Musa, Anies dan Pengulangan Sejarah

Oleh: Muhammad Ridha

Di tahun politik seperti sekarang ini berkembang banyak opini yang menghubungkan perjuangan calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan (AB) yang berpasangan dengan calon wakil presiden Muhaimin Iskandar berdasarkan kisah lama yang ada dalam teks suci. Kelatahan untuk mencocokkan kedua kisah (lama dengan kontemporer) terlihat di berbagai platform dan kanal media sosial.

Namun kecenderungan ini dapat dimaklumi, mengingat secara ontologis kandungan Al Quran tidak melulu menyangkut akidah, syariah dan akhlak (pure religious matters), melainkan juga berisikan kisah-kisah masa lalu tentang berbagai tema dan info rupa-rupa ilmu pengetahuan.

Hanya saja upaya-upaya ke arah pengintegrasian peran antagonis Musa pada teks dengan fenomena Anies Baswedan sebagai konteks masih terkesan parsial dan tidak dideskripsikan dalam bentuk narasi yang jelas dan terstruktur, disamping orientasi kajiannya bersifat normatif-teologis. Dalam diskursus studi sejarah, kajian tentang adanya kemiripan gejala-peristiwa antara dua kejadian yang berbeda waktu lazim disebut paralelisme vertikal. Meski terdapat pengulangan, namun dari segi pelaku, tempat, dan temporalnya pasti selalu berbeda.

Jadi, pengulangan dimaksud terbatas pada tataran kondisi situasional, motif, sikap,  nilai-nilai, model kebijakan, atau tren dalam sejarah manusia. Dikatakan demikian karena sejarah itu dipandang sebagai peristiwa yang unik karena hanya terjadi satu kali (einmalig) dan tidak mungkin terulang dengan bentuk yang sama persis. Intinya, yang dapat terjadi berulang atau analog hanyalah pola sebuah peristiwa.

Uraian berikut hendak mengelaborasi seberapa jauh adanya potensi probabilitas pengulangan peristiwa yang terjadi di Mesir (Afrika Utara) 34 abad yang lalu berpeluang terjadi kembali di bumi Nusantara atau Asia Tenggara dewasa ini. Musa versus Firaun (Ramses II, Mineptah, Thutmose II ), peradaban Mesir Kuno, abad 13 SM untuk kisah lama dan Anies versus Joko Widodo, Indonesia modern, abad 21 M.

Meskipun secara umum hubungan  Musa (versus Firaun) maupun  Anies  (versus Jokowi) bersifat fluktuatif, bahkan keduanya pernah sama-sama “dibesarkan” Istana namun esai ini lebih menitikberatkan pembahasan pada fase konfliktual (beroposisi) kedua aktor antagonis ini dengan rezim penguasa yang hidup pada zamannya masing-masing.

Pembatasan ini dilakukan disamping faktor ketersediaan kolom, namun juga untuk menjawab hasrat rasa ingin tahu publik menyangkut kemiripan dan korelasi kisah lama Musa versus Fir’aun pada fase ini dengan situasi kekinian di seputar Anies vis a vis Jokowi, terutama dalam hubungan kontestasi Pilpres 14 Februari 2024 ini.

Adapun informasi pengetahuan apriori menyangkut kisah yang ada dalam Alquran terpaksa dibaca sebagai dokumen historis biasa. Dengan demikian dalam konteks penyelidikan ini maka data “empiris” menyangkut wahyu tidak untuk dipertanyakan karena posisinya sebatas dasar analogi.

Pendekatan ini terpaksa diambil disamping untuk keperluan objektivitas, juga untuk menghindari perdebatan filosofis. Dapat dikatakan pemaparan ini tidak lebih dari diskursus intelektual biasa. Setidaknya untuk menunjukkan kontribusi studi sejarah dalam upaya memahami perkembangan politik kontemporer.

