Menjemput Asa Anak-anak Mentawai

ANAK MENTAWAI

Pelajar di Sikakap, Kabupaten Kepulauan Mentawai menyeberangi selat Sikakap. Hal itu merupakan rutinitas mereka sehari-hari agar bisa mendapatkan pendidikan (Foto: Zulfikar/Langgam.id)

Langgam.id - Januari 2014, Ave Maria Sangong, seorang anak di Kabupaten Kepulauan Mentawai terakhir kali menginjakkan kaki di rumahnya. Demi harapan dan cita-cita ia meninggalkan keluarga. Ia memilih mencari orang tua angkat agar pendidikannya tetap dilanjutkan. Karena, pulang ke rumah orang tua, Ave Maria harus menghadapi kenyataan untuk dinikahkan.

Keinginan untuk menjadi guru demi mencerdaskan generasi penerus di Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan harapan terbesar bagi Ave Maria. Hal itu juga sudah diutarakan kepada orang tuanya. Namun, orang tua Ave tetap bersikukuh agar anak perempuannya itu segera menikah.

“Tidak usah saja sekolah, kamu menikah saja,” Ave maria mengulang perkataan ayahnya sebelum ia memutuskan pergi demi menggapai cita-cita, kabur dari rumah, mencari jalan sendiri untuk mengabdi kepada Negeri ini.

Kejadian itu, kata Ave Maria, hari Jumat, namun ia tidak ingat peris tanggal dan bulannya. Pukul 12.00 WIB Ave Maria mulai mengemasi barang-barang dan keperluan sekolahnya, dan pergi ke daerah Saliguma, tempat ia menimba ilmu di salah satu Sekolah Dasar (SD) di daerah tersebut.

Saat itu, Ave Maria masih semester II kelas 6 SD. Jarak rumah dan sekolahnya diperkirakan memakan waktu empat jam dengan berjalan kaki.

Melewati hutan dan rawa-rawa, Ave Maria meninggalkan keluarganya.

Setelah menamatkan pendidikan di SD, Ave Maria ingin menjajakkan kaki di Kota Padang, mencari cara agar ia bisa melanjutkan pendidikannya ke tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).

“Saat itu saya masih takut untuk kembali ke rumah. Apalagi saya sudah menamatkan SD, jika pulang kerumah pasti ayah akan kembali menyuruh saya menikah,” ceritanya.

Tidak ada pilihan lain, kata Ave, biarlah tinggal di Padang, nanti saya cari panti asuhan saja, yang penting saya dapat melanjutkan sekolah. “Agar saya bisa menggapai cita-cita untuk menjadi seorang guru,” tegas Ave Maria.

Itulah salah satu kisah yang dialami anak-anak di Kabupaten Kepulauan Mentawai, putus sekolah karena dipaksa menikah, bahkan ada juga yang putus sekolah karena minimnya akses, seperti yang dialami Agustina Tasiriloti, salah seorang anak Mentawai di Dusun Tinambu, Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Tengah, Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Agustina tidak sanggup melanjutkan pendidikannya karena harus jauh dari orang tua. Sekolah di kampungnya hanya sampai kelas empat SD, jika ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya, ia harus pergi ke pusat kecamatan dengan jarak tempuh hingga mencapai enam jam dengan berjalan kaki.

Agustina telah mencoba melanjutkan pendidikan di pusat kecamatan. Namun, hanya berjalan selama tiga bulan, hingga akhirnya ia pulang dan memutuskan untuk berhenti sekolah karena tidak sanggup jauh dari keluarga dan orang tua. Saat itu, Agustina masih berumur 12 tahun.

“Saya tunggu saja dulu, mudah-mudahan nanti di kampung ini sekolah bisa sampai kelas enam,” ujarnya.

Tidak hanya keresahan bagi seorang anak di usia yang masih tergolong kecil dan masih membutuhkan perhatian serta kasih sayang orang tua. Bahkan, orang tua sekalipun juga merasa berat hati untuk melepaskan buah hatinya menuntut ilmu jauh dari pangkuannya.

