akan diadakan Festival Budaya Manongkang Tanjung Bingkung. Amanda, Daya Desa Tanjung Bingkung menuturkan, Nagari Tanjung Bingkuang adalah salah satu wilayah pertanian yang cukup subur di Solok. Kesadaran ini menarik perhatian Daya Desa untuk memonumenkan hal tersebut dalam bentuk sebuah karya tari kreasi.
Tari ini dikerjakan secara kolektif bersama kelompok ibu-ibu petani dan remaja. Berupaya menghadirkan perayaan dari proses pertanian dan gestur-gestur yang khas dari pertanian sawah. Kegiatan ini juga berkolaborasi dengan Pemerintahan Nagari Tanjung Bingkuang untuk turut menghadirkan kekayaan kuliner yang berangkat dari kekayaan pertanian lokal.
Pada hari yang sama, di Nagari Lubuk Pandan, akan dilangsungkan Festival Budaya Nagari Lubuk Pandan. Putri Rahmadani, Daya Desa Lubuk Pandan, menjelaskan bahwa festival ini akan menampilkan berbagai kegiatan budaya yang sarat akan nilai-nilai tradisional masyarakat Minangkabau, di antaranya adalah Lomba Mamaga Carano, yang menampilkan tradisi peminangan dalam adat Minangkabau, di mana carano—sebuah alat berbentuk dulang berkaki dari logam kuningan—digunakan sebagai simbol penghormatan dan kebijaksanaan.
Pada 10 Desember 2024, Merajoet Majas Budaya dari Dayungan Sampan: Presentasi Publik Nelayan/Perikanan di Nagari Tikalak, akan diselenggarakan di Nagari Tikalak. Rozi Erdus, Daya Desa Tikalak, menjelaskan bahwa kegiatan Merajoet Majas dari Dayungan Sampan, yang merupakan bagian dari program penguatan ekosistem kebudayaan desa-desa kawasan Warisan Dunia WTBOS, bertujuan untuk melestarikan warisan budaya Nagari Tikalak, Kabupaten Solok.
Melalui presentasi publik, pameran arsip warga, dan diskusi budaya, kegiatan ini merayakan teknologi dan pengetahuan tradisional nelayan Danau Singkarak seperti alat tangkap jalo, jarek, dan tangguak. Manfaat utamanya meliputi pelestarian budaya, penguatan identitas lokal, dan pengembangan ekosistem budaya yang berkelanjutan. Diskusi interaktif melibatkan berbagai pihak, termasuk seniman, akademisi, dan pemerintah, untuk mengidentifikasi peran dan kolaborasi dalam pelestarian budaya.
Tujuan utamanya adalah membangun kesadaran akan pentingnya warisan budaya tak benda, mendorong regenerasi pengetahuan, dan menjadikan budaya lokal sebagai daya ungkit ekonomi masyarakat Nagari Tikalak.
Sementara itu, di Nagari Sicincin, pada hari yang sama berlangsung Pameran Budaya Surau Atok Ijuak. Ezha Rahmadani, Daya Desa Sicincin menjelaskan bahwa festival Budaya Surau Atok Ijuak adalah sebuah acara yang mengangkat tema sosial media dan budaya, yang merupakan kerja kolaboratif antara elemen masyarakat Desa Sicincin, khususnya pelaku seni dan generasi milenial.
Festival ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan memperkenalkan berbagai potensi kebudayaan di desa Sicincin, dengan fokus pada keunikan Surau Atok Ijuak yang memiliki sejarah panjang dan nilai budaya yang tinggi.
Surau Atok Ijuak, yang dikenal dengan struktur bangunannya yang terbuat dari kayu pilihan dan atap ijuk murni tanpa menggunakan paku, menjadi objek utama dalam berbagai kegiatan festival. Salah satu kegiatan unggulan adalah Lomba Vlog Surau Atok Ijuak, yang melibatkan para influencer dan pengguna media sosial untuk membuat video kreatif yang memperkenalkan cagar budaya tersebut, dengan tujuan meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap warisan budaya lokal.
