Langgam.id – Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) salah satu yang paling terpukul akibat dampak pandemi Covid-19. Bagaimana tidak, usaha yang tengah berjalan tiba-tiba harus terhenti karena kehilangan pelanggan.
Rosmawarty (41) misalnya, pemilik usaha Dapur Yonica di Cendana Mata Air, Kota Padang ini memproduksi rendang yang dipasarkan di gerai oleh-oleh di Kota Padang. Sasarannya adalah wisatawan yang datang ke daerah itu.
Sayangnya, selama pandemi Covid-19, tidak ada wisatawan yang datang. Karena kunjungan ke objek wisata dibatasi. Alhasil dagangannya tak laku lagi dijual. Sementara roda ekonomi tetap harus berputar, dapur harus terus mengepul.
“Pembeli umumnya adalah wisatawan. Karena lagi Covid-19, wisatawan tidak ada datang, ya tidak ada yang beli (rendang),” katanya, Selasa (22/9/2020) lalu.
Untuk menyiasati seretnya penjualan, ia mencoba berjualan daring melalui aplikasi Gofood dan Grabfood, termasuk juga melakukan penjualan lewat WhatsApp dan media sosial.
Hasilnya, sedikit banyak membantu, karena ada pesanan dari luar kota, seperti Jakarta, Bandung dan Batam. Memang tidak sebanyak ketika kondisi normal.
Agar usahanya tetap terus bertahan, Rosmawarty mencoba tidak hanya membuat oleh-oleh rendang. Tetapi juga jualan makanan praktis rice bowl yang menurutnya punya pasar bagus di tengah pandemi.
“Produk rice bowl itu sudah mulai saya pasarkan sejak bulan lalu, melalui medsos dan Gofood. Alhamdulillah sudah mulai laku. Sehari, bisa terjual lebih dari 20 bowl. Hasilnya lumayan bisa menambah pendapatan keluarga,” ungkapnya.
Rice bowl buatan Dapur Yonica memiliki lima varian dengan bahan dasar nasi dan ikan tuna. Kelima varian itu adalah Tuna Rendang, Tuna Katsi Teriyaki, Tuna Katsu Rica, Tuna Katsu Sambal Matah dan Tuna Lado Hijau. Untuk satu bowl dijual dengan harga Rp13.000.
Meski sudah ada pemasukan tambahan, ia menilai belum bisa menyamai kondisi sebelum Covid-19, apalagi ada pula beban cicilan bank yang harus dibayar.
Untungnya, ada keringanan penundaan bayar cicilan pinjaman dari bank tempatnya meminjam, sehingga beban pengeluaran bisa ditekan.
Hal sama juga diakui Fitriharyanti (50) perajin perak di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumbar. Usaha perak perhiasan selama pandemi juga ikut terdampak karena pelanggan ikut berkurang.
Fitri adalah seorang perajin perak yang cukup dikenal di wilayah Agam dan Bukittinggi, karena sudah belasan tahun menggeluti usaha kerajinan tersebut.
Menurutnya, cukup sulit untuk memproduksi perak di tengah pandemi ini, karena tidak begitu banyak pelanggan yang memesan hasil karyanya, baik secara langsung maupun dengan sistem daring.
Dari berjualan kerajinan perak berupa kalung, cincin, anting dan perhiasan lainnya itu, Fitri bisa mengantongi puluhan juta dalam sebulan. Kini seiring Covid-19 melanda, pelanggannya satu persatu mulai berkurang.
Sehingga, mau tidak mau ia harus mengurangi karyawan. Tidak ingin usahanya tutup begitu saja, ia bersama sang suami memutuskan beralih usaha sementara dengan menjual kuliner gulai itiak lado mudo. Sembari, tentu saja tetap menggeluti usaha kerajinannya.
“Karena juga hobi masak, jadi apa salahnya dicoba juga usaha kuliner. Kerajinan perak juga tetap jalan,” katanya.
Dengan memanfaatkan pelanggan perak yang sudah begitu banyak hampir di seluruh pelosok kota besar di Indonesia, usaha kuliner barunya itu dipromosikan dengan tidak memakan waktu lama.
Satu persatu dari pelanggan mereka pun mencoba memesan kuliner gulai itiak lado mudo tersebut, sehingga ada yang ketagihan untuk memesannya. Karena, menurutnya gulai itiak lado mudo asal Koto Gadang memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri soal rasa.
Alhasil, dari jualan sampingan itu, omset yang diraupnya mencapai rata-rata mencapai Rp4.000.000 hingga Rp5.000.000 per bulan.
Bahkan, ketika bulan Ramadhan, omset sebanyak itu bisa diperolehnya hanya dalam waktu satu minggu.
Ia menjual satu ekor itiak lado mudo atau itiak lado ijau yang sudah dimasak tersebut seharga Rp170.000 sampai Rp200.000.
“Tergantung di mana pemesannya juga, kalau jauh harganya juga ikut naik. Tapi, harga maksimal Rp200.000 per ekor,” ujarnya.
Sejauh ini, imbuhnya, pelanggan yang sudah memesan gulai itiak lado ijau tersebut diantaranya berasal dari Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Bali, Batam dan beberapa kota lainnya.
Fitri berharap Covid-19 segera mereda dan ekonomi kembali pulih, sehingga usaha yang digelutinya bisa terus berkembang dan memberikan manfaat kepada banyak orang.