Seperti yang diceritakan Musa Salabok (60) warga Dusun Tinambu yang harus merelakan anaknya sekolah di Saliguma untuk melanjutkan pendidikan. “Ada anak saya sekolah di Saliguma, laki-laki. Sulit bagi kami melepasnya, ke sana itu jauh, jalan melalui perbukitan, kalau hujan, pendakiannya licin dan terjal juga, tak jarang jalan berlumpur harus kami hadang,” ujarnya.

Itulah sederet kisah perjuangan anak-anak Mentawai atau yang juga dikenal dengan nama Bumi Sikerei untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Berbagai tantangan harus mereka hadapi, terkadang mereka juga harus bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga.

ANAK MENTAWAI

Anak-anak Goiso Oinan, Sipora Utara, Mentawai pulang ke rumah menggunakan perahu setelah membantu orang tua mereka sambil bermain di pantai (Foto: Zulfikar/Langgam.id)

Upaya mengantisipasi hal itu tak terulang dan terus terjadi, pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai telah berkomitmen dalam menjalankan program Kabupaten Layak Anak, dan telah dimulai sejak 2019.

Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DSP3A) Kabupaten Kepulauan Mentawai menargetkan 2020, program percepatan dalam mewujudkan kabupaten layak anak tahun 2020 akan ditingkatkan.

Kepala DSP3A Mentawai, Nicolaus Sorot Ogok menyebutkan, upaya pemenuhan hak anak, akan disinergikan dengan stakeholder terkait, agar pemenuhan hak anak dapat terwujud. “Diantaranya, pencapaian sekolah dan fasilitas ramah anak, itu yang akan segera kita bentuk,” ujarnya kepada Langgam.id, Kamis (27/2/2020).

Dicontohkannya, pintu sekolah harus terbuka dari luar, agar ketika terjadi bencana seperti gempa bisa didorong dan terbuka, kemudian pagar sekolah tidak boleh dari besi, kalau bisa dari tanaman, dan juga akses pendidikan yang mempermudah pelajar menjangkaunya.

“Kita akan mengkoordinir kegiatan ini, namun pelaksananya dari dinas terkait,” jelasnya.

Ruang Aspirasi dalam Musrembang

Tidak hanya itu, menurut Nicolaus, dalam upaya pemenuhan hak anak, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) juga memberikan ruang bagi anak-anak Mentawai untuk ikut dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang).

Jadi, katanya, ada ruang kritis bagi anak untuk menyampaikan aspirasi dan apa-apa yang seharusnya mereka inginkan dan butuhkan. “Kita ajak mereka, kita dengar keinginannya dan kita fasilitasi,” ujarnya.

Hingga saat ini, kata Nicolaus, di Kabupaten Kepulauan Mentawai sudah ada dua forum anak untuk tingkat kecamatan. “Kalau untuk tingkat kabupaten, itu sudah ada, bahkan sudah ikut dalam kegiatan di provinsi. Kalau untuk tingkat kecamatan, hingga saat ini baru dua dan tahun ini kita targetkan bentuk dua lagi,” ungkapnya.

Hadirnya ruang bagi anak-anak Mentawai tersebut, kata Nicolaus, kedepannya tidak ada lagi anak-anak di Bumi Sikerei yang terlantar atau kehilangan ruang bermain karena harus membantu orang tua mencukupi kebutuhan keluarga.

“Semoga anak-anak bisa berdialog menyampaikan aspirasi terkait haknya, terutama bisa terlibat dalam Musrembang,” ucapnya.

Diceritakan Nicolaus, dalam Musrembang akhir 2019, pemerintah sudah melibatkan forum anak untuk ikut serta. Saat itu, katanya, ada satu orang yang diutus untuk mengikuti kegiatan Musrembang.

“Mereka telah hadir bersama kita, mereka sampaikan apa yang dibutuhkan. Saat itu, mereka meminta agar pengurusan akte kelahiran dipermudah. Lalu, juga soal pembuatan Kartu Identitas Anak (KIA), itu yang mereka sampaikan dalam Musrembang. Kita bangga, mereka terlibat langsung dengan persoalan yang terjadi hari ini yang menyangkut hak mereka,” ungkap Nicolaus.

