*Penulis: Aisyah Shabila Fajrin (Mahasiswi Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas)
Pendahuluan
Saat ini, globalisasi semakin berkembang, begitu juga dengan digital. Era digital itu berkembang seiring dengan globalisasi yang berkembang pesat juga. Dari era digital yang berkembang ini, dapat dilihat bahwa peran media massa semakin kompleks dan dinamis. Media massa kini dapat menyebarluaskan informasi dalam hitungan detik melalui platform cetak, elektronik, maupun digital, hal ini tentunya sangat berbeda dengan era sebelumnya.
Era saat ini, media sosial dan portal berita online telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat, memungkinkan mereka mengakses informasi kapan saja dan dimana saja. Dengan demikian, pembentukan opini masyarakat baik di bidang politik, sosial, dan budaya sangat dipengaruhi oleh media massa saat ini. Misalnya, dalam ranah politik, media seringkali menjadi alat untuk memobilisasi dukungan terhadap suatu isu atau isu tertentu dan mempengaruhi persepsi masyarakat.
Selanjutnya di ranah sosial, tren dan stereotip diciptakan oleh media massa. Dan terakhir, di bidang kebudayaan, media biasanya membentuk identitas dan nilai-nilai kelompok sosial. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh media massa sangatlah besar. Media tidak hanya menjadi wahana informasi, namun juga menjadi alat pembentuk persepsi dan pandangan masyarakat terhadap berbagai isu yang berkembang.
Namun, seiring dengan semakin meluasnya kebebasan pers, muncul tantangan baru mengenai bagaimana media harus memenuhi tanggung jawab dan etika jurnalistiknya. Kebebasan pers yang dijamin oleh Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentu bukan kebebasan yang tidak terbatas. Selain kebebasan tersebut, terdapat undang-undang dan peraturan yang dirancang untuk melindungi hak-hak individu dan memastikan bahwa prinsip-prinsip kebenaran, akurasi dan keadilan tetap diutamakan ketika menyebarkan berita kepada publik. Oleh karena itu, terdapat mekanisme hukum yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan pers dan perlindungan hak individu.
Dalam konteks ini, hak menjawab, hak mengubah atau hak mengkoreksi, dan hak menolak merupakan konsep yang sangat penting. Ketiga hak ini memberikan kesempatan bagi individu atau lembaga yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media untuk mengoreksi informasi yang salah atau tidak akurat. Hak untuk membalas memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menjelaskan atau membela diri terhadap pesan yang mereka anggap berbahaya. Hak atas perbaikan memungkinkan media diminta untuk memperbaiki kesalahan faktual dalam pemberitaan, sedangkan hak untuk menolak melindungi jurnalis dari kewajiban mengungkapkan sumber rahasia.
Selain itu, ketentuan hukum pidana juga berfungsi untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban penyalahgunaan media. Ketentuan pidana Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bertujuan untuk memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang menyebarkan informasi palsu atau mencemarkan nama baik orang di media massa.
Dalam situasi seperti ini, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menjamin keadilan, namun juga sebagai alat untuk melindungi hak-hak individu dari dampak negatif pelaporan yang tidak akurat.
Pembahasan mengenai hak-hak ini sangat penting untuk menjaga tanggung jawab media massa, terutama dalam situasi di mana pesan-pesan dapat dengan mudah disalahpahami atau disebarluaskan tanpa verifikasi yang tepat. Artikel ini memberikan penjelasan komprehensif mengenai konsep hak jawab, hak koreksi, hak tolak, dan ketentuan hukum pidana terkait media massa di Indonesia.
Artikel ini menggunakan berbagai undang-undang dan peraturan yang relevan untuk menjelaskan bagaimana hak-hak tersebut diterapkan dalam aktivitas jurnalistik sehari-hari, dan bagaimana pihak-pihak yang dirugikan karena pemberitaan yang tidak akurat atau penyimpangan dari aturan jurnalisme yang baik.
Hak Jawab
Hak untuk menjawab adalah alat penting untuk melindungi hak individu dan kelompok terhadap pemberitaan media yang tidak akurat ataup pun merugikan. Hak ini memperbolehkan seseorang atau organisasi untuk memberikan penjelasan atau klarifikasi atas informasi yang dianggapnya tidak sesuai dengan kenyataan. Jika hak atas umpan balik ini tidak dijamin, masyarakat akan kehilangan kemampuan untuk mendapatkan informasi lengkap, sementara mereka yang dirugikan oleh berita tersebut berisiko menderita kerugian moral, sosial, dan bahkan materi.
Menurut Pasal 1 Nomor 11 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, hak jawab memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media untuk memberikan penjelasan atau membela diri. Hal ini mengakibatkan media menerbitkan tanggapan atau koreksi dalam proporsi yang sama. Hak jawab ini memastikan bahwa informasi yang diterima masyarakat tidak hanya sepihak namun juga mencerminkan kebenaran dan keadilan.
