Menyoal Kebijakan Tata Ruang Kota Padang

Menyoal Kebijakan Tata Ruang Kota Padang

Ilustrasi kebijakan tata ruang. (Gambar: ilustrasi chatgpt)

Oleh: Rindu Syahla Humaira Aqila

Perencanaan tata ruang merupakan salah  satu instrumen penting dalam pembangunan daerah . Tata ruang tidak hanya mengatur distibusi pemanfaatan lahan, tetapi juga menjadi dasar dalam menentukan arah pembangunan ekonomi, sosial, maupun lingkungan di suatu wilayah. Di Indonesia,  penataan ruang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mewajibkan tiap daerah  menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)  sebagai  pedoman pembangunan. Kota Padang, sebagai  Ibu Kota Provinsi Sumatera Barat, menghadapi tantangan kompleks  dalam pengelolaan ruang karna kondisi geografis, pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan resiko bencana alam yang tinggi (Ramadhan, 2024)

Dalam konteks tersebut, Pemerintah Kota Padang menetapkan Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2012 tentang RTRW Kota  Padang Tahun 2010-2030. Perda ini menjadi landasan hukum yang mengatur zonasi pemanfaatan ruang, pembangunan infrastruktur, kawasan lindung, serta diharapkan mampu menjawab persoalan utama kota, seperti banjir yang hampir terjadi tiap tahun, kepadatan pemukiman di kawasan rawan bencana, konversi lahan pertanian, dan konflik kepentingan antara pembangunan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan. 

Pada kasus RTRW Kota  Padang, terdapat beragam aktor yang memiliki berbagai  kepentingan, mulai dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, investor, masyarakat lokal, akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil. Proses penetapan agenda ini sering kali tidak  berjalan mulus, karna setiap pihak memiliki perspektif dan kepentingan yang berbeda.

Latar belakang lahirnya perda ini tidak terlepas dari kewajiban normatif daerah dalam menindaklanjuti amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Namun, selain faktor normatif, lahirnya perda RTRW Kota Padang juga dipicu oleh kondisi faktual pada Pertumbuhan penduduk yang pesat, ubanisasi, meningkatnya kebutuhan infrastruktur, konvensi lahan pertanian, serta  tingginya resiko bencana alam menjadi isu yang mendesak untuk ditangani.

Misalnya isu banjir, menjadi salah satu pemicu utama lahirnya kebijakan tata  ruang karna hampir setiap tahun Kota  Padang dilanda genangan yang mengganggu aktivitas  ekonomi dan sosial. Selanjutnya, hal ini juga dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ekonomi. Pemerintah kota Padang, melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), berupaya RTRW yang mampu menarik investasi sekaligus memperkuat posisi Padang sebagai pusat pertumbuhan di Sumatera Barat. Namun disisi lain, muncul perdebatan antara kebutuhan pembangunan ekonomi dengan perlindungan lingkungan.

Jika dilihat sekilas, dari Perda  Nomor 4 tahun 2012 tentang RTRW kota Padang 2010-2030 memang punya niat yang baik, yaitu menata kota supaya lebih tertib, berkelanjutan, dan bisa mengakomodasi kebutuhan pembangunan. Tetapi kalau kita  kritisi lebih jauh, ada beberapa hal yang menjadi masalah mendasar.

Pertama, RTRW ini kurang responsif terhadap dinamika baru, misalnya soal bencana, perubahan iklim, dan kebutuhan transportasi modern. Seperti yang kita ketahui Padang merupakan kota yang rawan gempa dan tsunami, tapi dalam praktiknya, pembangunan di kawasan Pesisir masih padat dan cenderung mengabaikan aspek mitigasi bencana. Jadi, kebijakan yang mestinya jadi pedoman keselamatan malah rawan menimbulkan kerentanan  baru.

Kedua partisipasi masyarakarat yang terbilang minim. Dalam proses penataan ruangan, seharusnya warga sekitar punya suara karena mereka yang paling berdampak. Tetapi dalam realitanya, aspirasi masyarakat sering kali kalah dengan investor atau juga proyek pembangunan. Hal ini membuat kebijakan tata ruang seolah lebih pro investor ketimbang pro kepada rakyat.