Selain itu, terdapat Lomba Pasambahan yang diadakan di dalam surau, di mana peserta saling berbalas pantun sebagai bentuk penghormatan dalam tradisi Minangkabau. Festival ini juga mengadakan Lomba Merangkai Siriah Carano, yang diikuti oleh ibu-ibu PKK dan generasi muda, untuk melestarikan tradisi menyambut tamu kehormatan dengan siriah carano sebagai simbol kearifan dan hubungan sosial yang baik. Dengan adanya festival ini, diharapkan kebudayaan lokal seperti Surau Atok Ijuak, Pasambahan, dan Siriah Carano dapat terus dilestarikan dan dikenal oleh generasi muda serta masyarakat luas.
Di hari yang sama, Festival Kurenah Bungo Tanjuang, akan diselenggarakan di Nagari Bungo Tanjuang. Dianni Oktaria Putri, Daya Desa Bungo Tanjung mengatakan, Festival Kurenah Bungo Tanjuang merupakan perayaan budaya yang menghidupkan kembali kekayaan sejarah dan tradisi masyarakat Nagari Bungo Tanjuang melalui konsep “Kurenah”, yaitu aktivitas keseharian masyarakat yang mencerminkan nilai estetika dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pola gerakan sehari-hari, cara bersosialisasi, hingga kuliner khas.
Berpusat di Pasar Balai Akad, tempat bersejarah yang dulu menjadi pusat pertukaran sosial dan budaya dengan adanya jalur kereta api sebagai simbol keterbukaan masyarakat, festival ini bertujuan untuk membangkitkan kekayaan masa lalu yang sarat nilai.
Salah satu tradisi yang diangkat adalah kuliner “Dendeang Ragi”, makanan khas berbahan kelapa parut dan daging yang dulunya selalu hadir dalam acara-acara adat seperti Batagak Pangulu atau Baralek Gadang, tetapi kini hampir punah.
Festival ini menghadirkan berbagai kegiatan interaktif dan edukatif, seperti workshop memasak Dendeang Ragi untuk mengedukasi masyarakat dan wisatawan tentang proses pembuatan dan nilai historis kuliner ini, serta kegiatan melukis di sepanjang jalur kereta api dengan tema keseharian masa lalu sebagai ruang kreatif bagi siswa, remaja, dan masyarakat, di mana hasil karya mereka akan dipamerkan selama acara berlangsung.
Selain itu, juga ada pentas seni budaya yang menampilkan beragam kesenian lokal seperti Tari Pasambahan, Tari Piriang, Tari Kreasi, Gandang Tambua, dan seni tutur narasi Dendeang Ragi, yang bersama-sama merepresentasikan warisan budaya Bungo Tanjuang.
Melalui keseluruhan rangkaian ini, festival ini tidak hanya menjadi momen pelestarian budaya lokal, tetapi juga bertujuan memperkuat identitas masyarakat, mengedukasi generasi muda, dan memperkenalkan potensi wisata budaya Nagari Bungo Tanjuang kepada khalayak luas, sehingga mendorong pelestarian warisan tradisi sekaligus membuka peluang ekonomi berbasis pariwisata.
Pada 11 Desember 2024, di Nagari Singkarak, digelar Tari Alek Nagari: Bararak Bako. Willy Fernanda, Daya Desa Singkarak, menjelaskan bahwa inisiatif ini muncul dari kesepakatan para pemangku kepentingan nagari, seperti Bundo Kanduang, kelompok pemuda, sanggar, dan pemerintahan nagari. Secara spesifik dalam konteks program aktivasi Daya Desa ini, partisipan berfokus pada pengembangan tari inovasi yang berangkat dari tradisi tersebut.
Tari tersebut dikembangkan bersama kelompok remaja lokal, sebagai kepemilikan bersama. Selain penciptaan tari, Tim Daya Desa juga menghadirkan atraksi arak-arakan Bararak Bako dan pameran literasi tradisi tersebut.
Hari selanjutnya, pada 12 Desember 2024, di Desa Muaro Kalaban, akan diadakan Festival Wirid Pidato Adat. Festival Wirid Pidato Adat adalah sebuah acara budaya yang diadakan di Desa Muaro Kalaban, Kecamatan Silungkang, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, dengan tujuan utama melestarikan dan menyebarluaskan adat Minangkabau, khususnya dalam konteks prosesi upacara pernikahan adat.