Misalnya, dalam kasus-kasus yang melibatkan tokoh masyarakat, seperti pejabat publik atau selebritis, sering kali mereka menjadi subyek pemberitaan yang bersifat spekulatif atau tidak berdasarkan fakta yang kuat. Dalam kasus seperti ini, hak menjawab memungkinkan mereka memberikan klarifikasi mengenai kejadian terkini.
Di Indonesia, beberapa kasus penting terkait hak jawab muncul ketika media mempublikasikan informasi terkait dugaan korupsi atau perilaku tidak etis yang kemudian dibantah oleh pihak-pihak yang terlibat. Media mempunyai kewajiban untuk mempublikasikan tanggapan-tanggapan ini dengan cara yang mudah diakses oleh publik untuk menghindari distorsi informasi.
Namun perlu diingat bahwa hak jawab ini tidak bersifat mutlak. Kriteria tertentu harus dipenuhi untuk menggunakan hak atas umpan balik, misalnya, informasi yang dianggap berbahaya harus mengandung unsur yang menyesatkan atau tidak akurat. Selain itu, pihak yang berhak menjawab juga harus membuktikan bahwa laporan tersebut benar-benar merusak reputasinya. Hal ini untuk memastikan bahwa hak jawab tidak disalahgunakan sebagai alat untuk menekan kebebasan pers atau membatasi kritik yang sah.
Hak Koreksi
Hak koreksi atau ada juga yang menyebutnya dengan hak rektifikasi adalah hak yang diberikan kepada individu atau organisasi untuk memperbaiki kesalahan atau kelalaian faktual yang terdapat dalam suatu laporan. Berbeda dengan hak jawab yang memberikan ruang klarifikasi atau penjelasan, hak rektifikasi lebih menitikberatkan pada kesalahan faktual dalam suatu informasi, seperti kesalahan ejaan nama, tanggal, lokasi, atau data lain yang dapat diverifikasi secara obyektif.
Dalam Pasal 5 ayat (2) UU Pers mengatur bahwa siapa pun yang merasa dirugikan oleh suatu pasal berhak meminta media untuk mengoreksi pasal tersebut. Koreksi ini harus dilakukan secara jelas oleh lembaga pers dan tanpa merugikan pihak yang meminta koreksi. Proses remediasi yang tepat waktu dan transparan sangat penting untuk menjaga kredibilitas media dan kepercayaan publik.
Sebagai contoh jika media salah memberitakan jumlah korban bencana alam, maka mereka wajib segera memperbaikinya. Kesalahan seperti ini, meskipun terlihat kecil, dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap peristiwa tersebut dan juga dapat menimbulkan spekulasi atau ketakutan yang tidak perlu. Oleh karena itu perbaikan harus segera dilakukan dan sesuai dengan kesalahan yang terjadi.
Koreksi dalam konteks media massa bukan hanya tentang menjaga integritas informasi tetapi juga tentang melindungi hak-hak mereka yang mungkin terkena dampak misinformasi. Koreksi yang tepat waktu juga menunjukkan komitmen media terhadap keakuratan dan tanggung jawab profesional. Di era digital, dimana informasi menyebar begitu cepat melalui jejaring sosial dan platform online, misinformasi dapat memberikan dampak yang signifikan. Oleh karena itu, proses editing harus dilakukan lebih efisien dan cepat dibandingkan di era mesin cetak.
Hak Tolak
Hak tolak atau bisa disebut juga dengan hak menolak, merupakan hak seorang jurnalis untuk menolak memberikan informasi mengenai sumber informasi yang dirahasiakan. Hak ini penting dalam konteks kebebasan pers, karena jurnalis seringkali memperoleh informasi dari sumber yang tidak mau disebutkan namanya demi alasan keamanan atau perlindungan pribadi.
Di Indonesia, hak menolak diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU Pers yang menyatakan bahwa jurnalis berhak untuk tidak mengungkapkan sumber informasi rahasianya, kecuali jika diminta oleh pengadilan, misalnya untuk alasan yang baik jika terjadi masalah yang serius dan juga ancaman terhadap keamanan nasional atau kehidupan seseorang.
Hak untuk menolak dimaksudkan untuk melindungi jurnalis dan narasumber, terutama dalam kasus-kasus berisiko tinggi, seperti investigasi korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, atau kegiatan kriminal. Sumber yang memberikan informasi kepada jurnalis tanpa perlindungan hak menolak dapat menghadapi intimidasi, ancaman fisik, atau sanksi sosial. Oleh karena itu, penting bagi jurnalis untuk menghormati kerahasiaan demi kepentingan publik.
