Langgam.id - Mata pria tua itu jauh menengadah ke langit-langit atap rumahnya. Seakan terjatuh dalam bayang-bayang ingatan masa lalu, ia sering termenung kala mengingat cikal bakal peristiwa yang kini menjadi konflik di nagarinya. Datuak Payuang Putiah (70) adalah pamuncak adat di Nagari Bidar Alam, Kecamatan Sangir Jujuan, Kabupaten Solok Selatan.
Sebuah nagari permai yang pernah jadi basis perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) 75 tahun yang lalu. Walau telah lewat lebih dari setengah abad, tampaknya saat ini nagari Bidar Alam masih bergejolak. Bukan dari serangan pasukan sekutu, melainkan menghadapi konflik dengan sebuah perusahaan.
PT Ranah Andalas Plantation (RAP), sebuah perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan kelapa sawit pimpinan Haji Bakhrial, masuk ke Solok Selatan pada tahun 2005 lalu. Mereka kemudian menjajaki kerja sama dengan banyak nagari di Solok Selatan, membangun kebun dan menanam kelapa sawit di Bidar Alam.
Sayang, pada tahun 2020 lalu, PT RAP melaporkan enam orang anak nagari Bidar Alam ke kepolisian atas dalil pencurian.
Datuk Payuang Putiah sangat menyesali adanya laporan tersebut. Ia hanya bisa menghembuskan nafas panjang, mengingat, enam orang anak kemenakan Bidar Alam itu mendekam di balik sel tahanan.
Segala peristiwa yang terjadi di Bidar Alam dalam 18 tahun terakhir katanya, tidak sesuai harapan masyarakat nagari di awal rencana pembangun perkebunan kelapa sawit.
Persisnya kata Datuak Payuang Putiah, semua bermula pada tahun 2004. Saat itu Kabupaten Solok Selatan baru akan berpisah dari wilayah administrasi Kabupaten Solok. Mulanya kata Inyiak (sapaan lain Datuak Payuang Putiah), belum banyak nagari di Solok Selatan yang menanam kelapa sawit.
Sungai Kunyik adalah salah satu nagari yang mula-mula menanam sawit. Berdasarakan penuturan Inyiak Payuang, sungai kunyik adalah nagari yang miskin. Masyarakatnya sebelum kehadiran sawit hanya bekerja sebagai penganyam Niru. Sebuah tampah atau wadah pembersih padi yang terbuat dari pohon bambu.
Kemudian pada tahun 90-an, sawit mulai ditanam di Sungai Kunyit. Dari hasil sawit, masyarakat Sungai Kunyik mendapat hasil yang cukup memuaskan. Mengubah nagari yang semula miskin itu menjadi tempat yang layak untuk berbuat dan mencari penghidupan.
"Dari situlah timbul keinginan anak kemenakan Bidar Alam untuk menanam sawit dan mencari investor," ucap Inyiak Payuang kepada Langgam.id saat bercerita di Jorong Batikan tempat kediamannnya, Sabtu (09/09/2023).
Kebetulan saat itu ada urang sumando (menantu laki-laki) Bidar Alam yang bekerja di dinas kehutanan provinsi Sumatera Barat. Namanya Fauzi. Dialah kata Inyiak Payuang, yang membawa beberapa calon investor untuk mendirikan perkebunan kelapa sawit di Bidar Alam. Tak elak, salah satunya adalah PT RAP yang kala itu dipimpin oleh Arkadius (kini anggota DPRD Sumbar).
"Iyo ka baniat ndak mendirikan PT kata Arkadius. Masyarakat berharap melihat perubahan," tuturnya. Seiring terjadinya pertemuan dan kesepakatan, akhirnya diambil kesepakatan dengan pola bagi hasil antara masyarakat Bidar Alam dan PT RAP. Bukan dengan skema inti-plasma yang juga biasa diterapkan dalam pola kerja sama pembangunan kebun kelapa sawit.
Pada saat ini belum tampak ada kejanggalan dari kerja sama yang dijajaki tersebut. Hanya saja untuk memudahkan perumusan nota perjanjian kerja sama dengan masyarakat, dari ratusan keluarga yang memiliki tanah garapan di Bidar Alam, dibentuk lah sebuah tim.