Bayu Nikmatullah, Daya Desa Muaro Kalaban, mengatakan bahwa festival ini menampilkan wirid pidato adat, yang merupakan bentuk komunikasi tradisional yang menggabungkan adat dan syariat Islam, mencerminkan pepatah Minangkabau "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah." Acara ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana edukasi dan pelestarian budaya, tetapi juga sebagai upaya untuk memperkuat identitas budaya masyarakat setempat melalui pemahaman peristiwa dan tindakan komunikatif dalam wirid pidato adat.
Sasaran kegiatan ini adalah seluruh anak-kemenakan di desa tersebut, dengan harapan dapat meningkatkan nilai-nilai adat budaya dan menjaga tradisi lokal. Kegiatan ini melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah desa, lembaga adat, dan tokoh masyarakat, serta diharapkan dapat menjadi ajang untuk memperkuat ikatan sosial dan budaya di Desa Muaro Kalaban.
Festival ini akan dilaksanakan di Stasiun Kereta Api Desa Muaro Kalaban, dan diharapkan dapat menjadi sarana untuk memperkenalkan kekayaan budaya Minangkabau kepada generasi muda dan masyarakat luas.
Bergeser ke Silungkang Tigo, pada hari yang sama sampai dengan keesokan harinya, akan diselenggarakan Pameran Literasi Songket Silungkang “Tonun”. Rafika Yonsi, Daya Desa Silungkang Tigo, mengatakan bahwa Desa ini sudah dikenal sebagai kampung penghasil kerajinan tenun songket terbaik di Sumatera Barat.
Berkaitan dengan itu, partisipan Daya Desa tertarik untuk memperkuat narasi tersebut dengan menghadirkan kegiatan pameran karya-karya songket ternama (legendaris), dan menghadirkan catatan dan kisah-kisah dari motif-motif legendaris tersebut, sebagai upaya mendistribusikan literasi mengenai tradisi tenun songket kepada generasi berikutnya dan publik lebih luas.
Sementara Pameran Literasi Songket Silungkang “Tonun” berlangsung, pada 13 Desember 2024, diselenggarakan Festival Bakuriang di Desa Kacang. M. Hafidz Dinu Aulia, Daya Desa Kacang, menjelaskan bahwa Berdasarkan hasil temu-kenali dan berembuk dengan para pemangku kepentingan di Desa Kacang, Tim Daya Desa mengusung Tari Piriang Tuo atau Tari Piriang Lamo sebagai objek utama untuk dikembangkan. Dalam hal ini, Daya Desa menyusun kegiatan aktivasi berupa workshop tari tersebut terhadap remaja serta pengembangan inovatif tarian tersebut bersama kelompok atau sanggar Nagari Kacang.
Pada hari ini juga diselenggarakan Dialog dan Pameran Manuskrip Tuo Surau Parak Pisang di Sumani. Muhammad Triyadi, Daya Desa Sumani menuturkan bahwa manuskrip ini menandai salah satu perkembangan tradisi literasi masyarakat Sumani, yang sebelumnya masyarakat Minangkabau dikenal kuat dalam tradisi lisan, dan mengembangkan tradisi tulis yang berangkat dari tuturan dan penyesuaian aksara Arab dalam bahasa Melayu.
Tim Daya Desa dan pemangku kepentingan lokal berupaya memperkenalkan kembali isi dan nilai-nilai dari manuskrip tersebut kepada publik Sumani melalui kegiatan digitalisasi, pameran, dan seminar yang menghadirkan peneliti dan tokoh masyarakat. Kegiatan ini diharapkan dapat memantik pengkajian dan kontribusi narasi dari warga mengenai nilai-nilai yang terkandung pada manuskrip tersebut.
Kegiatan lainnya yang diselenggarakan adalah Festival Budaya Adat Salingka Nagari di Nagari Tanjung Barulak. Marsal Irfan, Daya Desa Tanjung Barulak, Festival Budaya Adat Salingka Nagari bertujuan untuk melestarikan dan memperkenalkan kekayaan tradisi adat istiadat yang dimiliki oleh Nagari Tanjung Barulak, khususnya Adat Salingka Nagari yang telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat setempat.
Kegiatan ini diadakan untuk memberikan ruang bagi masyarakat, terutama generasi muda, dalam memahami, menghargai, dan melestarikan warisan budaya mereka, dengan cara mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi seperti adat kasua papan yang masih terus dilestarikan dalam setiap acara perkawinan.