Fase Beroposisi dengan Istana

Secara praksis fase beroposisi Musa dengan Fir’aun berawal dengan kedatangan pemuka kaum Bani Israel tersebut ke istana Raja Mesir kuno itu. Namun, hal tersebut tidak akan terjadi bilamana tidak ada pertemuan langsung mereka di  kawasan perbukitan di  Lembah Suci Thuwa. Juga penunjukannya sebagai nabi dan disusul perintah Tuhan kepadanya untuk menghadap Fir’aun pada rangkain kejadian sebelumnya.

Rangkaian aktifitas yang sama sepertinya juga berlaku pada diri Anies Baswedan yang tengah berseberangan dengan Presiden. Posisinya sebagai paslon yang mengusung tema perubahan tidak segera dimulai saat pertemuannya dengan Surya Paloh di NasDem Tower, Jakarta pada 2/10/2022. Namun, segera pasca pencapresannya secara formal di tempat yang sama keesokkan harinya (3/10/2022). Lalu, ditindaklanjuti oleh pendeklarasian paslon Anies-Muhaimin atau “Amin” (koalisi Nasdem, PKS, dan PKB) di Surabaya. Belakangan paslon itu didukung pula oleh Partai Ummat dan Partai Masyumi dalam Koalisi Perubahan.

Pada titik ini terdapat beberapa rangkain kejadian yang berpola sama antara keduanya. Bandingkan, misalnya ungkapan say hello pada tahap permulaan kedua peristiwa:  Tuhan kepada Musa;  Surya Paloh kepada Anies lewat telepon.

Dari segi corak pertemuannya: Musa dengan Tuhan di lembah Thuwa;, sementara Anies dengan Surya Paloh di NasDem Tower, Jakarta. Dari sisi penunjukan: Tuhan menunjuk Musa sebagai nabi, sementara pecapresan Anies oleh NasDem (Paloh). Kita bisa juga membaca isi Perintah: Musa diperintahkan Tuhan untuk menghadap Fir’aun ke istana, sementara Partai-partai dalam Koalisi Perubahan “mengusung” dan mendukung Anies menghadapi (vis a vis)  paslon yang merepresentasikan pihak Istana, di mana dalam konteks ini adalah paslon nomor urut 2, yakni Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Nama cawapres paslon dua bahkan merupakan  putra sulung Sang Presiden. Dalam konteks ini, kita agak mengesampingkan capres Ganjar Pranowo, yang tadinya ingin diduetkan dengan Prabowo sesuai skenario awal istana tapi kandas karena dihostile takeover Megawati. Walhasil, eks Gubernur Jateng ini akhirnya berpasangan dengan Mahfud MD. Ibarat pacuan kuda, terdapat tiga paslon yang berasa di dalam boxstar pada Pilpres 2024.

Kembali ke kisah lama. Pasca diperintahkan  Tuhan untuk menemui Fir’aun, sang Raja dengan misi “pembebasan” bagi kaumnya, Bani Israel, Musa tidak ujug-ujug mengiyakannya. Namun, berdoa terlebih dahulu  kepada Tuhan untuk dirinya agar dimudahkan dalam urusan  plus disediakan mitra  tandem (nabi Harun). Demikian pula dengan Anies untuk konteks “pengulangan” kisah lama tersebut. Pada acara temu kader partai Nasdem di Bung Karno (GBK), Jakarta eks. Gubernur DKI Jakarta in ipun memanjatkan doa dan meminta “diaminkan” kepada mereka yang hadir. (Meskipun pasangannya cak Imin kiranya belum ada dibenak beliau kala prosesi ibadah itu terjadi. Jangankan para analis dan pengamat).

Butir-butir permohonan Anies antara lain agar perjalanannya dimudahkan dalam mengemban amanat partai untuk misi perubahan yang diusungnya. Juga agar masyarakat Indonesia dimudahkan kehidupannya. Mulai dari keringanan ekonomi lewat penurunan harga sampai kemudahan dalam urusan perjodohan bagi yang masih jomblo. Doa sapujagat, demikian komentar para pengamat yang skeptis.

