Multiverse: Dimensi Paralel dalam Sains dan Budaya Populer

Oleh: Muhammad Rizky Wahhabbi

Konsep multiverse atau "alam semesta jamak" telah lama menarik perhatian ilmuwan dan filsuf sebagai cara untuk memahami potensi keberadaan lebih dari satu alam semesta. Dalam perspektif ilmiah, multiverse merujuk pada gagasan bahwa alam semesta yang kita kenal mungkin hanya salah satu dari sekian banyak alam semesta lainnya yang ada, masing-masing dengan aturan fisika, dimensi, dan realitas yang berbeda.

Konsep ini muncul dari berbagai cabang ilmu, mulai dari teori inflasi kosmik hingga mekanika kuantum. Meskipun ide ini masih dalam tahap spekulasi, multiverse menawarkan pandangan baru yang menantang pemahaman tradisional kita tentang eksistensi dan alam semesta.

Inflasi kosmik adalah salah satu teori yang mendasari gagasan multiverse ini. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh fisikawan Alan Guth pada tahun 1980. Inflasi kosmik menjelaskan bagaimana alam semesta kita berkembang sangat cepat dalam waktu yang sangat singkat setelah Big Bang.

Proses ekspansi yang luar biasa cepat ini menjelaskan mengapa alam semesta kita begitu seragam dalam skala besar. Namun, yang menarik dari teori ini adalah gagasan tentang inflasi berulang, di mana proses inflasi tidak berhenti pada alam semesta kita saja, tetapi terus berlanjut di titik-titik tertentu di ruang-waktu, menciptakan "gelembung" alam semesta baru. Setiap gelembung ini, menurut teori, berkembang dengan aturan fisika yang berbeda dan menciptakan alam semesta terpisah, sehingga membentuk suatu multiverse.

Dalam hal ini, alam semesta kita hanyalah salah satu dari banyak alam semesta yang terus-menerus terlahir akibat inflasi yang tidak pernah berhenti. Jadi, bisa dikatakan Big Bang di sini bukanlah suatu ledakan yang memisahkan planet, melainkan peristiwa mengembangnya garis singularitas yang menghasilkan banyak planet atau yang juga dapat disebut sebagai "Radius of the Visible Universe".

Selain itu, dunia fisika kuantum menawarkan pandangan berbeda tentang multiverse melalui teori yang dikenal dengan Interpretasi Banyak Dunia (Many-Worlds Interpretation atau MWI). Fisikawan Hugh Everett pertama kali mengemukakan gagasan ini pada tahun 1957.

MWI menyarankan bahwa dalam dunia kuantum, setiap kejadian yang tampaknya acak, seperti partikel yang bergerak dalam dua arah berbeda pada eksperimen "double-slit", sebenarnya menciptakan dua dunia terpisah, masing-masing dengan hasil yang berbeda.

Dalam dunia ini, setiap pilihan atau kemungkinan menciptakan cabang baru dari realitas, yang berlanjut dan terpisah dari satu sama lain. Dalam pandangan ini, dunia yang kita kenal hanyalah satu dari sekian banyak dunia yang terbentuk akibat keputusan atau peristiwa yang terjadi di alam semesta ini. Konsep ini menciptakan gambaran tentang banyak dunia paralel yang ada bersamaan, dengan variasi hasil yang berbeda berdasarkan keputusan-keputusan kecil yang membentuk realitas kita.

Teori ini berawal dari eksperimen yang dilakukan oleh Schrödinger pada tahun 1925, yang dikenal dengan "Schrödinger's Cat Paradox". Konsep ini muncul sebagai bagian dari kritik Schrödinger terhadap Interpretasi Kopenhagen dari mekanika kuantum, yang kala itu dipandang sebagai cara yang dominan dalam menjelaskan fenomena kuantum. Dalam penjelasannya, Schrödinger menggunakan sebuah eksperimen pemikiran (thought experiment) yang bertujuan untuk menunjukkan keanehan dan ketidaklogisan hasil interpretasi tersebut jika diterapkan pada dunia makroskopik.

Eksperimen pemikiran Schrödinger menggambarkan seekor kucing yang ditempatkan dalam sebuah kotak tertutup, bersama dengan mekanisme yang bergantung pada peluruhan radioaktif, dengan prinsip kerja sebagai berikut:

Di dalam kotak tersebut terdapat sebuah atom radioaktif yang bisa meluruh atau tidak meluruh dalam waktu tertentu. Jika atom tersebut meluruh, ia akan memicu pemecahan sebuah botol yang mengandung asam sianida, yang kemudian akan membunuh kucing tersebut. Jika atom tersebut tidak meluruh, tidak ada reaksi lebih lanjut, dan kucing tetap hidup.

Menurut mekanika kuantum, sebelum pengamatan dilakukan, partikel-partikel kuantum (seperti atom radioaktif) berada dalam superposisi, yaitu berada dalam beberapa keadaan sekaligus. Dalam hal ini, atom tersebut dianggap berada dalam keadaan "meluruh" dan "tidak meluruh" pada saat yang sama. Oleh karena itu, sampai kotak tersebut dibuka dan diamati, kucing tersebut berada dalam keadaan superposisi juga: kucing itu dianggap hidup dan mati sekaligus.

Schrödinger menggunakan contoh kucing ini untuk menggambarkan bagaimana prinsip mekanika kuantum yang bekerja di level mikroskopik (misalnya, partikel subatomik) tampaknya tidak masuk akal atau kontradiktif ketika diterapkan pada objek-objek makroskopik seperti kucing. Ia ingin menunjukkan bahwa jika kita mengikuti interpretasi Kopenhagen secara ketat, kita harus menerima bahwa kucing tersebut berada dalam dua keadaan yang berlawanan (hidup dan mati) sampai seseorang membuka kotak dan melakukan pengamatan, yang kemudian "menyebabkan" kucing itu berada dalam salah satu dari kedua keadaan tersebut.