Hadirnya forum anak di tengah-tengah masyarakat, menurut Nicolaus merupakan sebuah kebanggaan bagi kita semua. “Ini akan terus kita dorong, kita fasilitasi hingga ke pelosok negeri ini, juga tidak luput bagi anak-anak di pedalaman,” ujarnya.

Terkait kendala-kendala yang ditemui, Nicolaus menegaskan akan segera mencarikan solusinya. “Kita baru, masih belajar, tapi kita pantang surut, ini akan terus kita kembangkan hingga terciptanya kabupaten yang benar-benar ramah anak,” katanya.

Lalu, dalam harapan menuju Kabupaten Layak Anak juga mendapat dukungan penuh dari Bupati, Yudas Sabaggalet dan Wakil Bupati Mentawai, Kortanius Sabeleake.

ANAK MENTAWAI

Pelajar Sekolah Hutan atau yang dikenal juga dengan nama Sekolah Uma Mentawai di Perkampungan Gorottai, Dusun Ukra, Desa Malancan, Kecamatan Siberut Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai (Foto: Zulfikar/Langgam.id)

Selain mengikutsertakan anak-anak dalam musrembang, sejumlah fasilitas juga akan terus dibenahi, salah satunya fasilitas kesehatan.

Bahkan, Bupati Mentawai, Yudas Sabaggalet telah memerintahkan dinas kesehatan untuk segera membentuk program layak anak. Bahkan, hingga saat ini sudah dicanangkan sebanyak 15 puskesmas layak anak.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Mentawai, Lahmuddin Siregar mengatakan, saat ini sudah ada 15 puskesmas yang sudah menandatangani kesepakatan demi mewujudkan komitmen menjadikan Mentawai sebagai Kabupaten Layak Anak.

“Kabupaten layak anak kan bisa dilihat dari program puskesmas ramah anak, tetapi bukan hanya puskesmas saja, termasuk sekolah juga salah satu objek pantauan. Nah, kalau kita di kesehatan, bagaimana kita bisa melindungi anak di sektor kesehatan,” ujar Lahmuddin di Tuapeijat beberapa waktu lalu.

Ada beberapa indikator yang harus disiapkan untuk mendukung puskesmas ramah anak, misalnya, kata Lahmuddin, menyiapkan tempat untuk anak-anak yang datang ke puskesmas yang aman dan nyaman serta dapat dijadikan tempat bermain bagi anak-anak.

“Jangan sampai mereka (anak-anak) datang ke puskesmas untuk berobat, malah tambah sakit. Tidak hanya itu, kita juga meminta puskesmas untuk menyediakan ruang menyusui bagi ibu dan bayi. Tentu, itu harus nyaman dan aman, itu yang akan kita fasilitasi,” ungkapnya.

Ia menegaskan, anak-anak adalah generasi penerus, ini yang harus kita persiapkan demi masa depan yang lebih baik, katanya. (Zulfikar)

Baca Juga

Mentawai Keluar dari Status Daerah Tertinggal, Audy: Kolaborasi Pusat dan Daerah
Mentawai Keluar dari Status Daerah Tertinggal, Audy: Kolaborasi Pusat dan Daerah
Mitigasi Bencana, Pemprov Isi Lumbung Sosial Mentawai Rp385 Juta
Mitigasi Bencana, Pemprov Isi Lumbung Sosial Mentawai Rp385 Juta
Gapopin Sumbar Bagikan 300 Kacamata Gratis di Mentawai
Gapopin Sumbar Bagikan 300 Kacamata Gratis di Mentawai
Resmikan Bandara Mentawai, Jokowi Harapkan Kunjungan Wisatawan Meningkat
Resmikan Bandara Mentawai, Jokowi Harapkan Kunjungan Wisatawan Meningkat
Juara I ADWI 2023, Berikut Pesona Desa Muntei Mentawai
Juara I ADWI 2023, Berikut Pesona Desa Muntei Mentawai
Gubernur Sumatra Barat (Sumbar) Mahyeldi Ansharullah melakukan kunjungan kerja selama dua hari di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Bakal Diresmikan Presiden, Gubernur Sumbar Tinjau Kesiapan Bandara Rokot Mentawai