Inyiak Payuang mengatakan awalnya tim itu di isi oleh tujuh (7) orang. Terdiri dari dua orang Niniak Mamak dari sepuluh suku yang ada di Bidar Alam, dua alim ulama, dan tiga orang cadiak pandai. Kemudian ada tambahan dari pihak luar (pemerintah) dua orang. Jadilah tim sembilan (9) sebagai perumus nota kerja sama antara PT RAP dan masyarakat nagari Bidar Alam.
"Alasan pembentukan ini (tim 9 -red) karena PT ndak bisa langsung berhubungan dengan Niniak Mamak atau Kerapatan Adat Nagari karena itu hal adat," ucap Inyiak Payuang.
Lalu disepakati, keuntungan dari hasil penanaman sawit akan dibagu sebanyak 60% untuk PT dan 40% untuk masyarakat. Klausul perjanjian ini lah yang dikemudian hari akan menyebabkan konflik hingga pelaporan anak kemenakan nagari Bidar Alam ke kepolisian.
Sebelum membahas upaya yang disebut masyarakat Bidar Alam sebagai bentuk kriminalisasi petani oleh PT RAP ini, sebenarnya bagaimana lanskap peristiwa dari konflik panjang di tanah perjuangan PDRI tersebut?
Izin Lokasi, Perkebunan, dan MoU Pertama
Seperti ditulis di atas, PT RAP pada awalnya tidak hanya menjaring kerja sama dengan nagari Bidar Alam. Tetapi dengan beberapa nagari. Pada tanggal 29 Juli 2005, Penjabat (Pj) Bupati Solok Selatan Marzuki Onmar saat itu menandatangi surat keputusan bernomor 121/BUP-2005. Prihal Izin Lokasi Untuk Keperluan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Ranah Andalas Plantation.
Luas izin yang diberikan tak tanggung-tanggung. Yakni menghampar 14.600 hektar di enam nagari. Detailnya, 10.000 Hektar areal berstatus bebas di Nagari Lubuk Malako dan Bidar Alam di Kecamatan Sangir Jujuan. Serta di Nagari Abai dan Dusun Tangah di Kecamatan Sangir Batang Hari.
4.600 hektar lainnya izin diberikan di areal bekas plasma karet PT. Perkebunan Nusantara VI di Nagari Sungai Kunyit Kecamatan Sangir Jujuan.
Dengan catatan, perolehan tanah dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan. Kedua, keputusan izin lokasi tidak mempunyai hak apapun atas tanah yang ditunjuk dalam izin sebelum tanah tersebut dibebaskan. Keputusan itu juga tidak mengurangi hak keperdataan bagi pemilik tanah yang berada di lokasi.
Berselang enam bulan, tepatnya pada 27 Februari 2006, Bupati Syahrizal mengeluarkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) PT RAP di atas izin lokasi tersebut. PT RAP melalui keputusan itu berkewajiban melaksanakan pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 14.600 hektar paling lambat tahun keempat sejak IUP dikeluarkan.
PT RAP juga diharuskan mengelola usaha perkebunan secara profesional, transparan, partisipatif, berdaya guna, dan berhasil guna.
Setelah mengantongi beberapa izin untuk melakukan usaha perkebunan, PT RAP lewat direkturnya Arkadius, saat itu mulai menjajaki MoU atau perjanjian dengan beberapa nagari. Khusunya nagari Bidar Alam.
Pada Senin 01 Mei 2006, disepakati sebuah MoU pembangunan perkebunan kelapa sawit di kanagarian Bidar Alam. Masyarakat Bidar Alam dalam hal ini sebagai pihak pertama, diwakili oleh niniak mamak, pemangku adat, tokoh masyarakat dan pemuda.
Dalam berita acara penandatangan MoU, beberapa diantaranya adalah Amril Baharuddin Camat Sangir Jujuan, Chaidir B Wali Nagari, ST.R. I Payung Putih Ketua KAN, Asmar Ketua Badan Pemusyawaratan/Bamus, Dedi Arisandi Ketua Pemuda, Yudhi Wahyudi dan Sudirman dari PT RAP, Syamsurizaldi Kasubag Perangkat Daerah Pemda Solok Selatan. MoU itu turut diketahui oleh Bupati Solok Selatan Syafrizal.