Balik ke kisah tentang Musa. Sesaat sesampai di istana raja Mesir yang absolut- otoriter segera terjadi perdebatan sengit dan saling klaim. Diawali oleh pernyataan Musa yang datang dengan Harun menyampaikan legal standing mereka sebagai urusan Tuhan dan permohonan agar kaumnya (bani Israel) dibebaskan. Fir’aun justru menyerangnya secara verbal sebagai tipe manusia yang tidak pandai berterima kasih, padahal sebelumnya pernah diasuh dan “dibesarkan” istana.

Secara implisit Fir’aun kehilangan kata, sehingga emosional dan mengalihkan pertanyaan maupun materi debat menyangkut aspek kosmologi  dan metafisis- sebelum akhirnya Musa mempermalukan Sang Raja dan pihak istana dengan tongkat saktinya yang dapat menjadi ular besar. Dan ini nyata- nyata membuat Fir’aun ketakutan, sekaligus marah. Bahkan, terdapat wacana untuk menahan Musa akibat kejadian yang telah membuat marwah Fir’aun dan pihak istana terdegradasi.

Namun, belakangan rancangan ini berubah menjadi tantangan kepada Musa untuk mengadakan perlombaan kesaktian di seputar sihir, (magis, mistis) dengan para penyihir negeri terbaik yang dikumpulkan istana raja Mesir. Sepertinya ide ini untuk membalikkan citra diri rezim yang sempat tercoreng akibat mukjizat yang dipertontonkan Musa.

Walhasil, dengan adanya ide perlombaan (kontestasi) ini maka rencana atau pun skenario awal untuk “menahan” Musa dengan sendirinya batal dieksekusi.  Ringkas cerita, enconter pertama Musa vis a vis istana pasca kepulangannya dari Madyan berujung dengan tantangan Fir’aun untuk mengadakan lomba kesaktian di seputar sihir- menyihir (magis, mistis) dengan para penyihir istana.

Anies Baswedan, untuk kontek kisah kontemporer, sepertinya juga memiliki pengalaman kehidupan yang sama. Ketika gelagatnya untuk maju mulai tampak nyata terdapat upaya rezim untuk menghambat sedari dini yakni lewat upaya mentersangkakaannya pada kasus  Formula E yang oleh publik dianggap berdimensi politik.

Termasuk lewat upaya penjambretan partai Demokrat lewat tangan Moeldoko (KSP),meskipun akhirnya kandas. Intinya, selalu terdapat hambatan bagi Anies untuk dapat berlayar. (Konon terdapat analisis yang mengaitkan pendeklarasian Anies yang tiba-tiba lewat Nasdem merupakan langkah “penyelamatan” Anies oleh Surya Paloh yang notabene merupakan orang dekat Jokowi itu sendiri).

Pasca resmi diusung koalisi Perubahan lalu dilanjutkan dengan pendaftaran ke KPU oposisinya terhadap Jokowi mendapatkan pijakan legal administratif sesuai UU Pemilu yang berlaku. Walhasil, paslon nomor urut 1 ini berkontestasi pada Pilpres Indonesia 2024 untuk menentukan suksesor Jokowi yang akan memasuki purna tugas pasca 20 Oktober tahun ini. Adapun kompetitornya disamping  paslon 03 (Ganjar- Mahfud) yang didukung koalisi PDIP dengan Hanura, PPP, Perindo) juga paslon 02 yakni Prabowo yang berpasangan dengan Gibran, Sang putra dari Jokowi sendiri.

Ada sedikit catatan di sini, bahwa tampaknya keputusan menjadikan Gibran berpasangan dengan Prabowo ini merupakan the last resort sang presiden. Hal yang mencoreng kaedah dan prinsip dasar demokrasi ini diambil karena berbagai upaya yang dikerahkan bagi upaya pelanggengan kekuasaannya selalu kandas dibendung Megawati yang lurus memegang amanat konstitusi.

