Mitigasi Bencana Kekeringan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah

Mitigasi Bencana Kekeringan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah

Retaknya tanah sawah sebagai indikator alami perlunya sumber air alternatif dalam waktu dekat

Oleh: Fadli Irsyad

Memasuki musim kemarau tahun 2023, banyak pertanyaan yang mengganjal dalam menyikapi musim kemarau tahun ini. Pertama tentang pola tanam, apakah akan menanam padi atau tanaman palawija lainnya. Kedua jadwal tanam, kapan baiknya untuk mulai tanam. Ketiga bagaimana nanti kalau terjadi gagal panen akibat kekeringan, hama dan penyakit akibat musim kemarau.

Pertanyaan ini sebenarnya dimulai dari permasalahan ketersediaan air. Jika air tersedia baik di saluran irigasi, embung, dan sumur pertanian, maka pertanyaan diatas tidak akan terjadi. Hal ini dikarenakan adanya jaminan air bagi petani.

Badan Meteorlogi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim kemarau tahun 2023 akan tiba lebih awal dari sebelumnya. Banyak pakar yang memperkirakan musim kemarau tahun ini akan diikuti oleh kejadian El Nino dimana peristiwa ini akan menyebabkan kekeringan parah di wilayah Australia, Indonesia dan sebagian Asia Selatan.

Pada semester kedua tahun ini, ada peluang sebesar 50-60% bahwa kondisi Netral akan turun beralih menuju Fase El Nino-Indian Ocean Dipole (IOD) saat ini berada pada kondisi netral dan diprediksi akan bertahan hingga akhir tahun 2023. Kondisi ini akan berdampak pada jumlah curah hujan di musim kemarau menjadi lebih sedikit dari tahun tahun sebelumnya

Informasi terkait climate change atau perubahan iklim sudah tidak asing lagi di telinga kita. Berdasarkan IPCC 2021 (Climate Change 2021: The Physical Science Basis), menjelaskan bahwa perubahan iklim berdampak terhadap perubahan pola curah hujan indonesia serta jumlahnya baik di musim hujan dan kemarau.

Hal ini juga terlihat dari berbagai berita akan seringnya terjadi banjir pada musim hujan dibeberapa daerah yang sebelumnya tidak pernah mengalami banji dan juga sering terjadinya kekeringan di musim kemarau. Permasalahan utama dalam sektor budidaya pertanian adalah pada saat musim kemarau, dimana sumber daya air dari hujan rendah dan juga sumber air dari sungai juga menurun.

Kondisi berdampak pada timbulnya berbagai permasalahan dan konflik kepentingan terhadap sumber air untuk pertanian. Jika dihubungkan dengan ketahanan pangan daerah, maka permasalahan pada musim kemarau sangat berdampak pada ketersedian pangan dan ketahanan pangan daerah.

Musim kemarau di Sumatera Barat biasanya terjadi dari bulan Mei hingga Oktober dan perkiraan puncak musim kemarau di tahun ini berada pada bulan Juli hingga Agustus dengan kondisi jumlah curah hujan yang lebih sedikit dari tahun biasanya.

Tentunya kondisi ini akan berdampak pada ketersediaan air dilahan pertanian khususnya lahan sawah tadah hujan. Namun terkadang kondisi ini juga berdampak pada lahan sawah beririgasi. Terkadang jaringan sistem irigasi yang ada saat ini tidak bisa untuk memenuhi kebutuhan air tanaman pada saat musim kemarau, kondisi ini sangat banyak terjadi di beberapa daerah irigasi terutama di daerah hilir (ujung jaringan).

Pada prinsipnya air irigasi berfungsi untuk memenuhi kebutuhan air tanaman khususnya di musim kemarau. Namun pada kondisinya real dilapangan banyak daerah yang kekurangan air meski telah memiliki jaringan/saluran irigasi. Kondisi ini berakibat pada menurunnya produksi sektor pangan yang dalam hal ini berupa padi dan bahkan terkadang berdampak pada terjadinya puso (gagal panen).

Jika kondisi ini terjadi secara serentak di beberapa kabupaten kota di Sumatera Barat, maka akan berdampak pada rendahnya produksi padi selama musim kemarau dan berdampak pada ketersedian pangan. Jika produksi pangan menurun tentunya akan berdampak terhadap kestabilan harga beras di pasaran dan juga memiliki efek domino terhadap sektor lainnya.

Jika terjadi gagal panen akibat kekeringan hal ini sangat berdampak pada sektor konomi petani, hal ini dikareakan dalam uapaya budidaya padi sawah saat ini petani atau pemilik sawah telah mengeluarkan modal yang tinggi dalam pembelian bibit, pupuk, dan pestisida.

Solusi dari permasalahan ini tidak terlepas dari dua aspek yakni ketersediaan air dan kebutuhan air. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat dalam menyikapi permasalahan di atas.

Adapun langkah pertama yang paling nyata yakni mengoptimalkan fungsi manajemen sistem irigasi dengan mengembalikan fungsi Persatuan Petani Pengguna Air (P3A) atau kelompok tani yang mengatur tentang pembagian air, pengaturan pola tanam serta jadwal tanam. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi permasalahan dalam memperebutkan air yang sangat sedikit.

Pembagian air irigasi dengan sistem siang dan malam, dimana di air irigasi pada bagian hulu diberikan siang hari untuk meminimalkan air hilang disaluran akibat evaporasi dan pada bagian hilir dialirkan pada malam hari yang mana evaporasi menjadi rendah rendah di saluran.