Jika mengacu kepada keputusan izin lokasi, perjanjian perolehan tanah harus dilakukan antara pihak yang berkepentingan. Dedi Arisandi ketua pemuda saat itu kepada Langgam.id mengatakan, pembentukan tim perumusan MoU ini sudah seizin dari anak kemenakan kepada niniak mamak.
"Bagaimana penyerahan lahan dengan hitungan 60% 40%, ndak mungkin berurusan dengan semua masayrakat. Setelah itu, lalu ada surat penyerahan dari individu kepada mamak masing-masing," katanya, Selasa (12/09/2023).
Sebab tanah yang akan dibangunkan kebun kelapa sawit itu adalah tanah garapan masyarakat. Bukan tanah ulayat kaum atau nagari.
Hapison salah seorang masyarakat Bidar Alam yang juga tim penyelesaian konflik menjelaskan, sistem bagi hasil dalam MoU tersebut mencontoh pada pola Sapatigaan. Dimana pihak A atau yang mempunyai tanah tidak mengeluarkan biaya, biasanya dalam pembangunan sawah. Tapi, dalam MoU pembangunan kebun ditanggung oleh kedua belah pihak.
Tanah masyarakat itu sendiri sebelumnya ditanami durian, petai, jariang, karet, kopi, dan jenis tanaman lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat.
"Awalnya masyarakat merasa diuntungkan, karena 40%. Bagi hasil 40% itu dirasa masyarakat akan terjadi peningkatan ekonomi," kata Hapison kepada Langgam.id, Selasa (12/09/2023).
Tetapi ada hal yang janggal. Dalam MoU yang dibuat tersebut, dibunyikan isi perjanjian yang menyatakan bahwa tanah yang akan dibangun adalah ulayat kaum dan garapan masyarakat. Ada klaim ulayat disana.
Tak hanya itu, isi perjanjian juga menyatakan bahwasannya akan mendaftarkan Hak Guna Usaha (HGU) di atas tanah masyarakat tersebut.
"Disitu masyarakat merasa tertipu, kok di HGU kan. Kita bagi hasil, kenapa disertifikatkan tanah masyarakat," ujar Hapison.
Ia menjelaskan, saat pembuatan MoU masyarakat memang tak dilibatkan. Yang dilibatkan hanya niniak mamak, tokoh masyarakat, dan perusahaan. Masyarakat juga mewakilkan perumusan MoU kepada niniak mamak.
Namun kata Hapison, niniak mamak mengakui itu sebagai tanah kemenakannya. Bukan ulayat, melainkan tanah garapan.
Persoalan HGU ini juga merupakan pemicu dari konflik panjang di Bidar Alam. Syahdan, pada tahun 2006 itu jelas Hapison belum terjadi gejolak. "Tapi sudah ada semacam protes," katanya.
Risalah Pengajuan HGU
Mulailah PT RAP melakukan penanaman sawit pada tahun 2006. MoU sebelumnya yang sudah dibahas juga disepakati untuk menjadi perjanjian melalui notaris Rizal Rivai di Padang.
Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Barat kemudian melakukan pemeriksaan tanah yang diajukan oleh PT RAP untuk mendapat HGU. Risalah pemeriksaan kemudian keluar pada tahun 2007 dengan nomor: 01/RSL-PAN.B/BPN-2007.
Dalam perjalanan sesudah penanaman, dalam notasi sebelumnya diajukan 14.000 hektar lahan di enam nagari untuk di HGU kan. Dengan lama izin 30 tahun. Namun setelah dilakukan pengukuran oleh Kanwil BPN Sumbar lewat panitia B, hanya 8.237,3 hektar lahan yang bisa dilaksanakan perkebunan.
Dari total 8.237,3 hektar itu, dalam risalah BPN baru 2.088 hektar lahan yang ditanami bibit kelapa sawit. Tepatnya di wilayah Bidar Alam dan Ranah Pantai Cermin (RPC).
Masyarakat di enam nagari kemudian tak setuju, lalu mengirimkan surat penolakan ke berbagai pihak. Hapison mengatakan masyarakat sebenarnya menginginkan perusahaan transparan.
"Kalau disampaikan kepada masyarakat tanahnya akan disertifikatkan, masyarakat pasti akan menolak," ujarnya.