Selain itu, festival ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian situs-situs sejarah yang ada di nagari, seperti Stasiun Kereta Api Sumpur dan Tugu Perjuangan yang mengingatkan kita pada peristiwa Perang Belasting tahun 1908, sebagai bagian dari perjuangan melawan kolonialisme Belanda.
Dengan adanya festival ini, diharapkan dapat memperkuat identitas budaya Nagari Tanjung Barulak, memperkenalkan tradisi kepada khalayak yang lebih luas, serta mendorong perkembangan pariwisata berbasis budaya yang dapat berkontribusi pada peningkatan ekonomi lokal.
Kegiatan ini juga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berinteraksi dan berbagi pengetahuan melalui rangkaian acara seperti arak-arakan bajamba, pameran kuliner khas, dan pertunjukan seni budaya, yang akan memperkaya pengalaman budaya bagi para peserta dan pengunjung festival.
Selain itu, kegiatan terakhir yang juga diselenggarakan pada hari ini berlangsung di Desa Rantih dengan tajuk kegiatan Mangodou untuk Keberlanjutan Budaya dan Lingkungan. Ikrar Mustakim, Daya Desa Rantih, mengatakan bahwa mangodou adalah tradisi panen ikan komunal bersama-sama warga.
Tradisi ini juga dikenal sebagai tradisi ikan larangan. Pada tradisi ini, warga memanen ikan sungai secara bersama-sama menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, yakni menggunakan anyaman daun aren dan dedaunan lainnya. Tradisi ini berupaya mengingatkan warga akan rasa syukur terhadap hasil alam dan menjaga ekosistem lingkungan sungai dengan menggunakan bahan-bahan yang ramah.
Tradisi ini sempat terhenti sejak wabah Covid pada tahun 2019 lalu. Pada kegiatan aktivasi ini, Daya Desa mengajak warga untuk kembali menyelenggarakan tradisi tersebut, yang juga dikembangkan dengan pameran yang menghadirkan literasi terkait tradisi ini.
Pada 14 Desember 2024, kegiatan selanjutnya berlangsung di Nagari Sumpur, dengan tajuk kegiatan Alek Bajaweik, Sambah Balaku. Zuherman, Daya Desa Sumpur, mengatakan bahwa Alek Bajaweik, Sambah Balaku adalah sebuah kegiatan kebudayaan yang bertujuan untuk melestarikan tradisi lisan Minangkabau, khususnya pidato adat pasambahan, dan mengeksplorasi berbagai nilai budaya lokal di Nagari Sumpur, sebuah kawasan warisan dunia di Sumatera Barat.
Program ini mencakup pelatihan pidato adat, penulisan artikel budaya, dan diskusi budaya yang melibatkan tokoh adat, masyarakat, serta generasi muda. Selain sebagai upaya regenerasi dan pelestarian tradisi, kegiatan ini bertujuan untuk mendokumentasikan serta mensosialisasikan kekayaan budaya Sumpur demi meningkatkan kesadaran kolektif masyarakat akan pentingnya menjaga adat dan ekosistem kebudayaan.
Dampaknya diharapkan dapat membangun rasa bangga terhadap budaya lokal, menciptakan sinergi antarkelompok, dan mengembangkan potensi ekonomi berbasis wisata budaya, selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Di hari yang sama, Jelajah Budaya Nagari Pitalah akan diselenggarakan di Nagari Pitalah. Riki Oktavian, Daya Desa Pitalah, mengatakan bahwa jelajah budaya ini merupakan inisiatif untuk mengangkat dan melestarikan kebudayaan lokal, khususnya tradisi Galombang 12, yang telah diakui sebagai warisan budaya tak berbenda oleh Dinas Kebudayaan Tanah Datar.
Kegiatan ini bertujuan untuk menggali lebih dalam makna dan sejarah di balik setiap gerakan dalam Galombang 12, serta menjadikannya sebagai bahan pembelajaran yang dapat diwariskan kepada generasi mendatang.
Salah satu puncak kegiatan ini adalah pembuatan film dokumenter yang akan mendokumentasikan perjalanan dan gerakan dalam Galombang 12 yang diambil sepanjang jalur kereta api yang membentang di Nagari Pitalah, melibatkan masyarakat dari Nagari Pitalah dan Nagari Bungo Tanjung yang memiliki kesamaan dalam budaya, sosial, keagamaan, dan ritus.