Misalnya, seorang whistleblower yang mengungkapkan informasi mengenai tindak pidana korupsi di suatu instansi pemerintah tentu tidak ingin identitasnya diketahui publik karena dapat membahayakan keamanan dirinya. Jurnalis yang menerima informasi ini mempunyai kewajiban etis dan hukum untuk melindungi identitas sumber-sumber tersebut. Namun, jika kasus tersebut melibatkan ancaman serius terhadap keamanan nasional atau keselamatan publik, seperti insiden teroris, pengadilan dapat memerintahkan jurnalis untuk mengungkapkan sumber informasi tersebut demi kepentingan publik.
Hak untuk tidak ikut serta juga merupakan alat penting untuk menjamin jurnalis dapat bekerja secara bebas tanpa tekanan dari pihak-pihak yang mungkin dirugikan oleh pemberitaan mereka. Dalam beberapa kasus, ancaman pengungkapan identitas narasumber dapat dijadikan alat untuk menekan kebebasan pers, sehingga hak menolak berfungsi melindungi integritas jurnalistik.
Ketentuan Hukum Pidana Terkait Media Massa
Selain hak untuk melindungi individu dan jurnalis, ketentuan hukum pidana juga menjadi landasan hukum bagi tindakan yang melanggar etika dan hukum dalam pemberitaan di media massa. Di Indonesia, terdapat beberapa ketentuan hukum pidana terkait komunikasi, antara lain Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kedua undang-undang ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan media, terutama terkait pencemaran nama baik dan penyebaran informasi palsu.
Misalnya saja Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang melarang penyebaran informasi elektronik yang mengandung unsur menyinggung atau mencemarkan nama baik. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Peraturan ini relevan di era digital, dimana hoaks dan pencemaran nama baik dapat menyebar dengan cepat melalui media sosial dan platform online lainnya. UU ITE memberikan kerangka hukum untuk menindak pihak-pihak yang dengan sengaja menyebarkan informasi yang merugikan individu atau kelompok.
Sebaliknya, KUHP juga mengatur tentang pencemaran nama baik. Pasal 310 dan 311 KUHP mengatur bahwa pencemaran nama baik yang dilakukan dengan lisan atau tulisan, baik disengaja maupun tidak disengaja, merupakan pelanggaran yang diancam dengan sanksi pidana. Pencemaran nama baik yang dilakukan melalui tuduhan palsu atau fitnah dapat dikenakan hukuman yang lebih berat. Ketentuan ini memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan karena adanya informasi yang tidak berdasar atau mencemarkan nama baik.
Namun perlu diingat bahwa penggunaan ketentuan hukum pidana yang berkaitan dengan pers tidak boleh digunakan untuk menekan kebebasan pers. Media massa berperan sebagai pengawas sosial yang bertugas menyampaikan informasi akurat dan mengedukasi masyarakat. Oleh karena itu, penanganan pers harus sangat hati-hati agar tidak melanggar prinsip kebebasan pers yang dijamin Konstitusi.
Kesimpulan
Hak jawab, hak koreksi, hak menolak dan ketentuan hukum pidana terkait pers merupakan pilar penting yang menjaga keseimbangan antara kebebasan pers dan perlindungan hak individu. Hak jawab memberikan ruang bagi individu atau organisasi untuk mengoreksi informasi yang merugikan dirinya, sedangkan hak rektifikasi menjamin informasi yang disampaikan kepada publik akurat dan bebas dari kesalahan faktual.
Hak untuk tidak ikut serta memberikan perlindungan kepada jurnalis untuk menjaga kerahasiaan sumber mereka, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan informasi berisiko tinggi atau sensitif.
Sementara itu, ketentuan hukum pidana, baik dalam UU ITE maupun KUHP, memberikan sanksi bagi perilaku kasar di media, seperti penyebaran informasi palsu, fitnah, atau pencemaran nama baik. Peraturan ini diperlukan untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif penyalahgunaan media, terutama di era digital dimana informasi menyebar dengan sangat cepat.
Dengan adanya hak-hak dan dan peraturan hukum tersebut, diharapkan media dapat berfungsi secara maksimal sebagai instrumen kontrol sosial, pemberi informasi yang akurat, dan pelindung hak-hak masyarakat. Pers yang bebas dan bertanggung jawab adalah fondasi masyarakat demokratis yang sehat, dimana setiap orang mempunyai akses terhadap informasi yang jujur dan dapat dipercaya.
Referensi
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). (t.thn.).
Luhulima, S. (2005). Aspek Hukum Pers dan Penyiaran di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sudibyo, A. (2009). Kebebasan Pers dan Akuntabilitas Pers. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). (t.thn.).
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. (t.thn.).