Seseorang yang mengaku dekat dengan Haji Bakhrial (pemilik PT RAP) yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, pembangunan kebun sempat mengalami stagnasi.
"Setelah berjalan, terjadi stag, pak haji kurang fokus ke kebun. Dia kan banyak usaha lain," ungkapnya kepada Langgam.id, Selasa (12/09/2023).
Ia juga mengatakan dalam perjalanannya, terdapat beberapa hal yang merugikan PT RAP. "Kata orang, salah manganyam di muko di ujuangnyo salah juo," tuturnya.
Misal soal pergantian tanaman. Ia mengatakan tanah masyarakat yang diserahkan itu setengah produktif. Sehingga belum atau tidak banyak yang ditanami. Sedangkan seluruh tanaman yang ada di atas lahan mesti diberikan ganti rugi.
"Perusahaan berkata, ini tanaman tidak produktif, kenapa banyak sekali tanamannya (di laporan -red)? dari 200 menjadi 300. ada juga penambahan luas lahan. Karena mengimbangi ganti rugi tanaman. Misal dari 1 ke 2 hektar," ucapnya.
Semua permasalahan berkaitan dengan pengajuan HGU itu lalu diselesaikan dalam rentang waktu April hingga Juli 2007. Mulai dari pertemuan PT RAP dengan masyarakat dan tokoh adat. Hearing bersama DPRD Solsel.
Hingga pernyataan oleh bersama Bupati, Camat, dan Wali Nagari di enam nagari bahwa tidak ada lagi masyarakat pemilik/penggarap lahan yang keberatan menyerahkan lahan kepada PT RAP. Setelah itu perkebunan terus berjalan sembari PT RAP mengajukan HGU.
Surat Peringatan I dan II
Pada September 2009, PT RAP sudah mulai melakukan panen pertama. Melihat panen perdana tersebut, kemudian masyarakat khususnya di Bidar Alam menuntut janji bagi hasil 40%. Tetapi tidak diberikan oleh PT RAP.
Narasumber Langgam.id yang tidak mau disebutkan namanya tadi menyebutkan, lahan yang telah ditanami oleh PT RAP itu kemudian dilepas saja oleh Haji Bahkrial. Hal itu terjadi katanya karena kesibukan Haji Bakhrial.
Pengelolan kebun menurutnya kemudian diambil alih oleh Ali Sabri, Wali Nagari Bidar Alam saat itu. "Pegawai PT RAP dibawah naungan Ali Sabri, kondisinya tidak terurus. Karena sebab itu, terjadi ketidakpuasan masyarakat dengan RAP," katanya, Selasa (12/09/2023). Terjadiah demonstrasi.
Langgam.id telah melakukan konfirmasi kepada Ali Sabri. Namun ia enggan untuk dikutip dalam berita. Ali Sabri hanya menyebutkan bahwa dia sudah tak ada urusan lagi soal masalah masyarakat dan PT RAP.
"Sekitar tahun 2011, kami pemerintah daerah turun, karena telah terjadi demonstrasi. Bagi hasil itu belum ada," ucap Hapison yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Solok Selatan.
Bupati Solsel saat itu Muzni Zakaria lalu menjatuhkan dua kali Surat Peringatan kepada PT RAP. Pertama pada tanggal 09 Mei 2011 dan yang kedua 14 November 2011. Hal itu kata Hapison setelah menimbang pendapat dari seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait. Bahwasannya perusahaan tak taat azas dalam pembangunan perkebunan.
Dalam SP yang dikeluarkannya, Pemerintah Kabupaten Solok Selatan menyatakan PT RAP baru melakukan penanaman seluas 1.320 hektar dari total luas 14.600 hektar izin lokasi yang diberikan. Yang wilayahnya Bidar Alam dan RPC.
"Sedangkan di Lubuak Malako, Abai, Dusun Tangah, Sitapuih tak ditanami. Kan ada penelantaran disitu. Tapi dimasukkan dalam rencana HGU-nya. Dan masyarakat juga tak bisa mengurus sertifikat tanahnya. penelantaran tanah itukan pelanggaran hukum," ujar Hapison
Sesuai dengan izin lokasi dan perkebunan yang diberikan, PT RAP belum atau tidak dapat memenuhi beberapa hal yang diamanatkan dalam diktum surat keputusan. Pertama, Segera meyelesaikan hak atas tanah dan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak Izin Usaha Perkebunan (IUP) dikeluarkan sudah harus selesai.