Dengan adanya dokumentasi ini, diharapkan dapat memperkenalkan serta melestarikan Galombang 12 sebagai bagian dari identitas budaya Minangkabau. Kegiatan ini juga mencakup lokakarya yang bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang sejarah Galombang 12, serta mengklarifikasi berbagai kesalahpahaman yang ada di masyarakat mengenai tradisi tersebut.
Sebagai penutup, akan diadakan pemutaran film dokumenter yang diharapkan dapat menjadi sarana edukasi bagi masyarakat luas, agar nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang terkandung dalam Galombang 12 dapat dipahami dengan lebih baik dan terus dilestarikan di masa yang akan datang.
Selanjutnya, di hari ini, bertempat di Silungkang Oso, diselenggarakan Workshop Pengenalan Kesenian Talempong Botuang. Gebi Tus Febrianti, Daya Desa Silungkang Oso, menjelaskan bahwa Workshop Pengenalan Talempong Botuang yang mengusung tema “Melestarikan Budaya Lokal Silungkang Oso”, ini bertujuan untuk memperkenalkan, mengembangkan, dan menjaga warisan budaya ini agar tetap hidup di tengah masyarakat, terutama di kalangan generasi muda.
Melalui kegiatan ini, diharapkan keterampilan memainkan Talempong Botuang, yang telah resmi dinobatkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTBI) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia pada 31 Agustus 2023 ini, dapat dikuasai oleh pemuda dan pemudi Desa Silungkang Oso, sehingga mereka mampu membawa warisan budaya ini hingga ke kancah internasional sebagai duta budaya yang memperkenalkan kearifan lokal ke dunia global.
Pada hari ini juga, akan diselenggarakan Pameran Budaya Balango Galogandang di Nagari Tigo Koto. Novrizal, Daya Desa Tigo Koto mengatakan bahwa Pameran Budaya Balango Galogandang diadakan untuk melestarikan serta mengembangkan seni kerajinan gerabah yang sudah menjadi bagian dari tradisi budaya masyarakat Jorong Galogandang.
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk kerajinan gerabah, memperkenalkan desain yang lebih kreatif dan beragam, serta membuka peluang pasar yang lebih luas melalui promosi dan pameran produk.
Selain itu, pameran budaya ini juga bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat dengan menyediakan pelatihan dan pendampingan dalam hal peningkatan keterampilan, penggunaan teknologi, dan pemahaman terhadap pemasaran produk. Melalui pameran budaya yang dilaksanakan pada 14-15 Desember 2024 di Halaman Balai Adat Jorong Galogandang, pameran budaya ini diharapkan dapat menarik perhatian pengunjung dan membantu pengrajin dalam mengembangkan usaha mereka.
Kegiatan ini juga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya pelestarian warisan budaya, serta memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal melalui pengembangan industri kreatif berbasis kerajinan gerabah.
Pada hari terakhir, 15 Desember 2024, kegiatan akan diselenggarakan di dua tempat. Pertama di Nagari Simawang, dengan kegiatan bertajuk Alek Pongek Simawang. Desi Nurfatma Sari, Daya Desa Simawang, mengatakan bahwa Alek Pongek Simawang adalah kegiatan kolaboratif yang melibatkan berbagai elemen masyarakat di Nagari Simawang, kawasan yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
Kegiatan ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan mempromosikan potensi budaya, kuliner, dan pariwisata Nagari Simawang melalui berbagai acara. Dikemas dalam format yang menggabungkan tradisi dan inovasi, Alek Pongek Simawang disajikan dalam empat kegiatan utama: Demo Masak Pongek Simawang, yang menampilkan demo masak keunikan kuliner lokal; Pentas Seni Budaya, yang menghadirkan berbagai pertunjukan seni khas nagari; Galeri Foto Simawang, yang memamerkan keindahan dan sejarah nagari melalui foto; serta Paket Wisata Budaya, yang memberikan pengalaman langsung kepada pengunjung untuk menjelajahi kekayaan budaya dan tradisi Simawang.
Melalui kegiatan ini, diharapkan warisan Nagari Simawang dapat terus dilestarikan sekaligus dikenal lebih luas oleh masyarakat lokal dan global.
Dan terakhir, Desa Salak akan menutup rangkaian kegiatan Aktivasi Penguatan Ekosistem Desa di Kawasan Warisan Dunia ini dengan Festival Budaya Salak. Maya Ermina Merinda, Daya Desa Salak, mengatakan bahwa di Desa Salak, kita bisa melihat metode “reenactment” (reka ulang) sebagai alternatif memaknai narasi masa lampau dari perspektif warga.