Di Tanah Air, tentu dampak Covid-19 ikut dirasakan jutaan pelaku usaha lainnya. Kebijakan yang pro UMKM jelas dibutuhkan agar kelompok penggerak ekonomi di level bawah ini tetap bisa bertahan dalam mengembangkan usahanya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mengeluarkan Stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional, salah satunya lewat POJK Nomor 11/2020 yang mengatur relaksasi atas restrukturisasi kredit debitur perorangan, UMKM, maupun korporasi terdampak Covid-19.
Lewat peraturan tersebut, sebanyak 114.608 nasabah UMKM di Sumatra Barat mendapatkan restrukturisasi atau penundaan pembayaran cicilan kredit karena usahanya ikut terdampak.
Kepala OJK Perwakilan Sumbar Misran Pasaribu mengatakan sampai 2 Oktober 2020, sebanyak 114.608 debitur bank umum dan BPR di daerah itu mendapatkan persetujuan penundaan pembayaran cicilan sebagai dampak pandemi Covid-19.
“Sebagian besar UMKM yang terdampak Covid-19 sudah mendapatkan persetujuan restrukturisasi dari bank umum maupun BPR,” katanya, Kamis (22/10/2020).
Adapun, dari total 114.608 debitur dengan total pinjaman mencapai Rp7,11 triliun, rinciannya adalah sebanyak 110.250 debitur merupakan nasabah bank umum dengan pinjaman Rp6,77 triliun, dan nasabah BPR sebanyak 4.538 debitur dengan pinjaman Rp347 miliar.
OJK mencatat jumlah UMKM terdampak akibat pandemi Covid-19 di Sumbar mencapai 223.143 nasabah dengan rincian sebanyak 198.704 debitur merupakan nasabah bank umum dengan pinjaman mencapai Rp9,75 triliun.
Kemudian, sebanyak 24.438 debitur adalah nasabah BPR dengan pinjaman sebesar Rp830 miliar. Total pinjaman nasabah UMKM terdampak mencapai Rp10,58 triliun.
Misran mengatakan pelaku usaha yang merasa usahanya terdampak dan butuh penundaan bayar cicilan pinjaman untuk segera melapor ke bank pemberi pinjaman dan melaporkan kondisi keuangannya.
“Belum tentu semua debitur yang mengajukan penundaan akan disetujui, tergantung kondisi keuangan dan usahanya menurut penilaian bank atau perusahaan leasing,” kata Misran.
Selain beleid mengenai restrukturisasi itu, OJK juga mengeluarkan POJK 18/2020 terkait kewenangan OJK memberikan perintah tertulis untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan/atau integrasi yamg bertyjuan stabilitas industri keuangan, dan POJK Nomor 34/2020 terkait relaksasi bagi BPR dan BPRS pada masa pandemi Covid-19.
Selain itu, juga ada POJK 14/2020 dan POJK 40/2020 untuk industri jasa keuangan nonbank, POJK 15/2020, POJK 16/2020, POJK 17/2020, POJK 37/2020 dan SEOJK Nomor 3/2020 terkait industri pasar modal.
Selanjutnya, juga ada POJK 36/2020 atas perubahan POJK 4/2020 untuk semua industri keuangan. Tujuannya, kata Misran, berbagai aturan itu dapat menahan dampak Covid-19 terhadap sektor keuangan dan perekonomian nasional.
Ia mengatakan dampak kebijakan relaksasi ke sektor perbankan di daerah itu ikut membantu menekan laju rasio kredit macet atau non performing loan (NPL), yang angkanya per Agustus 2020 sebesar 2,59 persen. Lebih baik dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 2,74 persen.
Wakil Gubernur Sumatra Barat Nasrul Abit menyebutkan dampak Covid-19 hampir dirasakan semua pelaku usaha di Sumatra Barat, terutama UMKM. Jumlah UMKM dari seluruh usaha mencapai 99,93 persen dari total 593.100 unit pelaku usaha mikro hingga usaha besar di daerah itu.
Ia merinci, usaha besar terdata sebanyak 419 unit atau 0,07 persen. Sisanya merupakan UMKM. Usaha menengah sebanyak 7.900 unit atau 1,33 persen dengan omzet rata-rata pertahun sebesar Rp2,5 hingga Rp50 miliar.
Kemudian, usaha kecil sebanyak 53.431 unit atau 9,01 persen dengan pendapatan pertahun sebesar Rp300 juta sampai dengan Rp2,5 miliar dan usaha mikro tercatat sebanyak 531.350 unit atau 89.59 persen.
“Pandemi Covid-19 ini, sangat berdampak terhadap sektor UMKM. Kita tidak bisa terus larut dalam kondisi ini. Kita harus bangkit dalam tatanan baru,” katanya.
Ia mengatakan pemerintah setempat membantu dengan memberikan stimulus berupa kemudahan akses modal, pembinaan kepada pelaku usaha, dan membantu penjualan dengan membuka peluang-peluang pasar yang bisa dijangkau.
“Kita berikan subsidi bunga kepada pelaku UMKM untuk permodalan, juga membantu pemasaran secara online dengan memanfaatkan berbagai macan marketplace yang ada,” katanya.
Selain itu, tentu saja menerapkan protokol kesehatan dengan ketat di setiap gerai pelaku usaha, sehingga usaha yang dijalankan tetap bisa berkembang dan bangkit lagi.
Nasrul menilai sejumlah kebijakan pemerintah dan otoritas keuangan selama ini cukup efektif menahan dampak buruk gejolak ekonomi, terutama kepada pelaku usaha mikro kecil dan menengah yang paling rentan mengalami kegagalan usaha. (Heri Faisal)