Ketiga, RTRW ini terlalu idealis diatas kertas, tapi lemah di implementasi lapangan. Banyak kawasan yang sudah ditetapkan sebagai zona lindung atau zona terbuka hijau ternyata beralih fungsi menjadi perumahan , kawasan komersial, atau bahkan industri. Ini menunjukan bahwa perda hanya berhenti sebagai dokumen formal tanpa adanya pengawasan serius.

Terakhir, koordinasi antarinstansi juga lemah. Dapat dilihat banyak pembangunan yang jalan duluan tanpa adanya sinkronan dengan  RTRW. Ini membuat citra kebijakan tata ruang jadi inkonsisten: ada Perda tetapi pelaksanaannya  tidak disiplin.

Sebagai penutup, aturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010-2030 pada dasarnya disusun sebagai upaya strategis untuk menghindari tata kelola ruang yang berlebihan, berkelanjutan dan selaras dengan dinamika pembangunan kota. Kehadirannya bukan hanya dimaksudkan sebagai panduan teknis pemanfaatan lahan dan pemanfaatan infrastruktur melainkan juga sebagai instrumen penting dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Akan tetapi, realitas yang terjadi di lapangan memperlihatkan adanya kesenjangan antara konsep ideal yang tertuang dalam dokumen kebijakan dengan praktik implementasinya. Lemahnya respon terhadap isu-isu baru seperti perubahan iklim, mitigasi bencana, rendahnya partisipasi masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama, serta minimnya pengawasan dan koordinasi antarinstansi menjadi kebijakan ini belum optimal dalam menjawab tantangan aktual kota Padang.

Kondisi ini menunjukan bahwa perencanaan tata ruang bukan sekedar persoalan politik, sosial, dan kelembagaan. Tanpa komitmen bersama untuk memperkuat pengawasan, memperluang ruang dialog publik, dan memastikan transparasi serta akuntansibilitas dalam setiap tahapan perencanaan, cita - cita RTRW hanya akan menjadi teks normatif yang jauh dari realiasi nyata. Oleh sebab itu, pembaruan kebijakan, peningkatan kapasitas kelembagaan, dan pemanfaatan pengetahuan lokal serta data terkini menjadi krusial agar tata ruang benar benar mampu mengantisipasi risiko bencana, mengurangi ketimpangan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang tidak merusak daya dukung lingkungan.

Jika langkah langkah perbaikan tersebut dilakukan secara konsisten dan melibatkan semua pemangku kepentingan mulai dari pemerintah daerah, masyarakat sipil, akademisi hingga ini usaha maka RTRW Kota Padang dapat bertansformasi dari sekedar dokumen formal menjadi panduan hidup bagi pengelolaan ruang kota. Dengan begitu, keberadaan kebijakan ini menjadi simbol kepatuhan pada undang - undang, tetapi juga cerminan dari keseriusan pemerintah dan masyarakat untuk membangun kota yang aman, tertata, dan berdaya saing tinggi bagi generasi sekarang maupun mendatang. (*)

Rindu Syahla Humaira Aqila, mahasiswa Ilmu Politik, FISIP, Universitas Andalas

Baca Juga

Praktisi keinsinyuran nasional, Ulul Azmi, berpandangan kondisi Sumatra Barat (Sumbar) dinilai mengalami stagnasi dalam pertumbuhan ekonomi
Praktisi Keinsinyuran: Kepemimpinan di Sumbar Perlu Akselerasi Pembangunan dan Inovasi
Jalan Kebudayaan sebagai Kunci Pembangunan Berkelanjutan
Jalan Kebudayaan sebagai Kunci Pembangunan Berkelanjutan
Mencermati SDGs dan Hubungannya dengan Kearifan Lokal dalam Pembangunan
Mencermati SDGs dan Hubungannya dengan Kearifan Lokal dalam Pembangunan
Green Construction, Pola Pembangunan Berkelanjutan Disosialisasikan di Sumbar
Green Construction, Pola Pembangunan Berkelanjutan Disosialisasikan di Sumbar
Tanah Datar Bakal Bangun Pabrik Saus Tomat
Tanah Datar Bakal Bangun Pabrik Saus Tomat
Infrastruktur Minim, Nagari Nan Limo Palupuh Butuh Perhatian Serius
Infrastruktur Minim, Nagari Nan Limo Palupuh Butuh Perhatian Serius