Praktik reka-ulang ini kita maknai sebagai upaya memproduksi narasi yang berangkat dari ingatan kolektif, yang mereka inginkan. Aksi ini dapat kita lihat sebagai upaya mengkritisi dan perebutan narasi. Secara spesifik Desa Salak berfokus menyoroti peristiwa bazar yang menghadirkan ragam kuliner warga “tambang batubara Ombilin” pada masa kolonial, di kawasan PLTU Salak, dengan kostum yang diinterpretasikan dari memori warga di hari ini.
Mahatma Muhammad, salah seorang fasilitator kegiatan ini, menjelaskan bahwa kawasan warisan dunia telah mengalami kerusakan ekosistem budaya akibat pertambahan penduduk, alih fungsi lahan, dan pengembangan destinasi wisata. Hal ini menunjukkan kurangnya etos kita sebagai bangsa dalam menjaga warisan budaya nenek moyang.
Kerusakan ini berpotensi membahayakan keberadaan warisan dunia. Tanpa sifat dan sikap positif terhadap konservasi sejarah kebudayaan, dengan menghargai dan memuliakan kebudayaan berdasarkan nilai-nilai historis, etika komunitas, serta logika budaya keberlanjutan, perayaan, pemaknaan, dan pewarisan kebudayaan kita menjadi tidak berarti.
“Di satu sisi, pewarisan nilai dan budaya memang kompleks. Namun, dalam kompleksitas itu, ada hal-hal mendasar yang bisa kita lakukan, yaitu menjaga warisan dari masa lalu dan mengartikannya sesuai dengan konteks zaman sekarang. Penggalian, pengolahan, dan pemanfaatan warisan ini membutuhkan perhatian dan kesungguhan yang optimal,” ujar Mahatma.
Ia kemudian menjelaskan, “Nagari-nagari dan desa-desa di Kawasan WTBOS adalah ruang yang penuh kontradiksi tetapi juga penuh potensi. Di satu sisi, ia mengingatkan kita pada eksploitasi yang pernah terjadi; di sisi lain, ia menawarkan peluang untuk menciptakan masa depan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Penguatan ekosistem kebudayaan desa di kawasan ini adalah upaya untuk menjadikan warisan sebagai sumber kehidupan, bukan sekadar monumen masa lalu.
Dengan memanfaatkan narasi lokal, tradisi yang dinamis, dan teknologi yang bijaksana, daya desa, daya warga dan masyarakat di nagari- nagari serta desa-desa di kawasan WTBOS dapat menciptakan model pembangunan berbasis komunitas yang menginspirasi dunia.
Masyarakat desa dan nagari di kawasan ini bukan hanya menjadi penonton dalam narasi besar penetapan Warisan Dunia, tetapi juga penggerak utama yang memberi makna baru pada status ini. Melalui proses ini, mereka tidak hanya menjaga warisan leluhur tetapi juga menciptakan warisan baru yang relevan bagi generasi mendatang.”
“Dalam konteks global yang terus berubah, kawasan WTBOS memiliki peluang unik untuk menjadi contoh bagaimana warisan budaya dan alam dapat diperlakukan sebagai kekuatan transformasi. Desa-desa dan nagari dapat menunjukkan bahwa kekayaan budaya tidak hanya terletak pada benda mati, tetapi juga pada kehidupan yang terus berlangsung, pada hubungan yang diciptakan antara manusia, alam, dan sejarah,” tutup Mahatma.
Irini Dewi Wanti juga menambahkan, “Kebudayaan menjadi kontekstual karena dipraktikkan untuk memaknai fenomena dan peristiwa. Para pemangku kepentingan berbagi tanggung jawab dalam memastikan eksistensi warisan dunia di Indonesia melalui kebijakan dan regulasi yang dijalankan dan ditegakkan.
Masyarakat juga terlibat dalam pelestarian dengan menginisiasi agenda-agenda komunal yang kreatif dan produktif. Ini bukan sekadar konservasi atau preservasi, tetapi langkah substantif, aplikatif, dan berkelanjutan dalam pemahaman, pengkajian pemaknaan, pengelolaan, hingga perlindungan kebudayaan.” (*/Yh)