Balik ke sejarah kontemporer terkait kemiripan fenomena Anies dengan nabi Musa as. Sebagaimana kisah masa lalu yang melewati sesi perdebatan menjelang perlombaan maka demikian pula  dengan yang mesti dilewati Anies menjelang hari H. Acara debat capres yang diselenggarakan KPU itu disiarkan live, sehingga siapapun dapat menontonnya secara langsung. Menarik mencermati yang terjadi pada sesi debat pertama yang diselenggarakan 12/12/2023.

Utamanya menyangkut klaim kebaikan dan jasa dirinya (Prabowo, partai Gerindra) atas Anies-Sandi dalam mendapatkan tiket saat pilkda dki jakarta tahun 2017. Dengan tidak lupa pula mengingatkan Anies akan kebaikan presiden Jokowi yang tetap melantiknya sebagai gubernur, meskipun preferensinya ke Ahok-Djarot saat pilkada DKI 2017 yang lalu.

“…..  saudara datang kerumah saya waktu itu …. kalaulah Pak Jokowi diktator tentu  tidak akan sudi melantik! Mas Anies, mas Anies…”.  Demikian pernyataan Prabowo karena selalu diserang Anies. Dan memang Anies terkesan mengambil strategi ofensif dalam acara debat lewat cenderungannya mengkritik kebijakan- kebijakan pemerintah saat ini. Sebagaimana Musa saat Unni Fir’aun, AB pun tidak menyangkal jasa baik yang diklaim PS. Namun, sebagaimana halnya dengan Musa,  Anies dapat menjawab dengan argumentasi yang cukup mengena. Ini, katanya saat debat, menyangkut peran oposisi dalam hal check & balance pada negara dalam sebuah sistem demokrasi yang sehat. Ringkas kata, performa Anies Baswedan dalam perdebatan membuat namanya makin menjulang. Ratingnya elektoralnya langsung meningkat pasca debat pertama. (Saat pengetikan naskah tulisan ini masih terdapat debat terakhir yang mesti dilakoni para paslon). Kiranya kejadian kontemporer pada Anies dalam hal beretorika ini seakan menciplak  kepiawaian tablig pada kisah historis Musa.

Lalu,  tibalah momen kritis yang ditunggu-tunggu. Pertarungan sihir-menyihir secara terbuka antara Musa dengan para penyihir istana yang disaksikan masyarakat Mesir berlangsung sesuai schedule. Ending perlombaan yang menandai “kemenangan” Musa – yang secara probabilitas sepertinya akan di-copy paste (prediksi, ekstrapolasi) paslon nomor urut 01 (Amin) pada pilpres tahun ini- dapat dilacak lewat redaksi teks dibawah.  “Dan para penyihir itu bersujud dan mengakui Tuhannya Musa…” Kejadian – tepatnya- pengakuan kalah para penyihir terbaik negri sungguh membuat Fir’aun marah dan murka.


Interpretasi

Berdasarkan deskripsi di atas dapat dikatakan kecuali aspek “perlombaan” Musa dengan para penyihir Fir’aun secara umum semua rangkaian aktifitas pimpinan kaum bani Israel lainnya sudah dicopy-paste Anies Baswedan. Ini mesti digarisbawahi karena sejarah adalah ilmu tentang waktu. Dalam sejarah berpikir kronologis merupakan salah satu aksioma. Salah satu fungsi utamanya yakni sebagai alat kontrol untuk memperingatkan adanya perbedaan tiga dimensi waktu: masa lampau masa sekarang dan yang akan datang.

Pada titik ini maka tentunya sulit untuk menampik bahwa proses pengulangan sejarah Mesir pada peradaban Kunonya tengah berlangsung di Indonesia. Apa yang pernah terjadi di bumi Mesir 34 abad yang lalu lewat drama klasik Musa versus Fir’aun kiranya menemukan momen repetisi historisnya pada personifikasi Anies Baswedan versus Jokowi dibumi Indonesia.