Kedua, segera melaksanakan pembangunan kebun kelapa sawit seluas ±14.600 Ha paling lambat tahun keempat sejak izin Usaha Perkebunan (IUP) dikeluarkan.
Selain itu semua, ada beberapa faktor lain yang menjadi pertimbangan pemerintah Solok Selatan ungkap Hapison. Seperti perusahaan tak bayar pajak, pelaksanaan pembangunan kebun tidak benar, bagi hasil tak terealisasi, tidak dilakukannya pembangunan pabrik, dan terjadi konflik di masyarakat.
"Perusahaan hanya memanem untuk kepentingannya. Alasannya (bagi hasil -red) tidak dibayarkan kepada masyarakat karena biaya operasional tinggi," ucap Hapison.
Langgam.id sudah beberapa kali mencoba melakukan konfirmasi kepada manajemen PT RAP. Terutama kepada Haji Bakhrial. Upaya konfirmasi ini dilakukan untuk memverifikasi semua temuan reportasi yang Langgam.id lakukan.
Selasa (12/09/2023) Haji Bakhrial sempat mengangkat telpon dari Langgam.id. "Maaf pak saya lagi meeting di hotel Grand Hyatt, nanti saya hubungi kembali," ucapnya.
Keesokan harina, Haji Bakhrial mengajak Langgam.id untuk bertemu di Padang via pesan WhatsApp. "Besok saya ke Padang, kita ngopi sambil cerita pak," tulisnya, Rabu (13/09/2023).
Setelah itu, selama empat hari berturut-turut dihubungi, Haji Bakhrial tidak menanggapi pesan konfirmasi dari Langgam.id lagi. Pesan terakhir yang Langgam.id sampaikan hanya dibaca tanpa balasan.
Naik Turun Pengajuan HGU
Perjalanan konflik masyarakat Bidar Alam dan PT RAP dalam beberapa tahun mengalami pasang surut. Mulai dari masyarakat dan pemerintah daerah yang kembali memberikan dan mendukung penerbitan HGU. Kemudian surut kembali dan melakukan penolakan.
Dalam beberapa dokumen dan hasil wawancara yang Langgam.id himpun, Kanwil BPN Sumbar dan Solok Selatan berulang kali mengembalikan berkas permohonan HGU yang dikirimkan PT RAP.
Sedangkan masalah dengan masyarakat diselesaikan dengan metode inclave. Yakni pengeluaran tanah masyarakat yang tidak mencapai kesepakatan kerja sama dari areal izin lokasi PT RAP.
Direktur Utama PT RAP Bakhrial pun meluapkan kekecewaannya atas terhalangnya penerbitan HGU tersebut. Lewat surat PT RAP kepada Bupati Solok Selatan nomor: 601/Dir-Ut/RAP/VI/2014 Bakhrial menceritakan harapannya.
"Berkali-kali HGU ini sudah akan terbit, tetapi ada saja masalah yang muncul atau dimunculkan. Yang kalau ditelaah dengan jernih dan benar sebenarnya semua hal tersebut telah diselesaikan sebelumnya.
Pernyataan demi pernyataan yang diminta telah dibuat, namun timbul lagi hal baru, yang sepertinya telah mencari-cari alasan untuk terhalangnya penerbitan HGU tersebut, betul-betul hal ini telah membuat lelah dalam pengurusannya," tulis Bakhrial dalam surat yang ditanda tangani 12 Juni 2014 itu.
Ia juga menyatakan bahwa permintaan inclave hampir tidak mungkin dilakukan. Sebab disamping prosedur inclave yang tidak sederhana, biaya yang tidak kecil, tidak ada juga instansi yang punya otoritas untuk bisa menjamin kepastian hukumnya.
Karena itu jelasny, PT RAP telah membuat pernyataan bahwa Inclave akan dilakukan mana kala HGU telah terbit. Sehingga diatas peta HGU itu jelas mana-mana areal yang perlu di inclave.
