Pemberitaan viral akhir-akhir ini mengabarkan bahwa Kepolisian menyebut Sumatera Barat, tanah orang Minangkabau, adalah salah satu tempat subur persemaian jaringan teror NII. Jumlahnya anggotanya tidak tanggung-tanggung, yaitu lebih dari seribu orang. Dua daerah yang ditunjuk hidungnya adalah Dharmasraya dan Tanah Datar. Gerakan NII sendiri -sebagaimana diberitakan Langgam- disebut sebagai gerakan teror yang hendak menukar haluan negara dari berideologi pancasila menjadi ideologi Islam.
Tulisan ini hendak memberikan perspektif sejarah dan sosial tentang bagaimana relasi Minangkabau dengan Indonesia. Pengetahuan tersebut berguna sebagai bahan masukan untuk menakar-nakar perihal isu NII; gerakan yang disebut tumbuh subur di tengah-tengah kehidupan orang Minangkabau.
Kajian sejarawan dan sosiolog seperti T Abdullah, Hadler, Dobbin, ataupun Kato memberi kesan bahwa sulit melepaskan Islam dari kehidupan orang-orang Minangkabau. Relasi Islam dan Alam Minangkabau beserta adatnya adalah relasi yang dibangun dengan penuh perjuangan dan dilakukan lewat kesadaran internal masyarakat Minangkabau sendiri.
Sejak awal memang Islam di Minangkabau disebarkan dan diupayakan oleh orang-orang Minangkabau sendiri. Upaya itu menghasilkan sintesis unik, dimana Islam dan adat matrilineal disandingkan dan tidak dipertentangkan. Dalam persandingan itu, Islam adalah nafas dari adat dan budaya orang-orang Minangkabau. Sintesis itulah yang melahirkan orang-orang Minangkabau yang kemudian dikenal sebagai pejuang-pejuang bangsa.
Untuk konteks Minangkabau sulit -jika tidak dapat dikatakan mustahil- untuk mengklasifikasikan tokoh-tokoh kepada klasifikasi nasionalis dan religious. Kalangan yang dianggap sebagai tokoh nasionalis asal Minangakabau, seperti Hatta, sejatinya adalah mereka yang tumbuh dalam lingkungan surau dengan pemahaman agama yang baik.
Hamka yang kerap diklasifikasikan sebagai tokoh religious, adalah orang surau yang berjuang keras di kawasan Sumatera Tengah menyatukan masyarakat pada era perjuangan kemerdekaan Indonesia, sebagaimana yang Hamka ceritakan sendiri dalam Kenang-kenangan Hidup.
Bahkan para tokoh Minangkabau yang terpengaruh aliran kiri, tidak pernah sudi untuk melepaskan Islam dari mereka. Sebutlah nama Datuak Batuah, sosok yang disebut sebagai penyebar ajaran komunis di Minangkabau di awal dekade ke dua abad dua puluh. Datuak Batuah dan pengikutnya, seperti yang digambarkan dalam Schools and Politics karya Taufik Abdullah, terlihat bersusah payah merelasikan kaji kuminih itu dengan ajaran Islam. Tan Malaka yang dikenal publik sebagai tokoh kiri, tidak pernah bersedia melepas identitasnya sebagai Muslim Minangkabau.
Fakta sejarah tentang kontribusi Muslim Minangkabau terhadap Indonesia demikian gamblang sehingga tidak mungkin untuk ditutup-tutupi. Ketika bayi bernama Indonesia berada di ambang perpecahan karena perdebatan tujuh kata di piagam Jakarta, Hamka bersama kawan-kawan aktif melobi berbagai pihak di Sumatera yang kecewa agar menerima itu sebagai maslahat bersama. Era kritis ini berhasil dilalui dengan baik.
Semangat keIslaman ala Minangkabau untuk pembentukan negara Indonesia tidak hanya di kalangan tokoh, tapi juga masyarakat kebanyakan. Pesawat pertama Indonesia dibeli menggunakan sumbangan emas amai-amai Minangkabau. Alam Minangkabau menjadi tempat yang aman bagi republik ketika negara berada dalam saat-saat kritis akibat tekanan agresor Belanda, seperti yang terjadi ketika era PDRI. Masyarakat Minangkabau bahu membahu menyembunyikan PDRI dari kejaran Belanda.
Hidup dalam alam seperti itu, hati orang-orang Minangkabau memandang Indonesia sebagai warisan yang mesti dijaga. Apalagi ditambah dengan fakta bahwa kebanyakan aktifis dan pahlawan yang memperjuangkan Indonesia dan Pancasila adalah tokoh-tokoh Minangkabau itu sendiri.
Memang di tanah Minangkabau pernah lahir sebuah gerakan perlawanan PRRI pada akhir 1950-an, yang divonis pusat sebagai pemberontakan. Jika kita cermat membaca sejarah, tidak ada satupun ide perjuangan PRRI itu yang bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan yang sah, menukar ideologi negara, ataupun melepaskan diri dari Indonesia. Lewat buku Mestika Zed dan Hasril Chaniago (2001), terlihat jelas PRRI adalah tuntutan daerah untuk penerapan sistem otonomi agar pembangunan berjalan merata, yang sayangnya dijawab dengan respon militer. Sebagai tambahan, PRRI juga lahir dari protes daerah atas kedekatan pusat dengan PKI.
Berbagai benak Minangkabau yang berasal dari dalam dan luar negeri seperti Simon, Hadler, Dobbin, De Jong, E Greeves dan lain-lain, hanya menangkap bahwa Minangkabau adalah masyarakat Muslim Indonesia yang taat dan egaliter tanpa tendensi untuk melakukan hal-hal radikal, ekstrem dan membahayakan kehidupan berbangsa bernegara. Justru sebaliknya, berkontribusi besar pada pendirian Indonesia. Saya sendiri sebagai peneliti yang 3-4 tahun belakangan ini melakukan penelitian tentang identitas Minangkabau, juga tidak menemukan narasi-narasi masyarakat untuk melakukan hal-hal seperti gerakan NII itu.
Jadi pada alamnya, orang-orang Minangkabau adalah orang-orang kritis yang memandang Indonesia sebagai warisan yang harus dijaga. Gerakan dengan ide seperti NII tidak memiliki akar sejarah dan sosial di masyarakat Minangkabau.
(Isral Naska adalah Dosen UM Sumatera Barat dan Peneliti Minangkabau)