Dalam khazanah maupun diskursus studi sejarah pengulangan historis (paralelisme vertikal) yang selama ini ada kiranya tidak terdapat preseden pengulangan pola yang sedemikian mencolok. Biasanya kemiripan peristiwa dengan tema yang sama hanya tampak atau teridentifikasi pada dua tiga rangkaian unsur gejala saja. Misalnya pengulangan sejarah dalam lengsernya dua presiden soekarno (1966) dan soeharto (1998) dapat ditandai lewat demo mahasiswa, tuntutan penurunan harga dan - atau pengendalian inflasi.

Namun, dalam case paralelisme vertikal Musa- AB aspek pengulangannya terkonfirmasi secara “empiris “ berlangsung - nyaris- di hampir semua kejadian yang menjadi elemen pendukung struktur – narasi lama secara keseluruhan ( as a whole). Dan menariknya secara komparatif semua kemiripan gejala pada rangkaian “aktifitas” antara dua peristiwa yang berbeda itu nyaris berlangsung secara kronologis.

Kemudian sebagai tambahan kiranya perlu pula digarisbawahi, bahwasanya secara teoritis keberadaan pengulangan -dalam banyak kasus - baru dapat disimpulkan pasca kejadian berikutnya setelah semua kualifikasi empiris terpenuhi. Namun, tidak demikian halnya dalam pengulangan kisah lama  Musa pada diri AB untuk  konteks kekinian. Ia dapat diobservasi siapapun terutama pada aspek penggalan narasi di seputar “perlombaan”.

Dalam Islam adanya hukum- hukum sosial yang berlaku tetap atau jamak diistilahkan dengan sunnatullah diakui. Ia mengacu kepada aturan-aturan yang berlaku universal dan tidak berubah-rubah seperti hukum bahwa masyarakat yang menyimpang dari kesungguhan pasti akan binasa sebagaimana dinyatakan dalam an-Nahl: 36; Fathir: 34 -44 dan Al- Isra: 16. Khusus kisah Musa menarik untuk dicermati, mengingat terdapat “kenyinyiran” Tuhan di seputar narasi lama itu.

“Dan Ceritakanlah (Muhammad) , kisah Musa di dalam Kitab (Al-qur’an). Dia benar-benar orang yang terpilih, seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam [19] : 51) Lalu, ayat “Dan apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? “ (QS. Ta-Ha [20] : 9);  “Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Firaun dengan sebenarnya untuk orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Qasas [28] : 3); “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) kisah Musa?” (QS. An-Nazi'at [79] : 15)

Existing Problem dan Aspek Koherensi

Namun, disini pertanyaan sentral segera mencuat. Bila memang kisah yang terjadi di Mesir 34 abad yang lalu itu tengah bergulir kearah titik koordinat pengulangannya di Indonesia abad ke 21 M, kok kenapa terdapat tiga paslon pada pilpres 2024 ini; bukankah dalam kisah lama perkubuan hanya terbatas pada dua kubu saja yakni kutub status quo Fir’aun yang ingin melanggengkan kekuasaannya versus Musa yang menginginkan pembebasan kaum bani Israel?

Kritisisme diatas wajar muncul, mengingat faktanya memang terdapat tiga paslon pada  formasi kandidat yang akan berkontestasi di pilpres Indonesia 2024. Masing-masing kubu Amin (01), kubu PS-GRR (02) dan kubu GP-MMD (03). Artinya, terdapat ketidakkonsistenan logis (koheren) bila pengulangan sejarah dijadikan titik tolak konseptual- teoritis untuk menjelaskan fenomena kontemporer yang disandarkan pada pengetahuan apriori yang bersumber dari wahyu.

Padahal, ilmu dalam upaya untuk menemukan kebenaran, mendasarkan dirinya kepada beberapa kriteria kebenaran. Kriteria tersebut atau sering juga disebut sebagai teori adalah  koherensi disamping korespondensi dan pragmatisme.

Koherensi merupakan teori kebenaran yang dilandaskan pada kriteria tentang konsistensi suatu argumen sekiranya terdapat konsistensi dalam alur berpikir maka kesimpulan yang ditariknya adalah benar. Sebaliknya jika terdapat argumen yang bersifat tidak konsisten maka kesimpulan yang ditariknya adalah salah. Secara keseluruhan argumentasi yang bersifat konsisten tersebut juga bersifat koheren untuk dapat disebut benar.  

