Langgam.id - Suatu hari di tahun 2013, sebuah seminar nasional membincangkan tokoh-tokoh asal Sumatra Barat yang dinilai patut mendapat gelar Pahlawan Nasional, digelar di sebuah ruangan di Gedung DPR RI. Sejumlah nama yang diangkat dalam seminar itu antara lain, Assaat gelar Datuk Mudo, Chaerul Saleh, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli alias Inyiak Canduang, termasuk Abdul Halim.
Deretan Pahlawan Nasional hingga tahun 2020 ini, nama Abdul Halim bercokol di dalamnya. Namun perlu diluruskan, bahwa Abdul Halim yang dimaksud bukanlah sosok yang dibincangkan pada tahun 2013 itu. Artinya bukan Abdul Halim kelahiran Bukittinggi yang pernah menjabat Perdana Menteri tahun 1950.
Abdul Halim yang tercatat sebagai Pahlawan Nasional tersebut adalah K.H. Abdul Halim, seorang ulama asal Majalengka, Jawa Barat. Ulama yang terkenal toleran itu, lahir di Majalengka pada 26 Juni 1887, dan meninggal di usia 74 tahun pada 7 Mei 1962.
Ia diberi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono Nomor: 041/TK/Tahun 2008 tanggal 6 November 2008.
Lalu bagaimana sosok Abdul Halim asal Sumatra Barat yang pernah diapungkan untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional? Abdul Halim lahir di Bukittinggi, 27 Desember 1911, dari pasangan Achmad St. Mangkoeto dan Darama. Halim adalah Perdana Menteri RI semasa berkedudukan di Yogyakarta (semasa RIS), selama lebih kurang 9 bulan, Januari-September 1950.
Menariknya, kala dipercaya menjadi Perdana Menteri, Halim membentuk ‘Negara Kesatuan’ sebagai program kerja pertama 'Kabinet Halim'. Sebagaimana diketahui, karibnya sesama orang Minang, Mohammad Natsir di tahun 1950 itu, mengikis Negara serikat lewat Mosi Integral Natsir, dan kemudian menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Halim sebenarnya bukanlah seorang politisi karir (dalam artian aktif di partai). Keterpilihannya menjadi perdana menteri boleh dikatakan sebuah keberuntungan, imbas perseteruan dua kekuatan partai politik besar saat itu; Masyumi dan PNI. Halim menjadi jalan tengah perseteruan dan sama-sama diterima menjadi Perdana Menteri ke 4.
Sebelumya Halim lebih dikenal sebagai seorang dokter dengan spesialis penyakit THT (Telinga, Hidung dan Tenggorok). Ia pun pernah dipercaya sebagai Wakil Pemimpin Umum RSUP (kini RS Dr Cipto Mangunkusumo).
Kancah politik awalnya dimulai selepas proklamasi kemerdekaan tahun 1945, dimana ia menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, Oktober 1945 – 16 Januari 1950.
Peran penting lainnya yang dimainkan Halim dalam kesejarahan Indonesia adalah menjadi perutusan dalam penjemputan para penggerak Pemerintah Darurat Republik Indonesia di pedalaman Sumatra Barat di tahun 1949.
Buah dari Perjanjian Bangka, Wakil Presiden RI Mohammad Hatta mengutus Halim bersama Leimena dan Natsir, membujuk Sjafruddin Prawiranegara dan kawan-kawan mengembalikan mandate ke Yogyakarta atau persisnya dua tampuk pimpinanan Sukarno-Hatta.
Dan Halim memainkan peran amat penting untuk itu. Diplomasi cuci muka di pancuran di Padang Japang, Kabupaten Limapuluh Kota, melumerkan hati Sjafruddin dan kawan-kawan, yang sebelumnya bergeming pidato rayuan Leimena sepanjang malam.
Karir politik selepas menanggalkan jabatan Perdana Menteri adalah menjadi Menteri Pertahanan pertama untuk NKRI pada bulan September 1950.
Keponakan Asaat ini juga dikenal sebagai pendiri Voetbalbond Indonesia Jakarta (VIJ), yang kemudian dikenal sebagai Persija, tahun 1927. Di bidang olahraga, Halim memimpin kontingen Indonesia dalam partisipasi pertama di arena Olimpiade di Helsinki, Finlandia, tahun 1952.
Halim berpulang selamanya di Jakarta pada usia 75 tahun, persisnya 4 Juli 1987.