Namun belum lagi BPN memproses HGU tersebut, ada lagi surat-surat Wali Nagari yang kata Bakhrial tidak jelas persoalan dan aspirasi yang dibawa. "Kesepakatan yang telah dibuat, serta pernyataan-pernyataan yang telah ditanda tangani seperti tidak ada arti dan gunanya," tulisnya.
Ia mengatakan, tidak ada sedikitpun niatan PT RAP untuk mendominasi lahan masyarakat. Yang diinginkan hanyalah bagaimana ketentuan dan aturan yang ada dapat berjalan. Dan investasi tidak menjadi sia-sia.
Sekretaris Nagari Bidar Alam Refrizal Edi Putra (saat wawancara Wali Nagari sedang sakit), mengatakan kepada Langgam.id, bahwa HGU PT RAP tidak ada karena dari dulu sampai sekarang berkasnya tidak ditandatangani oleh Wali Nagari.
Alasannya, pola bagi hasil 40% 60% antara PT RAP dengan masyarakat tidak pernah terwujud.
"Pak Gefriadi Wali Nagari sekarang menjabat sejak 2013. Sejak itu juga tidak pernah ditandatangani permohonan HGU nya," ucap Refrizal, Sabtu (09/09/2023).
Perjanjian Baru
Di penghujung 2014, masyarakat Bidar Alam kembali melakukan demonstrasi ke DPRD Solsel. Tuntutannya masih sama, yakni bagi 40% 60%. Tahun itu juga muncul sebuah perjanjian baru yang dibuat dihadapan notaris Suci Asri Hastuti.
Diantara isinya, PT. RAP dan Masyarakat pemilik lahan menyetujui tenggang waktu 2 tahun untuk menyempurnakan pembangunan perkebunan. Dan setelah 2 tahun perusahaan harus melakukan pembagian hasil.
Seandainya dalam 2 tahun tersebut tidak dilaksanakan, maka lahan masyarakat akan di kembalikan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Masyarakat pemilik lahan sepakat untuk di lakukan pengukuran ulang.
Lahan yang tidak di serahkan oleh pemilik akan di Inclave (mengeluarkan tanah dari HGU) terlebih dahulu. Perjanjian itu ditanda tangani oleh pemerintah daerah dan pimpinan PT RAP (Haji Bakhrial).
Tahun 2014 itu juga dibentuk koperasi sebagai penghubung antara masyarakat dan perusahaan. Sesuai dengan isi pada MoU pertama. Koperasi itu diketuai oleh Dedi Arisandi.
Fungsinya untuk membenahi dan mengevaluasi kerja perusahaan supaya tak ada penipuan jumlah panen. Juga menata ulang keluasan lahan, sebab kata Dedi terdapat jumlah tanam yang tak sesuai. Hal ini mengakibatkan hasil panen tidak akan maksimal.
"Kesalahan perusahaan, tidak mau mencukupkan pokok tanaman. Alasannya, karena tidak ada jaminan dari pemerintah nagari untuk menertibkan ternak yang ada disana," tuturnya.
Hal ini mengakibatkan isi dari perjanjian baru sebelumnya juga tidak terwujud. Koperasi pun tak berjalan mulus, Dedi sempat di demo dan terjerat kasus hukum.
Pada tahun 2016 diadakan, rapat koordinasi PT RAP dengan tim 9 yang dibentuk pada perjanjian sebelumnya, bersama ninik mamak, dan tokoh masyarakat nagari Bidar Alam dan RPC.
Disana dinyatakan, Pembagian hasil tetap dilakukan Januari 2017, dananya dapat dititip pada rekening khusus. Pelaksanaan pengukuran ulang dimulai pada tanggal 15 Desember 2016 hingga 15 Maret 2017
Selain itu, berdasarkan keterangan masyarakat PT RAP menetapkan standar biaya sepihak dalam pembangunan kebun. Yaitu per tanggal konversi sebesar Rp 70 juta per hektar. Dengan jangka waktu cicilan hutang 10 tahun dengan tingkat bunga 12% per tahun.
Masyarakat saat itu tak terima dengan biaya tersebut. Mereka selama belasan tahun belum menerima hasil dari panen sawit di nagarinya. Malah ketiban hutang dengan diberi pinjaman Rp. 100.000 per bulan dan diterima per tiga bulan.