Artinya, jalur-jalur pemikiran yang masing-masing bersifat konsisten seluruhnya, maka juga harus terpadu secara utuh (koheren), baik ditinjau dari lingkup argumentasi maupun dikaitkan dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya yang dianggap benar. (hal 16, Jujun: S. Suria Sumantri).

Bertolak dari prinsip ilmiah diatas dalam kaitannya dengan pengulangan sejarah maka kesimpulan penting sudah bisa ditarik. Berdasarkan perspektif paralelisme vertikal maka sepanjang formasi kandidat masih terdiri dari tiga paslon berarti kontestasi yang sesungguhnya belum terjadi. Karena teks lama pada wahyu yang dijadikan dasar analogi  “mensyaratkan” keberadaan kubu hanya dua kutub saja. No more, no less.

Pilpres 2024 di Mata Sejarawan

Semua ilmu menarik kesimpulan umum. Keajegan menjadi tumpuan dalam generalisasi. Ramalan itu dalam ilmu sosial, termasuk sejarah tidak dengan penuh kepastian, Hanya berupa kemungkinan. Bandingkan dengan pernyataan Tuhan yang meniscayakan kepastian keterlakuan hukum- hukum sosial yang dikatakan bersifat konstan. Term hukum disini bukan konsep dalam ilmu Fikih (syariat), namun hukum alam dan sosial yang telah terbukti secara universal, seperti hukum grafitasi, hukum Archimedes, hukum Boyle, hukum manusia adalah makhluk sosial dan lain sebagainya.

Generalisasi atau kesimpulan umum memang sangat perlu dalam sejarah sebab sejarah adalah ilmu. Orang yang tak melakukan generalisasi tidak akan bisa membedakan pohon dengan hutan. Juga ia tidak akan bisa membedakan hutan dengan taman sebab keduanya mempunyai unsur yang sama, yaitu pohon, danau, dan gundukan tanah. Demikian pula ia tidak akan mengerti lalu lintas bila yang dilihatnya hanyalah lampu hijau kuning merah, kondisi, mobil, dan jalan raya. 

Dalam sejarah generalisasi sama dengan teori bagi ilmu lain. Dalam antropologi kita kenal teori evolusi. Dalam sejarah kita mengenal generalisasi tentang perkembangan sebuah masyarakat. Kalau orang menggunakan istilah teori untuk sejarah, maka yang dimaksud adalah generalisasi (Kuntowijoyo, 1995:142).

Dengan “asumsi” adanya pengulangan sejarah maka poin- poin prediktif dibawah dapat berfungsi sebagai haluan dalam menatap pesta lima tahunan- ditengah disfungsi aksiologis pada ilmu politik. Pertama, Pilpres 2024 untuk memilih presiden RI ke 8 akan berlangsung sesuai dengan skedul. Tidak akan ada pemakzulan ataupun revolusi akibat kemuakan publik terkait politik dinasti maupun cawe-cawe Jokowi. Adapun isu-isu ijazah palsu, presiden petisi 100, problem pendaftaran Gibran dan lain-- lain -apapun bentuknya-- yang diperjuangkan kalangan pro-demokrasi dan mereka yang kritis tidak akan mempengaruhi jadwal yang telah ditetapkan KPU.

Kedua, upaya-upaya penggiringan opini publik untuk kemenangan satu putaran lewat rilis- rilis lembaga survei (baca: konsultan politik)  oleh kubu 02 tidak akan terwujud sesuai skenario. Termasuk upaya BLT, bagi-bagi bansos dan lain sebagainya.

Ketiga, intinya, Pilpres 2024 akan berlangsung dua putaran. Ibarat sepakbola  dalam sistem kompetisi maka Pilpres 14 Februari 2024 masih babak penyisihan. Tidak satupun dari ketiga paslon yang berhasil mendapatkan suara 50 persen  1 pada putaran pertama ini.