Eksperimen pemikiran Schrödinger tidak dimaksudkan untuk benar-benar dilakukan dengan kucing, melainkan untuk menunjukkan paradoks yang timbul dari penerapan prinsip-prinsip kuantum yang sangat berbeda dari pengalaman sehari-hari kita. Dalam dunia kuantum, superposisi adalah hal yang biasa terjadi: partikel bisa berada dalam beberapa keadaan sekaligus, seperti sebuah elektron yang bisa berada di dua tempat pada waktu yang bersamaan. Namun, dalam dunia makroskopik, kita tidak pernah melihat sesuatu seperti kucing yang hidup dan mati pada saat yang sama. Inilah yang menjadi sumber kebingungannya.

Menariknya, ide tentang multiverse ini juga ditemukan dalam budaya populer, salah satunya dalam anime terkenal "Dragon Ball". Di dalam seri Dragon Ball Super, konsep multiverse dihadirkan dengan cara yang sangat menarik melalui "Tournament of Power", sebuah turnamen yang melibatkan 12 alam semesta yang berbeda.

Setiap alam semesta dalam Dragon Ball memiliki aturan dan karakteristik yang unik, menggambarkan bagaimana alam semesta yang satu bisa sangat berbeda dengan yang lainnya, meskipun tetap berada dalam jaringan multiverse yang lebih besar.

Zeno, penguasa alam semesta dalam Dragon Ball, memiliki kekuatan untuk menghancurkan seluruh multiverse dengan satu perintahnya. Dengan kuasa ini, Zeno memantau dan mengatur banyak alam semesta, yang masing-masing memiliki petarung dan aturan yang berbeda, mirip dengan gagasan multiverse dalam teori ilmiah.

Konsep multiverse dalam Dragon Ball terlihat jelas dalam perbedaan karakter yang ada di setiap alam semesta. Sebagai contoh, karakter utama Goku memiliki versi yang berbeda di alam semesta lain. Di Universe 6, ada versi Goku yang lebih muda dan lebih energik, memberikan gambaran tentang bagaimana karakter yang sama bisa berbeda tergantung pada alam semesta atau dimensi tempat mereka berada.

Ini mirip dengan ide dalam fisika kuantum dan inflasi kosmik, di mana entitas yang sama seperti Goku dapat hadir dalam bentuk yang sangat berbeda di dunia yang terpisah. Dengan demikian, meskipun Dragon Ball tidak menggali teori fisika multiverse secara mendalam, anime ini memberikan gambaran visual dan naratif tentang bagaimana dunia paralel bekerja, di mana alam semesta yang satu berinteraksi dengan alam semesta lain.

Salah satu aspek yang paling menarik dari Dragon Ball dalam mengangkat konsep multiverse adalah Tournament of Power, di mana Zeno-sama mengumpulkan perwakilan dari 12 alam semesta yang berbeda untuk bertarung satu sama lain. Setiap alam semesta memiliki tim petarung, termasuk Goku dan teman-temannya dari Universe 7, yang harus bertarung melawan petarung kuat dari alam semesta lainnya.

Dalam turnamen ini, para peserta menghadapi berbagai versi dari karakter yang sama, masing-masing dengan kemampuan dan kepribadian yang sedikit atau sangat berbeda. Meskipun cerita ini tidak mencoba menjelaskan multiverse dengan cara ilmiah, ia memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana dunia paralel dapat berfungsi dalam narasi fiksi melalui pertemuan antar karakter yang berbeda.

Kesimpulannya, konsep multiverse menghubungkan teori fisika yang sangat kompleks dengan fiksi ilmiah yang menggugah imajinasi. Dari teori inflasi kosmik yang menggambarkan alam semesta yang terbentuk melalui proses berulang, hingga interpretasi banyak dunia dalam dunia kuantum yang menjelaskan eksistensi dunia paralel, teori-teori ini memberikan pandangan yang lebih luas tentang kemungkinan alam semesta kita. Meskipun belum ada bukti kuat yang mendukung keberadaan multiverse, gagasan ini terus menjadi topik perbincangan dalam fisika teoretis dan budaya populer.

Penulis: Muhammad Rizky Wahhabbi (Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)

Baca Juga

Pasaman Barat adalah sebuah kabupaten yang terletak di Sumatra Barat, dikenal dengan keberagaman etnis dan budayanya. Wilayah ini dihuni oleh
Romantisme Asimilasi di Pasaman Barat
Indak karambia amak ang ko do..!" Ungkapan dalam bahasa Minang itu pernah terlontar dari Bapak Republik ini kepada kolonial Belanda yang saat
Amarah Tan Malaka: Umpatan dalam Bahasa Minang kepada Kolonial Belanda
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad berkembang di tengah masyarakat Arab Jahiliah yang akidah dan moralnya sangat rusak, sehingga
Kejayaan Ilmu Pengetahuan Islam: Inspirasi dari Masa Lalu untuk Kebangkitan Masa Kini
Mengapa Budaya Politik Partisipatif Penting untuk Masa Depan Demokrasi Indonesia
Mengapa Budaya Politik Partisipatif Penting untuk Masa Depan Demokrasi Indonesia
Politik hadir sebagai wujud dari distribusi keadilan bagi masyarakat. Apabila dia tidak berjalan maka ada patologi politik yang merusak dari
Kepemimpinan Moral dan Patologi Politik
Bobroknya Birokrasi: Ancaman Bagi Kualitas Budaya Politik
Bobroknya Birokrasi: Ancaman Bagi Kualitas Budaya Politik