Indra Wirdana (37) salah seorang Pemuda Bidar Alam kepada Langgam.id menjelaskan alasan keberatan masyarakat. "Masalahnya waktu itu, masyarakat dikasih pinjaman, itu kan utang. Sebab masyarakat menuntut 40%, ndak pernah keluar. Orang perusahaan dengan berbagai alasan, akhirnya cuma keluar pinjaman, 100 ribu per hektar," ucapnya Sabtu (09/09/2023).
Jika dihitung kata Indra, dengan harga sawit terendah semisal Rp. 1500 per kilo, kira-kira cuma setandan sawit untuk masyarakat. "Padahal ada ratusan sawit dalam se hektar lahan disana," katanya.
Oleh sebab itu, pada 3 April 2017, seluruh pemilik lahan yang terlibat dalam perjanjian dengan PT RAP menyatakan sebuah pernyataan sikap. Yang pada intinya, mencabut dan menarik kembali surat penyerahan lahan individu terhadap ninik mamak dan tokoh masyarakat yang ber MoU dngan PT RAP. Dan menolak dikeluarkannya HGU atas tanah garapan masyarakat.
Muara Kriminalisasi
Beranjak dari penarikan surat penyerahan lahan yang dilakukan masyarakat Bidar Alam, konflik kemudian makin meruncing. Puncaknya pada tahun 2020. Pada 28 Agustus 2020 Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Solok Selatan Abdul Rahman mengeluarkan surat penegasan izin lokasi PT RAP.
Surat itu ditujukan kepada BPN yang pada intinya menerangkan bahwa Izin Lokasi PT RAP tidak berlaku lagi. Sehingga diminta BPN untuk melayani proses sertifikat masyarakat.
Bupati Solsel sat itu juga telah membentuk tim terpadu penyelesaian permasalahan RAP dengan masyarakat. Hapison adalah bagian dari tim itu.
"Saat itu izin lokasi PT RAP telah mati. Yang dimilikinya hanya Izin Usaha Perkebenunan (IUP). Kemudian menurut dinas perkebunan, IUP itu juga tidak bisa juga dibenarkan. Karena pembangunan ndak sesuai dengan peraturan perkebunan, sebab minimal kan harus setengah dari total lahan yang ditanam," kata Hapison menjelaskan.
"Akhirnya kami dari pemerintah daerah mengirimkan surat ke masyarakat, camat, nagari, kegiatan RAP itu tidak sesuai aturan (ilegal). Surat itu menyampaikan bahwa izin lokasi mati, dan hgu tak ada," lanjutnya.
Berdasarkan hal itu, masyarakat yang dipimpin oleh Supri Gamal atau Gamal cs melakukan panen. Kondisinya saat itu, posisi masyarakat juga terdesak secara ekonomi karena pandemi Covid-19.
"Begitu lama masyarakat menderita. sejak 2006 menanam sampai 2020, masyarakat merasa perlu haknya juga," tutur Hapison. Selain itu alasan kuat Gamal cs memanen adalah karena selama ini tak pernah ada bagi hasil dari PT RAP.
Melihat makin menjurusnya konflik di Bidar Alam, sampai dijaga oleh brimob, Penjabat sementara (Pjs) Bupati Solsel saat itu Jasman, mengeluarkan surat larangan panen. Sampai adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang dimediasi oleh pemerintah daerah kabupaten Solok Selatan.
Beriringan pada bulan itu Pjs Bupati juga mengeluarkan Surat Peringatan (SP) 3. Meninjau PT. RAP dari sisi kepatuhan perpajakan juga tidak menunjukan etikad baik dengan tidak membayar (menunggak) ketetapan pajak bumi dan bangunan sektor perkebunan (PBB P3). Hal itu telah terjadi semenjak tahun 2016 sampai dengan 2019 dan juga belum membayar ketetapan 2020 saat surat itu dikeluarkan.
Oleh karena itu Pjs Bupati Solsel meyatakan PT RAP dengan keluarnya peringatan tiga ini, segala aktifitas PT. RAP harus dihentikan sementara.
Sayang, pada September 2020, Supri Gamal dan lima orang lainnya dilaporkan atas dalil pencurian oleh PT RAP. Peristiwa yang disebut masyarakat sebagai kriminalisasi petani ini masih berlangsung hingga hari ini dan pada tahap persidangan.
Editor: Yose Hendra