Keempat, dalam perspektif paralelisme historis (vertikal) kontestasi pilpres sesungguhnya justru akan berlangsung pada tanggal 26/06/2024 yakni antara paslon 01 yang mengusung misi perubahan vis a vis  paslon 02 yang merepresentasikan kubu pro status quo (berkelanjutan).

Kelima, partai final akan berlangsung sengit. Suhu politik nasional akan semakin memanas, meskipun atmosfernya sudah terasa dari sekarang. Fase kritis yang perlu dicermati banyak pihak terutama beberapa “masa” pasca quickcount di pantai final. Sepertinya akan terjadi sedikit “turbulensi”, namun dapat diatasi pihak keamanan (TNI dan Polri).

  Keenam, menjelang partai final diperkirakan akan terjadi migrasi elektoral suara paslon 03 yang kalah diputaran pertama (14/02/2024) ke paslon 01. Limpahan suara dari partai pemenang pemilu ini jelas memberikan dampak elektoral yang signifikan bagi kubu Perubahan.

  Ketujuh, meskipun terdapat upaya rezim lewat tangan-tangan Istana untuk melunakkan hati Megawati (PDIP) sepertinya tidak akan memetik hasil. Kubu 03 akan menyampingkan faktor idiologis untuk membackup 01 pada babak final. Bukan daya tarik paslon Amin yang determinan, namun justru daya tolak untuk tidak ke 02 yang lebih kuat. Demikian kira-kira yang akan berlangsung- meminjam istilah Eep Saifullah Fattah. Dapat dikatakan aksioma perihal tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik tidak akan berlaku kali ini. Semacam pengecualian kasus -  sejarah. Nasi sudah menjadi bubur karena keterlukaan sang Banteng!

Secara hipotesis paslon 02 yang nota bene merupakan proxy Istana akan kalah di partai penentuan. Walhasil, kemenangan pasangan Amin di partai puncak kiranya akan mengakhiri cawe-cawe rezim penguasa yang membuat gerah kalangan pro-demokrasi dan kaum civil society di Tanah Air dalam beberapa bulan ke belakang. Sekaligus menandai rubuhnya dinasti Jokowi. Kejadian futuristik ini kiranya akan mengingatkan orang pada lirik  tembang Teti Kadi yang populer di era tahun 1980-an: Layu sebelum berkembang. Quo vadis, sekularisme?

Peminat sejarah, tinggal di Payakumbuh

Tag:

Baca Juga

Pemantauan Ujaran Kebencian Jelang Pilkada di 5 Provinsi Termasuk Sumbar, Berikut Hasilnya
Pemantauan Ujaran Kebencian Jelang Pilkada di 5 Provinsi Termasuk Sumbar, Berikut Hasilnya
Penjabat (Pj) Wali Kota Payakumbuh Suprayitno lepas pendistribusian logistik Pilkada 2024 yang akan dibawa untuk lima kecamatan yang ada
Pj Wako Payakumbuh Lepas Pendistribusian Logistik Pilkada 2024 ke-5 Kecamatan
Harta pusaka tinggi merupakan salah satu elemen penting dalam struktur adat Minangkabau, karena berfungsi sebagai warisan turun-temurun
Harta Pusaka Tinggi: Pilar Adat Minangkabau dan Dinamika Perannya di Era Kontemporer
Pj Wako Padang Panjang Lepas Pendistribusian Logistik Pilkada 2024
Pj Wako Padang Panjang Lepas Pendistribusian Logistik Pilkada 2024
PLN Sumbar Pastikan Kesiapan Kelistrikan Kawal Pilkada Serentak 2024
PLN Sumbar Pastikan Kesiapan Kelistrikan Kawal Pilkada Serentak 2024
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid memberikan pengarahan langsung kepada jajaran
Tingkatkan Pelayanan, Nusron Tegaskan Seluruh Unit Kerja Kementerian ATR Wajib Berinovasi