Menyoal Pembangunan SDM dan Infrastruktur Solok Selatan

Menyoal Pembangunan SDM dan Infrastruktur Solok Selatan

Ilustrasi: chatgpt

Oleh: Rendi Adrian Pratama

Berbicara mengenai Solok Selatan, yang terlintas dalam pikiran kita pastinya adalah keindahan alamnya, pegunungan, hutan lebat, dan perkebunan yang luas. Potensi alamnya sangatlah besar, tapi sayang sekali keindahan alam itu tidak sebanding dengan cerita kesejahteraan masyarakat. Di balik panorama indah, ada realita yang membuat kita harus jujur mengenai kualitas sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur dasar yang masih menjadi penghambat utama.

Solok Selatan sebenarnya memiliki modal luar biasa. Hampir 60% wilayahnya adalah hutan dan sekitar 70% masyarakatnya bergantung hidup dari sana. Hasil hutan, pertanian, dan perkebunan seperti kopi seharusnya bisa menjadi jalan keluar dari kemiskinan. Namun kenyataannya, banyak hasil itu yang dijual mentah tanpa pengolahan, sehingga pendapatan masyarakat berjalan di tempat. Di sisi lain, indikator sosial memang mulai membaik. Angka stunting berhasil turun dari 31,7% menjadi 14,7% pada 2023 (Survei Kesehatan Indonesia, dikutip Antara Sumbar 2024). Tingkat kemiskinan juga menurun, dengan persentase 6,56% pada akhir 2024 (Databoks Katadata, 2024). Bahkan kemiskinan ekstrem berkurang dari 1,8% atau sekitar 3.200 jiwa di 2021 menjadi 1,53% atau sekitar 2.770 jiwa (Nusantara TV, 2023). Angka-angka ini memang menggambarkan pergerakan positif, tetapi tetap rapuh bila tidak dibarengi dengan perbaikan SDM dan infrastruktur.

Contoh paling nyata ada pada infrastruktur jalan. Di daerah seperti Air Dingin, jalan yang seharusnya menjadi jalur evakuasi medis dan akses vital justru sering tertutup longsor atau rusak parah. Ketika jalan putus, masyarakat otomatis terisolasi, pelayanan kesehatan dan ekonomi terganggu. Ini bukan sekadar soal aspal berlubang, tapi menyangkut nyawa dan keberlangsungan hidup warga. Belum lagi fasilitas publik yang gampang jebol. Tahun 2024, Gedung DPRD Solok Selatan mengalami kebanjiran hingga arsip rusak dan inventaris hancur, dengan kerugian ditaksir ratusan juta (Padang Ekspres, 2024). Jika kantor pemerintahan saja tidak bisa bertahan menghadapi bencana, bagaimana dengan rumah warga biasa? Kasus ini jelas menunjukkan tata ruang dan perencanaan infrastruktur belum adaptif terhadap tantangan iklim dan geografis.

Dari sisi SDM, jumlah sekolah memang bertambah setelah pemekaran, tetapi masalahnya ada pada kualitas. Banyak guru masih berstatus honorer dengan kesejahteraan minim, sementara kurikulum yang diterapkan belum sepenuhnya nyambung dengan kebutuhan lokal. Padahal Solok Selatan butuh pendidikan yang lebih vokasional, seperti pengolahan kopi, teknologi pertanian, atau manajemen perhutanan sosial. Bukan hanya teori di kelas, melainkan keterampilan yang bisa langsung diterapkan di lapangan. Tanpa itu, masyarakat akan terus bergantung pada komoditas mentah dengan harga pasar yang tidak bisa dikendalikan.

Jika melihat dokumen perencanaan seperti RPJMD Solok Selatan 2021–2026, sebenarnya pemerintah sudah menempatkan pembangunan SDM dan infrastruktur sebagai prioritas. Namun persoalannya ada pada eksekusi. Koordinasi antar-OPD masih lemah, sinergi dengan nagari belum maksimal, dan transparansi anggaran masih menjadi pertanyaan. Lebih jauh lagi, data sosial pun masih kacau. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) misalnya, belum sepenuhnya valid. Banyak warga miskin tidak tercatat sehingga tidak dapat bantuan, sementara yang sudah sejahtera justru masih menerima (Laporan Bappeda Solok Selatan, 2023). Jika data saja salah, bagaimana kebijakan bisa tepat sasaran?

Menurut saya, ada beberapa langkah realistis yang bisa dilakukan: perbaikan jalan strategis dengan pembangunan permanen, terutama di daerah rawan seperti Air Dingin; program vokasi berbasis potensi lokal bekerja sama dengan kampus dan LSM; pembangunan infrastruktur air bersih dan sanitasi padat karya untuk kesehatan dan pencegahan stunting; digitalisasi data bantuan sosial dengan melibatkan nagari agar verifikasi lebih akurat; serta pembangunan fasilitas publik yang tahan bencana agar peristiwa banjir di DPRD tidak terulang.

Solok Selatan jangan hanya dikenal sebagai daerah kaya alam tetapi miskin kesejahteraan. Pemerintah kabupaten punya PR besar, bukan sekadar membangun jalan baru atau menambah sekolah, tetapi memastikan kualitasnya relevan dengan kebutuhan masyarakat. Kita harus sadar bahwa potensi alam tidak otomatis membawa kesejahteraan jika manusianya tidak dibekali keterampilan dan infrastrukturnya tidak mendukung. Harapan tetap ada karena tren sosial menunjukkan perbaikan. Tinggal bagaimana langkah ke depan lebih fokus, transparan, dan berani memutus rantai ketergantungan. Jika tidak, Solok Selatan akan terus menjadi kabupaten yang indah dipandang mata, namun rapuh dalam kenyataan.(*)

Penulis: Rendi Adrian Pratama, Mahasiswa Ilmu Politik, FISIP Universitas Andalas

Tag:

Baca Juga

Pemerintah Bakal Bangun Jaringan Irigasi Air Tanah di Bungus dan Luki
Pemerintah Bakal Bangun Jaringan Irigasi Air Tanah di Bungus dan Luki
Politikus Partai Nasdem Willy Aditya dalam diskusi Langgam dengan tajuk Refleksi 80 Tahun Sumatra Barat
80 Tahun Sumbar, Willy Nasdem Soroti Pembangunan Berkelanjutan
NasDem Minta Kader di Sumbar Bijak Bermedsos, Sindir Cindy Monica? 
NasDem Minta Kader di Sumbar Bijak Bermedsos, Sindir Cindy Monica? 
Bank Nagari Pangkas Bunga Kredit Pegawai dan KPR, Berlaku Mulai 1 Oktober
Bank Nagari Pangkas Bunga Kredit Pegawai dan KPR, Berlaku Mulai 1 Oktober
Forum Ilmiah Neurologi Sumatera 2025 Dibuka, Soroti Beban Stroke di Sumbar
Forum Ilmiah Neurologi Sumatera 2025 Dibuka, Soroti Beban Stroke di Sumbar
Pesan Willy Aditya di Rakerwil Partai NasDem Sumbar: Fokus Bekerja untuk Rakyat, Jangan Bahas Pemilu
Pesan Willy Aditya di Rakerwil Partai NasDem Sumbar: Fokus Bekerja untuk Rakyat, Jangan Bahas Pemilu