Selanjutnya pengaturan jadwal tanam dan pola tanam juga harus menjadi perhatian dengan menyusun skala prioritas di setiap kelompok. Kebutuhan air paling tinggi yakni untuk budidaya padi sawah, khususnya pada saat pengolahan tanah, pindah tanam hingga fase pembungaan. Artinya jika dipaksakan secara keseluruhan untuk budidaya padi sawah disaat bersamaan tentunya akan menyebabkan kekurangan air di saat puncak musim kemarau.

Sistem kearifan lokal yakni dengan musyawarah dan mufakat patut menjadi pertimbangan pada saat pengaturan jadwal tanam dan pola tanam khususnya dimusim kemarau, agar tidak terjadi masalah perebutan air pada saat mendekati puncak musim kemarau.

Sistem pemberian irigasi terputus-putus (intermittent irrigation) juga dapat dijadikan solusi pemberian air irigasi dengan cara pengaturan tinggi muka air sawah dengan kedalaman 5 – 10 cm, selanjutnya air irigasi dihentikan sempai tidak ada genangan, kemudian digenangkan kembali. Hal ini akan berdampak pada pemerataan air irigasi dari kawasan hulu hingga hilir.

Langkah kedua yakni menggunakan bibit padi yang resisten terhadap kekeringan pada lahan sawah tadah hujan. Saat ini telah ada beberapa varietas padi lahan kering (padi gogo) yang telah dikembangkan oleh beberapa balai peneliti padi diantaranya Varietas padi 9G IPB yang baru diluncurkan juli tahun lalu (2022), selain itu ada juga Inpago 13 Fortiz yang dilepas tahun 2020 oleh Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi). Masyarakat dapat menggunakan varietas tersebut untuk budidaya padi di musim kemarau khususnya pada lahan sawah tadah hujan.

Tentunya perlu bantuan dari pemerintah daerah untuk menyediakan bibit tersebut ketika akan memamusi musim kemarau.

Langkah ketiga yakni mencari sumber air alternatif untuk memenuhi kekurangan air di puncak musim kemarau, salah satunya dengan irigasi pompa sumur dangkal. Tentunya ini membutuhkan sedikit modal dalam penyediaannya namun jika dikondisikan secara bersama maka beban yang berat menjadi sedikit berkurang. Pompa dangkal merukan irigasi suplemen dalam artian bukan sebagai sumber irigasi utama, hanya digunakan pada kondisi tanaman sangat membutuhkan air.

Jika air hujan yang diharapkan tidak turun dan air irigasi tidak ada, maka pompa dangkal menjadi alternatif guna mencegah terjadinya kegagalan panen akibat kekeringan.

Langkah keempat selanjutnya yakni meningkatkan cadangan simpanan air pada kawasan yang sudah memiliki waduk, embung, atau kolam retensi. Tentunya upaya ini dapat dilakukan oleh pemerintah terkait dalam mengantisipasi kekeringan yang akan terjadi. Pada dasarnya langkah ini sudah digalakkan oleh pemerintah pusat dan daerah dengan pembuatan embung pertanian di beberapa kawasan. Berdasarkan data BPS Sumbar, dari tahun 2018 hingga 2021 tercatat adanya penambahan embung sebanyak 64 buah di Provinsi Sumatera Barat.

Hal ini menunjukkan langkah kinerja positif terhadap antisipasi perubahan iklim yang terjadi di wilayah Sumatera Barat. Tentunya kinerja ini harus terus ditingkatkan secara berkesinambungan setiap tahunnya.

Langkah berikutnya (kelima) yang tidak kalah penting yakni menjaga ketersediaan stok beras baik di tingkat rumah tangga, kecamatan/Kaupaten/Kota, dan lingkup provinsi. Hal ini bertujuan untuk menjaga kestabilan bahan pangan pasca kekeringan melanda. Salah satu kearifan lokal minang kabau dalam menyikapi permasalah ini adanya lumbung padi (rangkiang) yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi milik kaum.

Jika dibagi menurut fungsinya terdapat empat jenis rangkiang yakni Si Tinjau Lauik (padi yang digunakan untuk membeli barang atau keperluan rumah tangga), Si Bayau-bayau (padi yang digunakan untuk makan sehari-hari), Si Tanggung Lapa (padi yang digunakan pada musim paceklik), dan Rangkiang Kaciak (padi yang digunakan yang akan digunakan untuk benih dan biaya mengerjakan sawah pada musim berikutnya).

Jika upaya ini disemarakkan kembali maka  Provinsi Sumatera Barat menjadi row model dalam ketahanan pangan daerah di Indonesia.

*Dosen Fakultas Teknologi Unand

Baca Juga

Disperkimtan Sumbar Data Rumah Rawan Bencana Secara Digital Berbasis Nagari
Disperkimtan Sumbar Data Rumah Rawan Bencana Secara Digital Berbasis Nagari
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BRI) semakin memperkuat kesiapan menghadapi bencana alam di Indonesia. Hal ini sejalan dengan
Perkuat Kesiapan Hadapi Bencana, BRI Gelar Jambore Nasional Tim Elang Relawan BRI
Latihan Gabungan Kebencanaan di Padang, Fokus Antisipasi Megathrust Mentawai
Latihan Gabungan Kebencanaan di Padang, Fokus Antisipasi Megathrust Mentawai
Dispar Kota Padang Imbau Wisatawan Pantai Agar Tidak Berenang di Tengah Cuaca Ekstrem
Dispar Kota Padang Imbau Wisatawan Pantai Agar Tidak Berenang di Tengah Cuaca Ekstrem
Hujan dan Angin Kencang Sebabkan Longsor dan Pohon Tumbang di Sejumlah Titik Kota Padang
Hujan dan Angin Kencang Sebabkan Longsor dan Pohon Tumbang di Sejumlah Titik Kota Padang
Langgam.id-pohon tumbang
BPBD Padang Masuk Tiga Besar Nasional Penanganan Bencana 2024