Langgam.id - Getaran itu merambat dari kedalaman segmen Sianok dan Sumani. Menggetarkan tanah tumpuan rumah gadang. Mengguncang ranah darek dan terus merambat pesisir Sumatra Barat, provinsi tetangga dan menyeberang hingga ke Singapura dan Malaysia.
Gempa 6 Maret 2007 belum terlalu lama, tepat 12 tahun yang lalu dari hari ini, Rabu (6/3/2019). Namun, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, mencatatkannya pada 'Katalog Gempa Bumi Signifikan dan Merusak 1821-2017'.
Pada pukul 10.49 WIB dari kedalaman 33 kilometer, Segmen Sianok bergerak dengan magnitudo 6,4 mengguncang hingga VIII Modified Mercalli Intensity (MMI) daerah sekitar Bukittinggi, Payakumbuh dan Solok.
Dengan kekuatan guncangan dirasakan pada level VIII MMI, dalam standar BMKG gempa dapat menimbulkan kerusakan pada bangunan dengan konstruksi yang kuat, dinding dapat terlepas dari rangka rumah, mata air jadi keruh.
Gempa ini dirasakan sekitar V MMI di Padang dan sekitarnya. Di Pekanbaru dirasakan sampai IV MMI. Sementara di Duri, Jambi, Kepulauan Riau, Dumai dan Padangsidempuan dirasakan sampai III MMI.
Bahkan, getarannya menyeberangi Selat Malaka, dirasakan di Johor Baru sampai IV MMI, di Malaysia II-III MMI dan menggetarkan gedung-gedung pencakar langit Singapura sampai III MMI.
Hanya dua jam berselang, dengan kekuatan magnitudo 6,3, pukul 12.49 WIB, giliran Segmen Sumani yang bergerak. Selain dirasakan di seputar Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota, gempa ini juga menggetarkan Padang dan daerah pesisir Sumbar sampai VI MMI. Gempa yang juga dirasakan sampai ke Riau dan Semenanjung Malaka.
Laporan Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Penanggulangan Bencana mencatat 68 orang meninggal dunia karena tertimpa reruntuhan akibat gempa.
Di Kabupaten Solok 16 orang, Agam 15 orang, Tanah Datar 11 orang, Kota Bukittinggi dan Kota Solok masing-masing tujuh orang. Sementara, di Padang Panjang empat orang, Kabupaten Padang Pariaman tiga orang, Kota Padang dan Payakumbuh masing-masing dua orang dan di Kabupaten Limapuluh Kota satu orang.
Selain yang meninggal, BMKG mencatat sebanyak 826 korban luka-luka. Dari jumlah itu, laporan yang dilansir United Nation - Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UN-OCHA) menyebutkan, 462 orang luka serius.
Sementara, 43.719 rumah rusak dan hancur di area sekitar Bukittinggi, Agam (timur), Tanah Datar, Solok, Payakumbuh dan Limapuluh Kota.
Dalam ulasannya, BMKG mengutip penelitian Pakar Gempa Kerry Sieh dari California Institte of Technology (Caltech) dan Danny Hilman Natawijaya dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Gempa 6 Maret 2007 berasal dari Sumatra fault system atau Sesar Sumatra. Sesar ini terjadi akibat adanya lempeng India-Australia yang menabrak bagian barat pulau Sumatra secara miring, sehingga menghasilkan tekanan dari pergerakan ini.
Karena adanya tekanan ini, maka terbentuklah sesar Sumatra atau disebut juga ”The Great Sumatera Fault”. Sesar ini membelah pulau Sumatra mulai dari Lampung sampai Banda Aceh, dan terus sampai ke Laut Andaman hingga Burma.
Jalur patahan itu, di Pulau Sumatra ditandai dengan jejeran memanjang Bukit Barisan serta banyak gunung dan danau. Karena itu, sejak dahulu kala, di sepanjang jalur tersebut sering terjadi gempa.
Di Sumbar, misalnya, BMKG mencatat gempa di tempat yang sama dengan gempa 2007 adalah gempa 28 Juni 1926. Bencana yang terkenal dengan nama Gempa Padang Panjang tersebut menghancurkan banyak bangunan di Padang Panjang dan selingkar Danau Singkarak serta dirasakan hingga ke Alahan Panjang, Sinjunjung dan Muaro Bungo.
"Segmen gempa darat pada 2007 itu, sama dengan gempa Padang Panjang dulu," kata Ahli Geologi Sumbar Ade Edward, kepada Langgam.id, Rabu (6/3/2019).
Menurutnya, sumber gempa pada 2007 adalah Segmen Sianok dan Sumani.
Segmen Sianok mempunyai panjang patahan sekitar 90 Km berada di sekitar Ngarai Sianok kota Bukittinggi sampai Tenggara Danau Singkarak melewati sisi timur Danau.
Sementara, Segmen Sumani memiliki panjang patahan sekitar 60 Km. Ujung Utara segmen ini berada di sisi utara Danau Singkarak, menyisir sisi Barat Daya danau tersebut melintasi daerah Kota Solok, Sumani, Selayo dan berakhir di Utara Danau Diatas, sebelah Tenggara Gunung Talang.
Masih mengutip Kerry Sieh dan Danny Hilman, Lori Agung Satria dkk dari Stasiun Geofisika Kelas I Silaing Bawah BMKG Padang Panjang dalam 'Aktivitas Gempa Bumi Sumatra Barat Berdasarkan sumber dari Januari Hingga Juni 2018', menyebutkan, terdapat 19 segmen di Patahan Sumatra.
Dari jumlah tersebut tujuh segmen mempengaruhi kondisi seismisitas di wilayah Sumatra Barat. Segmen tersebut adalah Angkola, Barumun, Sumpur, Sianok, Sumani, Suliti, dan sebagian Segmen Siluak.
Berdasarkan catatan sejarah, bencana gempa bumi merusak di Sumbar pada tahun 1822, 1835, 1981, 1991, 2005, dan 2009 terjadi di Padang. Pada 1926 dan 1943 di Singkarak. Pada 1977 di Pasaman, 2003 di Agam, serta gempa tahun 2007 di Bukittingi dan sekitarnya.
Ade Edward mengatakan, dengan sejarah kegempaan yang panjang, nenek moyang orang Minang telah mengantisipasi dengan berbagai kearifan. "Tinggal kita mau meneladani kearifan itu atau tidak," katanya.
Rumah gadang, misalnya, adalah salah satu keteladanan dari kearifan itu. "Tidak ada rumah gadang yang roboh karena gempa. Itu tandanya rumah gadang memang dirancang untuk aman gempa," katanya.
Prinsip-prinsip memilih bahan, merancang struktur dan teknik membangun rumah gadang, menurutnya, sudah memenuhi semua aspek aman gempa.
"Selain itu, yang tak kalah penting adalah tata ruang. Dengan kontur topografi yang berbukit-bukit, Sumbar rawan longsor. Memilih tempat mendirikan rumah, jangan di area yang rawan longsor dan kawasan yang pernah dilanda bencana di masa lalu," kata Ade.
Perubahan tradisi masyarakat yang banyak membangun rumah beton, menurut Ade, tetap bisa mengacu pada prinsip-prinsip membangun rumah gadang. Yakni, memilih bahan yang berkualitas, struktur yang standar aman gempa serta proses membangun yang memenuhi syarat.
Bagi masyarakat Sumbar, menurutnya, hal tersebut sangat penting mengingat sumber gempa bukan saja dari darat tetapi juga dari laut. (HM)